Partager:

JAKARTA - Eks Staf Kemenkeu, Yustinus Prastowo menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen bukan keinginan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Pras menyebut kenaikan PPN adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR RI.

"Lalu kenapa PPN? Inilah kontribusi DPR yang juga bagus. Kita menaikan berapa 15, 12, akhirnya sepakat 12 tapi dua tahap, 11 persen dulu di 2022, lalu menjadi 12 persen di 2025, sambil mengamati Kondisi ekonomi membaik atau tidak. Ini kondisional sebenarnya," ujar Pras dalam diskusi 'PKB Insight Hub' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 Desember.

"Tapi kemarin karena kita sudah ngurusin macem-macem agak terlena, 2025 ternyata enggak lama sudah di depan mata, ternyata kita harus memutuskan dengan cepat," sambungnya.

Menurut Pras, disepakatinya kenaikan PPN lantaran pajak penghasilan tidak mengangkat penerimaan negara. Sehingga pemerintah perlu mencari cara lain untuk menambah pemasukan.

"Kenapa kok PPN? Kalau PPh tadi enggak profit perusahaan waktu COVID-19. PPN semua bayar, gotong royong PPN itu. Tapi kan regresif pak, yang kaya dan miskin kalau beli Indomie sama-sama bayar 10 persen. Oke, kalau begitu yang kebutuhan pokok kita nol-kan. Tetap dipertahankan, kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, transportasi tetap nol sampai sekarang, nggk bayar pajak. Sampai disitu kita bisa menerima, sampai akhirnya PPN 12 persen mau diterapkan. Sampai disini bagaimana?," katanya.

Pras meluruskan bahwa keinginan untuk menaikkan PPN bukan kemauan Sri Mulyani sendiri, melainkan kesepakatan bersama. "Saya mau klarifikasi ya, PPN 12 persen bukan maunya Bu Sri Mulyani, bukan maunya Kementerian Keuangan, bukan maunya Pak Jokowi, apalagi Pak Prabowo yang baru memerintah," tegas Pras.

"Ini keputusan politik bersama, karena undang-undang. Baik pada waktu dirumuskan dan saya yakin maksud tujuannya baik," pungkasnya.

Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku selektif hanya bagi barang mewah. Keputusan ini diambil setelah pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif PPN menuai kritik meluas dari masyarakat, pengusaha, dan para ekonom.

Sri Mulyani lantas memastikan tarif PPN 12 persen tak akan berlaku bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kejelasan lebih lanjut tentang PPN 12 persen akan diumumkan oleh pemerintah pada Senin, 16 Desember 2024.

Adapun dari sisi perbankan, kredit masih mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 10,92 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) per Oktober 2024. Dian mencatat bahwa ketika PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada 2022, kredit perbankan masih bisa tumbuh 10,38 persen yoy dengan NPL yang berada di level 2,19 persen.

JAKARTA - Eks Staf Kemenkeu, Yustinus Prastowo menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen bukan keinginan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Pras menyebut kenaikan PPN adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR RI.

"Lalu kenapa PPN? Inilah kontribusi DPR yang juga bagus. Kita menaikan berapa 15, 12, akhirnya sepakat 12 tapi dua tahap, 11 persen dulu di 2022, lalu menjadi 12 persen di 2025, sambil mengamati Kondisi ekonomi membaik atau tidak. Ini kondisional sebenarnya," ujar Pras dalam diskusi 'PKB Insight Hub' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 Desember.

"Tapi kemarin karena kita sudah ngurusin macem-macem agak terlena, 2025 ternyata enggak lama sudah di depan mata, ternyata kita harus memutuskan dengan cepat," sambungnya.

Menurut Pras, disepakatinya kenaikan PPN lantaran pajak penghasilan tidak mengangkat penerimaan negara. Sehingga pemerintah perlu mencari cara lain untuk menambah pemasukan.

"Kenapa kok PPN? Kalau PPh tadi enggak profit perusahaan waktu COVID-19. PPN semua bayar, gotong royong PPN itu. Tapi kan regresif pak, yang kaya dan miskin kalau beli Indomie sama-sama bayar 10 persen. Oke, kalau begitu yang kebutuhan pokok kita nol-kan. Tetap dipertahankan, kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, transportasi tetap nol sampai sekarang, nggk bayar pajak. Sampai disitu kita bisa menerima, sampai akhirnya PPN 12 persen mau diterapkan. Sampai disini bagaimana?," katanya.

