Partager:

JAKARTA - Anggota Komisi I DPR tengah mengebut menyelesaikan revisi RUU Nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebelum masa reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 13 April 2025 mendatang.

Namun rencana revisi itu, tak luput dari kecurigaan publik, publik curiga revisi itu kelak akan menghidupkan kembali doktrin Dwi Fungsi Abri yang sejak awal reformasi 1998 dihapuskan dan menghidupkan kembali TNI boleh berbisnis. Langkah tersebut juga mengancam reformasi TNI yang dirintis selama ini. Sehingga cita-cita kita memiliki tentara yang profesional semakin jauh panggang dari api karena tentara tak lagi di barak.

Sejarah kemunculan Dwi Fungsi ABRI sendiri, awalnya bermula di era Orde Baru, dipelopori oleh pidato Jenderal A.H. Nasution pada saat di HUT Akademi Militer Nasional (AMN) 1958, dan dilegalkan pada 1982, telah mempengaruhi politik dan sosial di Indonesia, dengan ABRI yang mendominasi lembaga eksekutif dan legislatif. Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) merupakan sebuah konsep yang muncul pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Konsep ini menegaskan peran ganda militer Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan sekaligus kekuatan sosial politik. Dwi Fungsi ABRI menjadi landasan bagi keterlibatan militer dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam pemerintahan, ekonomi, dan politik. Namun, seiring dengan perubahan zaman dan tuntutan reformasi, konsep ini akhirnya dihapus, dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dikembalikan ke barak untuk fokus pada tugas pertahanan dan keamanan.

Konsep Dwi Fungsi ABRI berakar dari pengalaman sejarah Indonesia, terutama pada masa perjuangan kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik (1945-1949), militer Indonesia tidak hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan membangun negara. Peran ganda ini kemudian dianggap sebagai warisan yang perlu dilestarikan.

Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, militer juga memainkan peran politik yang signifikan. Namun, puncak dari konsep Dwi Fungsi ABRI terjadi pada era Orde Baru. Setelah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, ABRI di bawah pimpinan Soeharto mengambil peran sentral dalam memulihkan stabilitas negara. Soeharto, yang berasal dari kalangan militer, melihat ABRI sebagai kekuatan yang mampu menjaga stabilitas politik dan pembangunan nasional.

Pada tahun 1966, melalui doktrin "Catur Dharma Eka Karma" (Cadek). Doktrin ini tercetus melalui Seminar Hankam ke-1 tahun 1966 di Jakarta, akhirya doktrin pertahanan negara yang digunakan ABRI. ABRI secara resmi mengadopsi Dwi Fungsi sebagai landasan operasionalnya. Doktrin ini menegaskan bahwa ABRI tidak hanya bertugas menjaga keamanan negara, tetapi juga berperan aktif dalam pembangunan nasional dan kehidupan politik.

Instagram
dok :Instagram

Aspek-aspek doktrin Catur Dharma Eka Karma mereka memperluas Golongan Hankam/ABRI yang terdiri dari ABRI, Veteran, Purnawirawan, dan Demobilisan. Lalu memperluas pembentukan partai khusus bernama Golongan Karya (Golkar) yang harus ditanamkan dan dikembangkan di antara anggota, keluarga, dan lingkungannya dan Golkar non-organik harus dibina secara langsung oleh ABRI.

Dalam praktiknya, Dwi Fungsi ABRI diwujudkan melalui berbagai cara. Militer ditempatkan dalam posisi-posisi strategis di pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Banyak perwira militer yang menjabat sebagai menteri, gubernur, bupati, atau kepala desa. Selain itu, ABRI juga memiliki wakil di lembaga legislatif melalui fraksi ABRI di DPR.

Sebagai upaya untuk menjaga stabilitas dan mencegah konflik keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan dibolehkan. Namun, seiring berjalannya waktu, Dwi Fungsi ABRI menuai kritik. Banyak yang menilai bahwa konsep ini justru menciptakan tak ketidakseimbangan kekuasaan dan meminggirkan peran sipil dalam pemerintahan.

Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pada tahun 1998 menjadi titik balik bagi sejarah Dwi Fungsi ABRI. Tuntutan reformasi dari masyarakat sipil, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat semakin kuat termasuk sokongan sejumlah tokoh reformis. Salah satu tuntutan utama mereka adalah penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan kembalinya militer ke barak.

Setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, proses reformasi di tubuh militer mulai dilakukan. Melalui Menteri Pertahanan dan Keamanan kala itu, Jenderal Wiranto, dibantu oleh Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, serta pimpinan TNI lain merasa perlu mengurangi peran TNI dalam politik, itu terjadi di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Lalu, pada tahun 1999, melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999, Dwi Fungsi ABRI secara resmi dihapus. ABRI kemudian berganti nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), dan peran politik militer dikurangi secara signifikan.

Kembalinya TNI ke Barak

Proses kembalinya TNI ke barak merupakan bagian dari upaya demokratisasi di Indonesia. TNI difokuskan kembali pada tugas utamanya, yaitu menjaga pertahanan dan keamanan negara. Beberapa langkah penting yang dilakukan antara lain, Pencabutan Fraksi TNI/Polri di DPR. Pada tahun 2004, keanggotaan TNI dan Polri di lembaga legislatif dihapus. Ini menandai berakhirnya keterlibatan militer dalam politik praktis. Bahkan presiden Abdurrahman Wahid, menandai penunjukan Menteri Pertahanan dari orang sipil.

Penarikan perwira militer dari posisi sipil, banyak perwira militer yang sebelumnya menjabat di pemerintahan sipil ditarik kembali ke institusi militer. Reformasi Internal juga dilakukan TNI, termasuk meningkatkan profesionalisme dan memisahkan diri dari kegiatan politik.

Penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan kembalinya TNI ke barak membawa dampak positif bagi proses demokratisasi di Indonesia. Militer tidak lagi menjadi kekuatan politik yang dominan, dan ruang bagi partisipasi sipil dalam pemerintahan semakin terbuka. Namun, tantangan tetap ada, terutama memastikan TNI tetap profesional dan tidak terlibat dalam politik praktis.

Selain itu, proses reformasi militer juga menghadapi kendala, seperti resistensi dari kalangan internal militer dan kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas pertahanan TNI di tengah dinamika keamanan global yang terus berubah.

Undang-undangan TNI ini telah dua kali mengalami perubahan, awalnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 diubah menjadi UU No 34 tahun 2024 dan saat ini mengalami revisi Kembali.

Menurut Menteri Pertahanan RI, Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin menyebut Revisi UU yang diajukan atas inisiatif DPR, karena alasan tuntutan perkembangan geopolitik global mengharuskan TNI bertransformasi guna menghadapi ancaman konvensional maupun non konvensional seperti ancaman perang cyber, perang Hibrida perang asimetris lainnya. "Oleh karena itu revisi UU TNI diperlukan untuk memberikan landasan hukum yang jelas baik tugas TNI baik perang dan tugas selain perang dengan berlandas prinsip demokrasi dan sistem supremasi hukum," kata Sjafrie di hadapan Anggota Komisi I DPR, Maret lalu.

Sementara Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, berdalih urgensi revisi UU TNI

karena ada frasa/kalimat yang tidak sesuai lagi di UU itu, karena ada perubahan nomenklatur Lembaga dan badan yang baru perlu penyesuaian, juga presiden terkendala pada penggantian jabatan karena usia, sehingga perlu ada perpanjangan usia pensiun. Menyesuaikan ancaman tantangan hari ini, ancaman cyber yang perlu diatur dan dipikirkan, selain itu kebutuhan jabatan baru karena adanya perluasan dan fungsi TNI yang dibutuhkan instansi terkait sesuai kapasitas dan kapabilitas dibutuhkan instansi terkait.

Pengamat Militer, Beni Sukadis justru melihat alasan yang relevan berkaitan tantangan global adalah untuk mengembalikan Mabes TNI di bawah Kementerian Pertahanan sehingga ada control Mabes TNI oleh Kemhan. Sebab beberapa negara meletakan Mabes TNI-nya di bawah Kemhan dan itu sudah menjadi amanat UU itu.

Protes oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan saat pembahasan revisi UU TNI digelar di Hotel Fairmont, Jakarta pada Sabtu (15/3/2025). (X/@KontraS)
Protes oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan saat pembahasan revisi UU TNI digelar di Hotel Fairmont, Jakarta pada Sabtu (15/3/2025). (X/@KontraS)

Sejumlah Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan keberatan atas rencana revisi tersebut. Menurut Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mereka menolak revisi UU TNI, karena akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru. "Revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi," pesannya, kepada Voi, Minggu 17 Maret.

"DPR RI dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis yang dimasa Orde Baru yang terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi." tambahnya.

Selain penolakan dari YLBHI, penolakan juga datang dari 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG). Revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)