Selama ini baik pemerintah maupun masyarakat masih menghadapi bencana dengan pendekatan reaktif. Ketika terjadi bencana baru semua sibuk. Ke depan menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Dr. Hendra Gunawan pendekatannya harus diubah dari reaktif menjadi preventif.
***
Indonesia adalah negara yang memiliki potensi bencana paling lengkap. Segala macam bencana nyaris ada di Indonesia seperti gempa, longsor, erupsi gunung berapi, banjir, tsunami, angin topan, dan lain-lain. Selama ini dalam menghadapi bencana baik pemerintah dan maupun masyarakat masih menggunakan pendekatan reaktif. Artinya bereaksi setelah bencana terjadi.
Ke depan menghadapi bencana menurut Hendra Gunawan pendekatannya harus diubah dari pendekatan reaktif menjadi preventif. “Beberapa waktu lalu dalam sebuah pertemuan internasional di Bali dibahas pendekatan menghadapi bencana dengan model seperti ini. Saat menghadapi bencana kita jangan lagi reaktif tetapi preventif,” katanya.
Untuk itu lanjut Hendra, data dari semua institusi seperti BMKG, BNPB, PVMBG, dll., harus terkoneksi satu sama lain. Ketika data dari berbagai lembaga dan instansi itu tersambung satu dengan yang lain akan bisa dijadikan rujukan untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat dalam mitigasi bencana. Dengan pendekatan preventif ini jumlah korban dari sebuah bencana alam bisa diminimalisir.
Beberapa hari hari ini Gunung Semeru di Jawa Timur kembali erupsi. Saat ini aktivitasnya sudah berangsur-angsur mengalami penurunan. Menurut Hendra Gunawan pihaknya terus melakukan evaluasi untuk menurunkan status Gunung Semeru. “Saat ini Gunung Semeru masih dalam masa evaluasi untuk untuk penurunan status, karena pasca erupsi 4 Desember 2022 secara visual, kegempaan, maupun deformasi sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan,” katanya kepada dalam sebuah wawancara khusus dengan Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Debi Astari, Savic Rabos dan Rifai di kantor VOI belum lama ini. Ia bicara banyak soal gunung berapi, mitigasi dan pendekatan terhadap bencana alam ke depan. Inilah petikan selengkapnya.
Gunung Semeru kembali erupsi dalam beberapa hari terakhir ini, sampai hari ini apa statusnya?
Saat ini Gunung Semeru masih dalam masa evaluasi untuk untuk penurunan status, karena pasca erupsi 4 Desember 2022 secara visual, kegempaan, maupun deformasi sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan. Ke depan yang perlu kita waspadai adalah bahaya sekunder yaitu aliran air hujan yang membawa material dari puncak gunung.
Fenomena erupsi di Gunung Semeru ini sudah sangat lama terjadi. Setidaknya dari data kami sejak tahun 1940-an. Saya sempat sampaikan kepada para pengamat yang ada di pos pantau Gunung Semeru, bahwa gunung ini sangat aktif dan mematikan. Itu saya sampaikan dua bulan yang lalu.
Kalau kondisi gunungnya seperti ini apa yang harus dilakukan?
Kalau gunung sangat sangat aktif dan mematikan yang harus diwaspadai kecepatan gerak. Kita harus bergerak cepat saat mengetahui ada tanda-tanda pergerakan yang menunjukkan peningkatan aktivitas gunung ini. Kita harus punya tim yang kuat, lengkap, solid dan punya kompetensi. Pengamatnya harus responsif dan ditunjang oleh modernisasi peralatan pantau. Di Kementerian ESDM memang sudah ada program untuk modernisasi peralatan pantau untuk gunung-gunung yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama yang paling aktif.
Untuk mitigasi di Gunung Semeru, seperti apa kesiapan masyarakat dan Lembaga lainnya seperti PVMBG, BMKG, BPBD dan instansi lainnya?
