Bagikan:

Tak hanya Indonesia, nyaris semua negara terkejut dengan tarif resiprokal Presiden Donald Trump. Menurut Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Mohammad Jumhur Hidayat, menghadapi realitas ini tak bisa dengan emosi. Ada dua opsi yang bisa dilakukan: negosiasi atau retaliasi. Keduanya punya plus dan minus masing-masing.

***

Idealnya, hubungan dagang antara satu negara dengan negara lain berlangsung seimbang. Kalaupun ada defisit perdagangan, sebaiknya tidak terlalu mencolok. Ketika defisit itu mencolok, beban berat dirasakan oleh negara yang mengalami defisit. Menurut data Bank Dunia tahun 2023, defisit perdagangan barang dan jasa Amerika secara global sebesar USD 784 miliar.

Bisa dimaklumi kalau Donald Trump, setelah terpilih kembali sebagai Presiden, mengeluarkan tarif resiprokal dengan besaran yang berbeda-beda tiap negara, Indonesia dikenai 32%. Sementara itu, defisit perdagangan bilateral antara Indonesia dan Amerika berada di angka USD 18 miliar. “Boleh saja Trump berusaha melindungi negaranya lewat tarif resiprokal, tapi mestinya bertahap dong. Gaya yang dia lakukan ini seperti pendekar mabuk, ini yang bikin banyak orang terkejut,” ujarnya.

Presiden Prabowo Subianto dalam Sarasehan Ekonomi 2025 di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa, 8 April 2025, sudah memberikan arahan yang jelas bahwa tidak akan melakukan retaliasi. Artinya, Indonesia memilih jalan damai dengan berdiplomasi bersama pemerintah Amerika Serikat.

Menurut Mohammad Jumhur Hidayat, ini adalah kebijakan yang pas. Keputusan ini diambil tentu sudah menghitung untung dan ruginya masing-masing. “Harapan saya ada lobi yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan juga diplomat kita. Lalu, tanya alasan penerapan tarif ini apa sebenarnya? Kalau defisit perdagangan di sisi Amerika, kita bisa mengurangi defisit yang hampir USD 18 miliar itu dengan membeli produk dari Amerika, antara lain LPG, minyak bumi, dan lain-lain. Jadi, inilah yang kita negosiasikan,” ujarnya.

Negara-negara terpecah dua dalam menyikapi tarif resiprokal ini. “Kalau soal defisit perdagangan itu bisa dibicarakan. Tidak perlu retaliasi seperti yang dilakukan China, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa—separuh retaliasi dan separuhnya negosiasi. Ini bukan karena kita takut, tapi karena ingin mencari solusi,” tegasnya.

Tarif resiprokal dari Donald Trump bisa menjadi titik awal untuk berbenah agar fundamental ekonomi Indonesia bisa lebih baik. “Dengan tarif Trump ini, jumlah PHK potensial akan bertambah. Ini harus dimitigasi dengan baik. Menaker, Menteri Perindustrian, pengusaha, dan serikat pekerja harus duduk bareng bicarakan soal ini. Presiden sudah menyetujui usulan serikat pekerja untuk membentuk satgas menghadapi PHK,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Dandi Juniar saat berkunjung ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang, Jakarta, Kamis, 9 April.

Antisisipasi tarif resiprokal dari Donald Trump, kata  Ketum KSPSI Mohammad Jumhur Hidayat  mitigasi tepat harus dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)
Antisisipasi tarif resiprokal dari Donald Trump, kata  Ketum KSPSI Mohammad Jumhur Hidayat  mitigasi tepat harus dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Tarif resiprokal diberlakukan Amerika Serikat untuk Indonesia 32%, apa pandangan KSPSI mengenai hal ini?

Presiden Donald Trump ini orangnya memang agak unik. Ketika ia mengeluarkan kebijakan untuk melindungi negaranya dan warganya, itu sah-sah saja. Namun saat mengeluarkan kebijakan publik, mestinya ada tahap-tahapnya. Gaya yang dia lakukan ini seperti pendekar mabuk—ini yang bikin banyak orang terkejut. Yang paling heboh soal tarif resiprokal, yang tiap negara berbeda-beda, Indonesia dikenakan 32%. Bisa saja itu diberlakukan, tapi mestinya berproses.

