Partager:

JAKARTA - Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyampaikan gelombang kekhawatiran terhadap stagflasi global kembali mengemuka setelah proyeksi ekonomi Amerika Serikat menunjukkan kombinasi yang tidak nyaman lantaran inflasi yang tetap tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.

"Isu ini tidak lagi sekadar risiko teknikal dalam grafik ekonomi, tetapi telah menjadi pembicaraan serius di kalangan pembuat kebijakan, analis, hingga pelaku pasar dunia," ujarnya dalam keterangannya, Rabu, 26 Maret.

Menurutnya bagi Indonesia, sinyal ini bukan hanya merupakan pantulan dari negeri seberang, melainkan juga peringatan dini bahwa fondasi makroekonomi nasional harus siap menghadapi tekanan global yang semakin kompleks.

Syafruddin menjelaskan stagflasi adalah sebuah kondisi ketika inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan tingkat pengangguran yang meningkat bukanlah skenario biasa. Dalam situasi normal, inflasi dan pengangguran bergerak berlawanan arah.

"Namun ketika gejolak pasokan, kebijakan proteksionis, dan disrupsi global bercampur menjadi satu, korelasi itu bisa runtuh. Inilah yang sedang dikhawatirkan banyak pihak seperti tarif impor baru dari AS, meningkatnya biaya logistik global, dan tekanan geopolitik bisa menjadi pemicu stagflasi dalam skala global," jelasnya.

Syafruddin menyampaikan bagi Indonesia, risiko stagflasi global memiliki dua implikasi utama yang tidak bisa diabaikan yaitu pelemahan nilai tukar rupiah dan perlambatan ekspor.

Menurutnya dua sektor ini menjadi penopang utama stabilitas ekonomi nasional, dan keduanya sangat sensitif terhadap dinamika eksternal.

Syafruddin menjelaskan ketika inflasi di AS naik dan The Fed mempertimbangkan untuk menunda pemangkasan suku bunga, bahkan mungkin menaikkan kembali jika tekanan harga berlanjut, arus modal cenderung keluar dari negara berkembang.

Ia menambahkan sehingga investor global akan memburu aset-aset safe haven seperti dolar AS dan obligasi pemerintah AS yang menawarkan imbal hasil tinggi serta ini akan memberikan tekanan besar pada mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.

"Kita sudah melihat bagaimana rupiah cenderung melemah setiap kali The Fed memberikan sinyal hawkish, apalagi jika didorong oleh kekhawatiran stagflasi yang membuat volatilitas pasar meningkat," ucapnya," ujarnya.

Syafruddin menyampaikan pelemahan rupiah tidak berdampak tunggal lantaran ketika nilai tukar tertekan, biaya impor naik, tekanan inflasi domestik meningkat, dan beban utang luar negeri ikut membesar.

"Di saat yang sama, Bank Indonesia menghadapi dilema apakah menaikkan suku bunga untuk meredam depresiasi, atau mempertahankan suku bunga agar tidak menghambat pemulihan domestik," tuturnya.

Menurutnya ketidakpastian global, jika tidak diimbangi dengan koordinasi fiskal dan komunikasi kebijakan yang kuat, dapat mengikis kepercayaan pelaku usaha dan konsumen.

Selain itu, Ia menyampaikan sektor ekspor menghadapi ancaman yang tak kalah serius, dimana Indonesia selama ini menggantungkan pertumbuhan ekspor pada permintaan global, terutama dari mitra dagang utama seperti Tiongkok, AS, dan Eropa jika ekonomi global melambat akibat stagflasi, permintaan terhadap komoditas baik primer seperti batu bara, sawit, dan nikel, maupun manufaktur seperti elektronik dan tekstil akan menurun.

"Negara-negara importir akan mengerem belanja mereka, baik karena tekanan harga di dalam negeri maupun karena daya beli masyarakat yang melemah," ucapnya.

Menurutnya, hal ini akan memukul pendapatan ekspor Indonesia dan mempersempit ruang fiskal pemerintah lantaran saat ini belanja publik, subsidi, dan stimulus ekonomi sangat bergantung pada penerimaan negara, dan ketika ekspor turun, pendapatan pajak dan devisa ikut terkikis.

Syafruddin menyampaikan neraca perdagangan bisa berubah dari surplus menjadi defisit sehingga kombinasi ini akan memperlemah posisi cadangan devisa dan memperbesar risiko ekonomi jangka menengah.

Syafruddin menambahkan di tengah semua risiko tersebut, Indonesia tidak boleh memilih jalan pesimisme yang dibutuhkan saat ini adalah respons kebijakan yang cerdas dan antisipatif.

Oleh sebab itu, Pemerintah perlu memperkuat ketahanan ekonomi domestik, bukan hanya melalui belanja negara, tetapi melalui diversifikasi ekspor, penguatan industri pengganti impor, dan insentif kepada sektor-sektor yang tahan terhadap gejolak global.

Selain itu, pelaku usaha juga perlu didorong untuk melakukan lindung nilai (hedging) atas risiko nilai tukar dan mencari pasar alternatif untuk ekspor.

Di sisi moneter, Syafruddin menyampaikan Bank Indonesia tidak bisa bekerja sendirian sehingga membutuhkan koordinasi dengan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan OJK menjadi krusial.

"Indonesia butuh satu kerangka narasi kebijakan yang terintegrasi bahwa pemerintah hadir, memahami risiko global, dan siap bertindak tegas menjaga stabilitas. Komunikasi kebijakan yang konsisten dan kredibel sangat penting untuk menahan gejolak ekspektasi pasar," jelasnya.

Syafruddin menyampaikan edukasi keuangan, dorongan konsumsi produk lokal, dan penguatan sektor informal menjadi bagian dari strategi menjaga daya beli dan stabilitas sosial.

Menurutnya kebijakan ekonomi tidak boleh eksklusif untuk kalangan elite ekonomi dan harus menyentuh akar rumput dan memperkuat fondasi ekonomi rakyat.

"Sejarah membuktikan bahwa stagflasi adalah musuh yang licin seperti sulit dikendalikan karena menggabungkan dua tantangan sekaligus. Tapi sejarah juga mengajarkan bahwa negara yang bersatu, cepat tanggap, dan adaptif akan keluar lebih kuat dari krisis," ucapnya.

Syafruddin menyampaikan Indonesia punya modal itu populasi muda, potensi pasar domestik besar, dan cadangan sumber daya alam yang berlimpah sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk bertindak dan kesungguhan untuk menjaga kepercayaan publik.

Menurutnya, jika ekonomi global memasuki zona berbahaya, maka Indonesia harus melangkah dengan strategi, bukan spekulasi sehingga menjaga rupiah dan ekspor bukan sekadar agenda teknis, melainkan bagian dari menjaga masa depan ekonomi nasional.

"Jangan tunggu badai datang baru kita mencari pelampung. Kita harus memperkuat kapal ekonomi kita mulai hari ini," jelasnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)