Pras meluruskan bahwa keinginan untuk menaikkan PPN bukan kemauan Sri Mulyani sendiri, melainkan kesepakatan bersama. "Saya mau klarifikasi ya, PPN 12 persen bukan maunya Bu Sri Mulyani, bukan maunya Kementerian Keuangan, bukan maunya Pak Jokowi, apalagi Pak Prabowo yang baru memerintah," tegas Pras.

"Ini keputusan politik bersama, karena undang-undang. Baik pada waktu dirumuskan dan saya yakin maksud tujuannya baik," pungkasnya.

Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku selektif hanya bagi barang mewah. Keputusan ini diambil setelah pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif PPN menuai kritik meluas dari masyarakat, pengusaha, dan para ekonom.

Sri Mulyani lantas memastikan tarif PPN 12 persen tak akan berlaku bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kejelasan lebih lanjut tentang PPN 12 persen akan diumumkan oleh pemerintah pada Senin, 16 Desember 2024.

Adapun dari sisi perbankan, kredit masih mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 10,92 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) per Oktober 2024. Dian mencatat bahwa ketika PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada 2022, kredit perbankan masih bisa tumbuh 10,38 persen yoy dengan NPL yang berada di level 2,19 persen.

JAKARTA - Eks Staf Kemenkeu, Yustinus Prastowo menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen bukan keinginan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Pras menyebut kenaikan PPN adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR RI.

"Lalu kenapa PPN? Inilah kontribusi DPR yang juga bagus. Kita menaikan berapa 15, 12, akhirnya sepakat 12 tapi dua tahap, 11 persen dulu di 2022, lalu menjadi 12 persen di 2025, sambil mengamati Kondisi ekonomi membaik atau tidak. Ini kondisional sebenarnya," ujar Pras dalam diskusi 'PKB Insight Hub' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 Desember.

"Tapi kemarin karena kita sudah ngurusin macem-macem agak terlena, 2025 ternyata enggak lama sudah di depan mata, ternyata kita harus memutuskan dengan cepat," sambungnya.

Menurut Pras, disepakatinya kenaikan PPN lantaran pajak penghasilan tidak mengangkat penerimaan negara. Sehingga pemerintah perlu mencari cara lain untuk menambah pemasukan.

"Kenapa kok PPN? Kalau PPh tadi enggak profit perusahaan waktu COVID-19. PPN semua bayar, gotong royong PPN itu. Tapi kan regresif pak, yang kaya dan miskin kalau beli Indomie sama-sama bayar 10 persen. Oke, kalau begitu yang kebutuhan pokok kita nol-kan. Tetap dipertahankan, kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, transportasi tetap nol sampai sekarang, nggk bayar pajak. Sampai disitu kita bisa menerima, sampai akhirnya PPN 12 persen mau diterapkan. Sampai disini bagaimana?," katanya.

Pras meluruskan bahwa keinginan untuk menaikkan PPN bukan kemauan Sri Mulyani sendiri, melainkan kesepakatan bersama. "Saya mau klarifikasi ya, PPN 12 persen bukan maunya Bu Sri Mulyani, bukan maunya Kementerian Keuangan, bukan maunya Pak Jokowi, apalagi Pak Prabowo yang baru memerintah," tegas Pras.

"Ini keputusan politik bersama, karena undang-undang. Baik pada waktu dirumuskan dan saya yakin maksud tujuannya baik," pungkasnya.

Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku selektif hanya bagi barang mewah. Keputusan ini diambil setelah pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif PPN menuai kritik meluas dari masyarakat, pengusaha, dan para ekonom.

Sri Mulyani lantas memastikan tarif PPN 12 persen tak akan berlaku bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kejelasan lebih lanjut tentang PPN 12 persen akan diumumkan oleh pemerintah pada Senin, 16 Desember 2024.

Adapun dari sisi perbankan, kredit masih mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 10,92 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) per Oktober 2024. Dian mencatat bahwa ketika PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada 2022, kredit perbankan masih bisa tumbuh 10,38 persen yoy dengan NPL yang berada di level 2,19 persen.

JAKARTA - Eks Staf Kemenkeu, Yustinus Prastowo menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen bukan keinginan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Pras menyebut kenaikan PPN adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR RI.