Bukan hanya negara-negara yang dikenakan tarif yang puyeng, industri dalam negeri Amerika juga. Akibat dari penerapan tarif yang tinggi ini, mereka mungkin perlu pekerja di berbagai sektor yang terdampak. Orang Amerika belum tentu mau mengerjakan sektor-sektor yang muncul. Akibat impor barang, sektor pelabuhan bergerak, transportasi sampai ke konsumen juga bergerak. Sekarang, dengan pengenaan tarif ini, banyak karyawan jadi tidak bekerja—ini problem juga buat mereka.

Jadi bagaimana dengan Indonesia menghadapi tarif resiprokal dari Donald Trump ini?

Karena ini sudah menjadi sebuah kebijakan Amerika, mau tak mau harus dihadapi. Harapan saya, ada lobi yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan juga diplomat kita. Lalu tanya, alasan penerapan tarif ini apa sebenarnya? Kalau defisit perdagangan di sisi Amerika, dalam Sarasehan Ekonomi 2025 dengan Presiden kemarin, ternyata kita bisa mengurangi defisit yang hampir USD 18 miliar itu dengan membeli produk dari Amerika. Antara lain LPG, minyak bumi, dan lain-lain. Jadi inilah yang kita negosiasikan.

Kalau kita lihat respons dari dalam negeri Amerika sangat keras atas kebijakan ini, bagaimana Anda melihatnya?

Yang protes banyak, bahkan sudah ada gerakan untuk menggulingkan Donald Trump. Kalau ini terjadi tentu menjadi problem baru lagi.

Dari sisi tenaga kerja dan perburuhan di Indonesia, apa dampak dari tarif resiprokal ini?

Barang dari Indonesia yang diekspor ke Amerika itu antara lain pakaian jadi, alas kaki, furnitur, elektronik, dan CPO—itu yang besar. Yang paling terpukul itu pakaian jadi dan alas kaki. Kalau kita perhatikan di antara negara yang menjadi saingan Indonesia dalam ekspor tekstil seperti China (54%), Vietnam (46%), Bangladesh (37%)—lebih tinggi. Artinya, dengan selisih itu, ada peluang bagi kita untuk penetrasi. Sekarang dampak langsung memang belum terasa, tapi kita perlu siaga. Pengusaha sekarang sedang menunda produksi sampai keadaan benar-benar aman.

Kalau di pasar Amerika kita mungkin tidak bisa tembus pasca tarif resiprokal ini, artinya harus mencari pasar baru di negara lain?

Ada namanya trade diversion (pengalihan perdagangan). Mestinya ini sudah dilakukan sejak dulu. Selama ini kita terlalu manja melakukan perdagangan dengan negara tertentu saja. Ketika ada persoalan seperti ini, baru merasakan dampaknya. Saya usulkan, saatnya kini Presiden memanggil semua duta besar kita. Mereka harus jadi ujung tombak pemasaran produk-produk Indonesia di negara tempat mereka bertugas. Volume perdagangan kita dengan Amerika memang tidak terlalu besar, jadi tidak terlalu terguncang dengan penerapan tarif baru Trump. Kalau tak salah, ekspor kita ke Amerika hanya 2,2% dari PDB kita. Yang akan terguncang itu Vietnam, karena volume mereka mencapai 33%. Jadi kita masih punya waktu untuk relaksasi.

Selain trade diversion, yang utama dilakukan adalah membangun demand dalam negeri. Ekonomi berdikari yang dicita-citakan Bung Karno melalui Trisakti, dan kini juga dilanjutkan oleh Prabowo, konsepnya adalah produksi, bahan baku, dan penggunanya adalah Indonesia. Namanya circular domestic economy. Soalnya, pasar kita ini besar.

Ketum KSPSI Mohammad Jumhur Hidayat mendukung langkah pemerintah tidak melakukan retaliasi atas  tarif resiprokal Doland Trump. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Ketum KSPSI Mohammad Jumhur Hidayat mendukung langkah pemerintah tidak melakukan retaliasi atas  tarif resiprokal Doland Trump. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Tapi sekarang daya beli masyarakat lemah, bagaimana mengatasinya?

Inilah yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Terutama meningkatkan daya beli masyarakat di perdesaan. Nilai tukar petani itu 102, 103 %. Ini hanya cukup untuk hidup. Sekarang Prabowo sudah serius sekali untuk meningkatkan nilai tukar petani kita. Kalau di Thailand bisa sampai 130%, 140%, artinya kalau dia investasi 200juta saat panen pertama bisa terima duit sekitar 240-280juta.