Kita selalu melakukan koordinasi, karena produk dari PVMBG ini adalah peta dan rekomendasi. Ini harus dipastikan sampai ke pemda dan semua kalangan yang ada di daerah. Agar peta dan rekomendasi itu dimanfaatkan, usernya adalah masyarakat. Kami berharap pemda menyosialisasikan ini kepada masyarakat secara luas. Di sekitar Gunung Semeru itu banyak penambang (pasir). Harus ada komunikasi yang bagus. Ingat ini adalah masalah kecepatan, komunikasi dan koordinasi adalah ujung tombak.
Apa estimasi Anda untuk aktivitas Gunung Semeru dan Merapi beberapa bulan ke depan, apalagi ini musim hujan?
Kalau aktivitas dari dalam itu memang berfluktuasi. Untuk Semeru kita sedang evaluasi untuk menurunkan statusnya. Kemudian untuk Merapi masih dalam status siaga dan terus dievaluasi karena datanya masih berfluktuasi. Dari kedua gunung ini yang mengancam tetap bahaya sekunder, kalau ada hujan akan ada potensi banjir yang akan membawa material berupa pasir dari puncak gunung. Untuk Semeru material itu masih menumpuk di puncak hasil erupsi tahun 2020, 2021 dan 2022. Saat hujan lebat bahaya mengancam, di aliran sungai terdekat.
PVMBG sudah memberikan peringatan bahwa untuk level awas (level 4) itu Gunung Semeru (Jawa Timur), level siaga (level 3) itu Gunung Merapi (DIY / Jawa Tengah) dan anak Gunung Krakatau (Banten). Sedangkan untuk gunung yang lainnya yang berada di level waspada (level 2) antara lain adalah Gunung Marapi (Sumatera Barat), Gunung Gamalama (Maluku Utara), Gunung Lokon (Sulawesi Utara), dan lain sebagainya.
Sekarang soal gempa Cianjur 5,6 dan Sukabumi 5,8, bagaimana analilis dari sisi geologi, apakah ada korelasi atau berdiri sendiri?
Ini pertanyaan bagus dan banyak ditanyakan. Apakah gempa yang satu saling terhubung atau tidak dan mekanismenya seperti apa. Saat gempa Cianjur tim dari PVMBG, badan geologi bahkan tim terpadu ke sana untuk memberikan analisis data survei baik itu dari gerakan tanahnya maupun dari kerusakan. Kita kumpulkan semua dan kita mengacu pada sumber gempa dari BMKG yang posisinya memang ada di sebelah barat kota Cianjur.
Analisis dari kami itu merupakan bagian dari patahan yang ada di sekitar Cianjur. Jadi kalau dari data geologi itu ada patahan di Selatan, di Timur dan di Barat Cianjur itu semua patahan. Dan pernah kejadian rusak (gempa) dari informasi BMKG tahun 1900, 1970 dan 1980. Kemudian di utara Cianjur ada kejadian tahun 2019 ada 2020 ada 2021. Di Barat Cianjur ada kejadian tahun 2018 dan 2016. Itu memang bagian dari dinamika patahan-patahan di sekitar Cianjur.
Ini kemungkinan kalau hasil dari analisis kami, dari beberapa ahli kita diskusikan kemarin, gempa Cianjur ini diakibatkan oleh (aktivitas) patahan yang dari tahun 2021 dan 2022 cendrung aktif. Baik patahan gempa yang dalam maupun yang dangkal ini yang mengaktivasi patahan yang ada.
Lalu adakah korelasi gempa Cianjur dengan gempa Sukabumi?
Jadi itu membuktikan bahwa sejak tahun 2021 dan 2022 ini, baik gempa dangkal maupun gempa dalam yang lebih aktif, kemungkinan dalam rangkaian itu, walaupun kedalamnya berbeda. Di Sukabumi dan Garut kedalamannya 100-an km. Sedangkan di Cianjur 10 km. Kemungkinan gempa yang dalam itu membangkitkan patahan yang dangkal yang terjadi di dekat Cianjur.