Kalau petani punya duit mereka mudah beli sepatu, tekstil dan kebutuhan lainnya. Selama ini dalam pertanian kita yang untung itu pemain tengah, perantara antara petani dan konsumen. Ini namanya pelaku rente, untung boleh tapi jangan terlalu. Hal serupa terjadi pada nelayan.

Secara objektif bagaimana Anda melihat langkah Prabowo mengantisipasi tarif Trump ini, apakah sudah maksimal?

Saat saya datang di acara Sarasehan Ekonomi 2025 yang digelar Prabowo, panduannya sudah ada. Kedutaan Indonesia di Amerika sudah disiagakan dan mereka sudah meeting dengan unit perdagangan pemerintah Amerika. Presiden memerintahkan untuk melakukan negosiasi dengan Amerika. Jadi tidak retaliasi. Soalnya kita tidak ingin bermusuhan. Lewat perdagangan ini kita sama-sama melayani rakyat. Sekarang dengan tarif baru Trump barang jadi mahal.

Saya yakin Trump terbuka untuk diplomasi. Itu ia kemukakan lewat akun medsosnya. Dia juga pelaku bisnis. Kadang dia ingin tunjukkan kekuatannya juga. Amerika itu defisit hampir USD 18miliar, solusinya kita bisa beli kapas, minyak, LPG, LNG dari sana untuk menutupi desifisit perdagangan itu.

Apalagi yang harus dilakukan oleh pemerintah dengan aparat penegak hukumnya?

Selama ini penyelundupan barang ke Indonesia itu sering terjadi. Aparat harus tegas menangkap pelaku dan penadah. Kalau tidak ini akan menjadi ancaman untuk industri dalam negeri seperti tekstil dan garmen. Ini besar sekali angkanya. Kalau hukum ditegakkan dengan sendirinya pasar dalam negeri akan tumbuh. Nilai barang selundupan itu tidak sedikit, data dua tahun terakhir nilai barang selundupan dari China mencapai Rp60 triliun. Belum dari negara yang  lain. Kalau barang-barang itu bisa masuk secara legal berapa banyak pendapatan bisa diraih. Dari PPN dan bea masuk bisa dapat sekitar Rp6 triliun sampai Rp10 triliun. Dana ini bisa digunakan untuk membantu industri agar bisa bertahan dan bisa mengaji karyawan. Bentuknya bisa pinjaman lunak, nanti kalau sudah membaik dikembalikan.

Satu lagi soal import save guard (hambatan impor untuk masuk ke suatu negara), negara kita ini paling lemah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Makanya industri Indonesia hancur, impor tanpa batas masuk semua. Kalau disamakan saja dengan negara tetangga, ini bisa membantu industri lokal. Impor boleh, tapi jangan terlalu. Apalagi kalau ada pejabat yang senangnya impor, ini kacau.

Oknum pejabat senang impor karena ada cuan di sana?

Iya, tapi harus pikirkan yang lebih luas. Kalau industri berkembang, yang menikmati banyak orang—tenaga kerja terserap, ekonomi berputar. Kalau impor, yang untung oknum itu saja. Harus ada moral hazard di situ. Jangan hanya mementingkan diri sendiri.

Jadi, menghadapi tarif Trump ini, seperti apa mestinya yang dilakukan?

Menurut saya tidak perlu dilawan. Seperti yang saya katakan tadi, harus melakukan lobi ke Amerika. Tujuan mereka itu untuk membangkitkan industri dalam negeri. Cuma naiknya jangan drastis. Kepada Mr. Trump, cobalah berpikir ulang soal tarif ini. Kalau soal defisit perdagangan, itu bisa dibicarakan. Tidak perlu retaliasi seperti yang dilakukan China, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa—separuh retaliasi dan separuhnya negosiasi. Ini bukan karena kita takut, tapi karena ingin mencari solusi.

Di kalangan teman-teman buruh, seperti apa menyikapi tarif Trump Ini?

Ketika terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, sudah terjadi pengurangan pesanan dari Amerika. Tahun lalu, sekian ribu orang terpaksa di-PHK. Dengan tarif Trump ini, jumlah PHK potensial akan bertambah. Ini harus dimitigasi dengan baik. Menaker, Menteri Perindustrian, pengusaha, dan serikat pekerja harus duduk bareng membicarakan soal ini. Presiden sudah menyetujui usulan serikat pekerja untuk membentuk satgas menghadapi PHK. Menteri terkait harus segera menindaklanjuti dengan menyiapkan draft Inpres, agar mitigasinya siap. Bentuk aksinya bisa berupa persiapan PHK, pengalihan kerja ke daerah atau perusahaan lain, penyiapan keterampilan, dan sebagainya.