PVMBG sudah membuat peta kawasan rawan gempa. Daerah Cianjur itu termasuk risiko tinggi. Setiap orang, instansi atau siapa pun yang akan membangun bangunan di daerah rawan gempa itu harus memenuhi persyaratan yang dikeluarkan Kementerian PUPR, ini untuk meminimalisir korban kalau terjadi gempa. Pemda harus menjaga dan menerapkan saat ada yang meminta izin pembangunan.
Mematuhi SNI untuk building. Untuk daerah Cianjur background akselerasinya mencapai 0,6. Karena itu jangan sampai bangunan yang ada di sana responnya kurang dari 0,6. Saat ada gempa 0,6 ambruk bangunan. Ini daerah patahan untuk bangunan di lereng-lereng juga harus dihindari karena ada potensi longsor. Longsor yang terjadi kemarin dipicu oleh pergerakan patahan itu. Jadi bahayanya dobel. Dengan kondisi alam Indonesia yang rawan bencana ini kita tidak bisa melawan alam, yang bisa dilakukan adalah mengantisipasi dan melakukan tindakan preventif.
Apakah erupsi gunung berapi bisa memicu bencana lain seperti gempa?
Secara mainstream erupsi itu lebih ke material halus (debu dan abu) itu yang berbahaya dan cakupannya luas. Bahkan kalau tingginya sampai 30-40 km itu sudah bisa berbulan-bulan di udara ikut siklus mengelilingi bumi. Untuk menghadapi awan panas kita harus menghindar. Kalau abu kita mengindar sementara setelah usai erupsi bisa dibersihkan. Jangka pendek debu gunung berapi bisa merusak tanaman, namun jangka pajang bisa menyuburkan tanah.
VOIR éGALEMENT:
Ke depan apakah ada gunung di Indonesia yang akan erupsi sedahsyat Gunung Krakatau?
Saya barusan menguji di kampus ITB bersama Doktor Mirza, ada mahasiswa meneliti soal Gunung Raung, ini kalderanya baru terbentuk sekitar tahun 1500 akhir, berarti 5 abad yang lalu. Biasanya gunung yang bentuk kerucutnya bagus berpotensi menjadi kaldera. Semoga dengan modernisasi peralatan kita bisa mendeteksi dari awal, saat ada tanda akan erupsi bisa melakukan evakuasi lebih awal. Untuk volcanic explosivity index-nya mendekati 4. Kalau Gunung Krakatau dulu 6. Lumayan besar radius 10-11 km masih bisa terdampak. Itu yang harus diketahui Pemda setempat sehingga bisa menyampaikan kepada masyarakat. Kalau sudah begini mitigasi harus digiatkan. Agar korban bisa diminimalisir.
Saat ini apakah penanganan bencana kita sudah berubah dari reaktif menuju preventif?
Beberapa waktu lalu dalam sebuah pertemuan internasional di Bali dibahas pendekatan menghadapi bencana ini sudah juga dibahas. Menghadapi bencana kita jangan lagi reaktif tetapi preventif. Untuk itu data dari semua institusi (BMKG, BNPB, PVMBG, dll) yang ada bisa saling menyambung, bisa saling berkomunikasi dengan cepat itu sehingga bisa mengambil keputusan dengan tepat dan cepat.
Data apa saja yang bisa dipertukarkan?
Semua data bisa dipertukarkan, misalnya dari BNPB data vulnerability (kerentanan). Dari sebuah wilayah yang ada di patahan gempa bisa dilihat bangunan yang ada di sana.
Selama ini antarlembaga apakah sudah terjadi kerjasama?
On progress, PVMBG sendiri dalam waktu dekat akan me-release peta rawan bencana dalam satu portal per-wilayah, agar pemda bisa mengakses langsung. Tapi kerjaannya berat, kita harus bikin platform-nya dari awal.