Apakah semua pihak —anggota legislatif, pelaku usaha, pengusaha— sudah satu orkestrasi dengan Presiden Prabowo agar bisa menghadapi tarif Trump?

Dalam situasi seperti sekarang, kita harus membangun Indonesia Incorporated—semua pihak bekerja dalam satu komando untuk mengatasi keadaan. Pengusaha diberi insentif tertentu agar tak mudah melakukan PHK. Pekerja bisa bekerja dengan sistem shift atau paruh waktu, agar bisa bertahan. Semua dibicarakan dalam satgas ini. Kalau perusahaan terpaksa harus melakukan PHK, ya merujuk saja pada UU yang berlaku.

Dalam salah satu demo pekerja, ada suara yang menuntut perusahaan tutup. Saat perusahaan tutup, pekerja bingung. Bagaimana mengatasi keadaan ini?

Sebenarnya tak ada pekerja yang ingin perusahaan tempat ia bekerja tutup—itu kan ladang mereka. Yang penting transparan. Kalau tak setuju, bisa ajukan keberatan. Jangan kondisinya tak rugi tapi bilangnya rugi. Mestinya bisa berbagi peran dan risiko. Kuncinya terbuka.

Dalam kondisi seperti sekarang, apakah KSPSI menjalin komunikasi dengan organisasi sejenis dari negara Lain?

Kami sudah mengirim surat ke konfederasi serikat pekerja di Amerika. Kami tembuskan juga ke Kedutaan Indonesia di Amerika dan ke ILO (International Labour Organization). Dalam surat itu saya kemukakan, boleh saja Donald Trump ingin memajukan ekonomi dan industri Amerika, tapi harus bertahap—jangan sampai berdampak drastis pada pekerja di negara lain. Sementara itu, pihak Indonesia akan bersiap mencari pasar baru. Pemerintah, diplomat kita—ayo ikut bantu mencari pasar baru. Kita semua: pemerintah, pengusaha, buruh, dan sebagainya harus menghadapi keadaan ini dengan kepala dingin. Kita harus berusaha dan bekerja dengan optimis agar bisa melewati keadaan yang tidak baik ini.

 

Mohammad Jumhur Hidayat, Sejak Kecil Sudah Agak Lain

Sebagai seorang pribadi, sejak kecil Mohammad Jumhur Hidayat sudah memiliki ketertarikan yang kuat pada masyarakat sekitar rumahnya, utamanya mereka yang kekurangan. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Sebagai seorang pribadi, sejak kecil Mohammad Jumhur Hidayat sudah memiliki ketertarikan yang kuat pada masyarakat sekitar rumahnya, utamanya mereka yang kekurangan. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Mohammad Jumhur Hidayat, mengakui bahwa sejak kecil dirinya memang sudah berbeda dengan saudara-saudaranya. Ia terbiasa bergaul dengan orang kebanyakan dan mudah iba melihat orang yang kesusahan. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga masa kuliahnya di ITB. Di sana, ia menjadi aktivis yang vokal menyuarakan dan membantu orang-orang yang tak berdaya.

“Kalau ditanya mengapa saya mau jadi aktivis, itu misteri, panggilan hati. Menurut ibu saya, itu sudah terjadi sejak kecil, saat saya masih berusia 2 atau 3 tahun,” ungkapnya.

Saat kecil, Jumhur yang tinggal di kompleks Bapindo di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, justru lebih suka bermain dengan warga kampung sekitar. “Saya mainnya sama anak-anak kampung di luar kompleks, main di got. Sementara kakak saya mainnya dengan anak-anak kompleks saja,” ceritanya.

Keanehan lain yang pernah diungkap ibunya adalah saat Jumhur kecil merengek minta dibelikan tangga milik seorang pedagang keliling. “Waktu itu saya maksa ibu beli tangga dari kakek penjual itu. Akhirnya demi menenangkan saya, ibu beli juga tangganya meskipun nggak butuh,” tutur Jumhur, yang gemar mengenakan batik karena dianggap fleksibel.