Ada gunung berapi yang aktif dan ada yang diam, di antara keduanya mana yang paling berbahaya?
Kita harus lihat historinya, biasanya gunung berapi itu akan erupsi secara berkala. Namun yang paling akurat itu data monitoring. Kita gabungkan keduanya untuk antisipasi, seperti Semeru ditingkatkan statusnya karena historinya memang ada.
Dari sekian gunung berapi di Indonesia mana yang potensi erupsinya besar seperti Gunung Krakatau?
Untuk Gunung Krakatau itu kasus khusus dia itu gabungan antara tektonik dan vulkanik, jadi aktif sekali. Gunung yang lain tidak akan sedahsyat Krakatau kalau erupsi. Kuncinya ada di deatting batuan. Dari bekas batu letusan itu bisa diketahui historinya, besar letusan. Ini baru sedikit kita lakukan karena biayanya mahal.
Setelah erupsi, apakah suatu hari nanti sebuah Gunung akan erupsi dengan kekuatan yang sama?
Biasanya erupsinya dengan kekuatan yang sama. Makanya berulang. Dari penelitian batuan yang ada ketahuan indeks letusan, histori dan sebagainya. Jadi kelihatan polanya, tipe erupsi, sehingga ke depan bisa dibuat skenarionya.
Gunung berapi berpotensi erupsi dan bencana, tapi bagaimana membuat hal ini bermanfaat bagi masyarakat?
Sebelum di PVMBG saya di sempat bertugas di Pusat Survei Geologi, tugas saya mendorong program geopark, salah satunya di Gunung Batur, Bali. Bisa menjadi lokasi wisata, apalagi Gunung Batur sudah masuk dalam geopark Unesco. Setelah dikemas apik harapannya turis akan datang. Yang akan dikembangkan berikutnya adalah geopark Gunung Ijen.
Hendra Gunawan Menjadikan Gunung Seperti Anak Sendiri
Sebagai seorang yang berkutat dengan gunung berapi, Dr. Hendra Gunawan ternyata menjadikan gunung seperti anak sendiri. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ini tak bisa meninggalkan gunung meski gunung berapi itu membahayakan. Gunung berapi harus tetap diperhatikan dan disambangi. Sehingga saat aktivitasnya meningkat bisa diketahui lebih awal dan bisa mengabarkannya kepada masyarakat.
Sejak muda, Hendra memang sudah suka mendaki gunung. Namun saat itu dia belum terbayang untuk menjadi seorang pakar dalam bidang vulkanologi. “Waktu muda saya memang senang naik gunung. Namun soal keilmuannya saat itu belum kepikiran sama sekali,” ujar pria kelahiran Garut, 15 April 1968.
Karena senang mendaki gunung selepas SMA ia memilih kuliah di Teknik Geologi, ITB. Setelah tamat kuliah dia berkarya di kantor PVMBG ia terpacu untuk melanjutkan studi dalam bidang geofisika di luar negeri. “Di Indonesia ini banyak sekali gunung berapi, jadi tantangannya amat besar. Setelah menangani gunung yang satu kita bisa menangani gunung yang lain,” kata alumnus Hendra yang menyelesaikan studi di DEA (Diplôme d’études approfondies) Institut de Physique du Globe de Paris (IPGP), Paris, Perancis.
Dengan kesibukan yang tinggi seperti apa Anda menjaga kesehatan? “Kalau usia sudah di atas 40 tahun soal makanan harus dijaga. Bisa bermasalah kalau tidak jaga asupan makanan. Namun kalau soal mitigasi dan tugas kapan pun harus siap. Tidak ada istilah lagi engga mood. Soalnya itu penting dan menyangkut keselamatan orang banyak. Saya mengecek pekerjaan dan memantau gunung berapi itu 24 jam,” tandasnya.
Menurut Hendra, gunung itu harus dianggap sebagai anak sendiri atau istri sendiri. Jadi memang harus diperhatikan dan dilihat selalu. “Kita harus selalu mendekati gunung, jangan sekali-kali menjauh dari gunung. Jadikan gunung itu seperti anak atau istri kita sendiri. Gunung itu sudah menjadi bagian hidup kita,” lanjut pria yang menyelesaikan jenjang S3 di Institut de Physique du Globe de Paris (IPGP), Paris, Perancis.
Kesehatan
Dulu saat masih muda Hendra Gunawan aktif mendaki gunung, namun saat ini ia sudah tak sanggup untuk mendaki gunung. Namun untuk urusan olahraga, katanya tetap dilakukan untuk menjaga kesehatan dan kebugaran. “Dulu memang saya suka naik gunung, sekarang sudah enggak sanggup. Namun olaraga jalan pagi di depan rumah tetap dilakukan. Soalnya harus bergerak dan berkeringat agar tubuh kita sehat,” katanya.
Terakhir kali Hendra mendaki gunung di tahun 2015 silam. “Saat itu saya masih sanggup mendaki Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Kalau sekarang sudah engga kuat lagi,” kenangnya.
Namun karena tugas, meski sudah tak sanggup lagi mendaki hingga ke puncak gunung, Hendra tetap menyambangi gunung. Apalagi kalau ada gunung yang sedang menunjukkan peningkatan aktivitas seperti Gunung Semeru saat ini. “Untuk Semeru saya menyambangi sampai pos pantau terdekat yang berjarak 9 kilometer dari gunung semeru,” katanya.
Tak Terlupakan
Ada satu pengalaman Hendra yang tak terlupakan seumur hidup. Ketika ia harus menangani erupsi Gunung Lokon yang tak jauh dari kota Manado, Sulawesi Utara.
Saat itu dia dan pejabat setempat sedang intens menunggu perkembangan terbaru soal aktivitas Gunung Lokon yang meningkat. “Setiap 6 jam kami rapat. Saat kami sedang rapat dengan Kapolda, Kapolsek dan Wali Kota. Hari itu jam 9 malam kami dipanggil untuk memberikan report soal perkembangan terbaru Gunung Lokon. Saya bilang masih kritis. Lalu digelarlah rapat di kantor Wakilota,” katanya.
Namun saat rapat tengah berlangsung Gunung Lokon mengalami erupsi, rapat pun langsung dihentikan. “Suara erupsi gunung yang menggelegar dan membuat semua peserta rapat berhamburan menyelamatkan diri, termasuk saya. Nah saat itu saking paniknya saya keluar ruangan malah bukannya menjauhi gunung, tapi malah mendekati gunung,” kenang Hendra sembari tertawa geli mengenang kejadian itu.
Momen itu benar-benar jadi pelajaran baginya. “Ternyata orang kalau sudah takut itu sama, logika kadang terlupakan. Inginnya menyelamatkan diri secepat mungkin, padahal arahnya salah. Saat panik semua ilmu dan pengalaman lupa semua,” katanya Hendra yang memaksimalkan kesempatan saat ada waktu dengan keluarga.
Dari pengalamannya menekuni vulkanologi dan kegununapian, ia menyerukan kepada generasi muda untuk tak ragu menekuni ilmu geologi dan vulkanologi. “Ilmu ini amat bermanfaat dan akan dibutuhkan terus. Lalu jadikan gunung itu bagian dari hidup kita, anggap gunung itu seperti anak atau istri kita sendiri. Jadi harus diperhatikan dan disambangi terus menerus,” kata Hendra Gunawan menyudahi perbincangan.
"Fenomena erupsi di Gunung Semeru ini sudah sangat lama terjadi. Setidaknya dari data kami sejak tahun 1940-an. Saya sempat sampaikan kepada para pengamat yang ada di pos pantau Gunung Semeru, bahwa gunung ini sangat aktif dan mematikan. Itu saya sampaikan dua bulan yang lalu,"
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)