Tanpa Beban Saat Jadi Aktivis

Mohammad Jumhur Hidayat tak bisa menjelaskan mengapa ketertarikannya begitu kuat untuk menolong sesama. “Itu terjadi sejak kecil, menurut saya itu adalah panggilan,” jelasnya. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Mohammad Jumhur Hidayat tak bisa menjelaskan mengapa ketertarikannya begitu kuat untuk menolong sesama. “Itu terjadi sejak kecil, menurut saya itu adalah panggilan,” jelasnya. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Apakah saat menjadi aktivis Mohammad Jumhur Hidayat memikirkan risikonya? “Enggak sampai ke sana. Semuanya mengalir saja, soalnya waktu itu masih muda, umur 20-21 tahun. Saat saya ditangkap, yang dipanggil aparat itu orang tua saya. Saya sendiri di tahanan rileks saja,” katanya.

Namun, ia mengaku terpukul ketika diberhentikan dari ITB usai melakukan aksi unjuk rasa menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini ke kampus. “Terus terang, saya terpukul saat dipecat dari ITB. Soalnya, senior saya dulu enggak dipecat. Mereka bahkan masih bisa ikut ujian setelah keluar dari penjara dan menyelesaikan kuliah,” lanjut Jumhur yang menuntaskan S1 di Universitas Nasional Jakarta.

Bahkan penangkapannya kala itu dinilai berlebihan. Ia dan teman-temannya sempat dikirim ke Lapas Nusa Kambangan. “Saat Menteri Kehakiman Ismail Saleh tahu, beliau marah. Lalu kami dikembalikan ke Lapas Sukamiskin, Bandung,” ujarnya, sembari menduga ada pihak yang mencoba cari muka di hadapan penguasa Orde Baru.

Melihat Aktivis Mahasiswa Saat Ini

Mohammad Jumhur Hidayat mengapresiasi gerakan mahasiswa yang mengkritis kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Namun kata dia setiap tindakan harus punya dasar dan analisis yang kuat. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)
Mohammad Jumhur Hidayat mengapresiasi gerakan mahasiswa yang mengkritis kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Namun kata dia setiap tindakan harus punya dasar dan analisis yang kuat. (Foto: Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada - VOI)

Sebagai mantan aktivis, Jumhur mengapresiasi mahasiswa yang terlibat dalam gerakan sosial. “Anak muda yang sudah memikirkan negara itu bagus. Tapi, setiap tindakan harus punya dasar dan analisis yang kuat. Misalnya soal Dwi Fungsi ABRI, apakah benar ini akan dihidupkan kembali?” katanya retoris.

Ia menyarankan mahasiswa menyelidiki lebih dalam persoalan tersebut. “Kalau kita cermati dari revisi UU TNI tempo hari, memang ada upaya memperpanjang usia pensiun TNI, disamakan dengan ASN menjadi 60 tahun. Tapi menurut saya ini tidak terlalu signifikan,” ujar Jumhur, yang saat menjabat Kepala BNP2TKI pernah melibatkan anggota kepolisian untuk jabatan setingkat direktur.

Penempatan polisi itu, menurutnya, membawa dampak positif. “Saya minta BKO polisi, dan kalau ada kasus, koordinasi mereka dengan aparat penegak hukum lebih cepat,” paparnya.

Soal TNI aktif di lembaga seperti Bakamla, BNPT, atau BNN, menurutnya wajar. “Dulu di era Dwi Fungsi ABRI, hampir semua jabatan bupati dan gubernur diisi oleh ABRI. Sekarang, kalau TNI maju sebagai calon kepala daerah harus lewat pilkada langsung. Lihat saja Andika Perkasa yang kalah di Pilkada Jawa Tengah. Jadi, enggak semengerikan yang dibayangkan,” papar mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.  

Menurut Mohammad Jumhur Hidayat, mahasiswa harus membuka mata lebih lebar. Bukan hanya soal Dwi Fungsi TNI, tetapi juga persoalan lain yang dihadapi rakyat seperti agraria, keadilan sosial, dan sebagainya.

"Selama ini kita terlalu manja karena hanya berdagang dengan negara-negara tertentu saja. Ketika ada masalah seperti sekarang, baru kita merasakan dampaknya. Saya usulkan, kini saatnya Presiden memanggil semua duta besar kita. Mereka harus jadi ujung tombak pemasaran produk-produk Indonesia di negara tempat mereka bertugas,"

Mohammad Jumhur Hidayat