"Lalu kenapa PPN? Inilah kontribusi DPR yang juga bagus. Kita menaikan berapa 15, 12, akhirnya sepakat 12 tapi dua tahap, 11 persen dulu di 2022, lalu menjadi 12 persen di 2025, sambil mengamati Kondisi ekonomi membaik atau tidak. Ini kondisional sebenarnya," ujar Pras dalam diskusi 'PKB Insight Hub' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 Desember.

"Tapi kemarin karena kita sudah ngurusin macem-macem agak terlena, 2025 ternyata enggak lama sudah di depan mata, ternyata kita harus memutuskan dengan cepat," sambungnya.

Menurut Pras, disepakatinya kenaikan PPN lantaran pajak penghasilan tidak mengangkat penerimaan negara. Sehingga pemerintah perlu mencari cara lain untuk menambah pemasukan.

"Kenapa kok PPN? Kalau PPh tadi enggak profit perusahaan waktu COVID-19. PPN semua bayar, gotong royong PPN itu. Tapi kan regresif pak, yang kaya dan miskin kalau beli Indomie sama-sama bayar 10 persen. Oke, kalau begitu yang kebutuhan pokok kita nol-kan. Tetap dipertahankan, kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, transportasi tetap nol sampai sekarang, nggk bayar pajak. Sampai disitu kita bisa menerima, sampai akhirnya PPN 12 persen mau diterapkan. Sampai disini bagaimana?," katanya.

Pras meluruskan bahwa keinginan untuk menaikkan PPN bukan kemauan Sri Mulyani sendiri, melainkan kesepakatan bersama. "Saya mau klarifikasi ya, PPN 12 persen bukan maunya Bu Sri Mulyani, bukan maunya Kementerian Keuangan, bukan maunya Pak Jokowi, apalagi Pak Prabowo yang baru memerintah," tegas Pras.

"Ini keputusan politik bersama, karena undang-undang. Baik pada waktu dirumuskan dan saya yakin maksud tujuannya baik," pungkasnya.

Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku selektif hanya bagi barang mewah. Keputusan ini diambil setelah pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif PPN menuai kritik meluas dari masyarakat, pengusaha, dan para ekonom.

Sri Mulyani lantas memastikan tarif PPN 12 persen tak akan berlaku bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kejelasan lebih lanjut tentang PPN 12 persen akan diumumkan oleh pemerintah pada Senin, 16 Desember 2024.

Adapun dari sisi perbankan, kredit masih mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 10,92 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) per Oktober 2024. Dian mencatat bahwa ketika PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada 2022, kredit perbankan masih bisa tumbuh 10,38 persen yoy dengan NPL yang berada di level 2,19 persen.

JAKARTA - Eks Staf Kemenkeu, Yustinus Prastowo menegaskan bahwa kenaikan PPN 12 persen bukan keinginan Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Pras menyebut kenaikan PPN adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR RI.

"Lalu kenapa PPN? Inilah kontribusi DPR yang juga bagus. Kita menaikan berapa 15, 12, akhirnya sepakat 12 tapi dua tahap, 11 persen dulu di 2022, lalu menjadi 12 persen di 2025, sambil mengamati Kondisi ekonomi membaik atau tidak. Ini kondisional sebenarnya," ujar Pras dalam diskusi 'PKB Insight Hub' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 Desember.

"Tapi kemarin karena kita sudah ngurusin macem-macem agak terlena, 2025 ternyata enggak lama sudah di depan mata, ternyata kita harus memutuskan dengan cepat," sambungnya.

Menurut Pras, disepakatinya kenaikan PPN lantaran pajak penghasilan tidak mengangkat penerimaan negara. Sehingga pemerintah perlu mencari cara lain untuk menambah pemasukan.

"Kenapa kok PPN? Kalau PPh tadi enggak profit perusahaan waktu COVID-19. PPN semua bayar, gotong royong PPN itu. Tapi kan regresif pak, yang kaya dan miskin kalau beli Indomie sama-sama bayar 10 persen. Oke, kalau begitu yang kebutuhan pokok kita nol-kan. Tetap dipertahankan, kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, transportasi tetap nol sampai sekarang, nggk bayar pajak. Sampai disitu kita bisa menerima, sampai akhirnya PPN 12 persen mau diterapkan. Sampai disini bagaimana?," katanya.

Pras meluruskan bahwa keinginan untuk menaikkan PPN bukan kemauan Sri Mulyani sendiri, melainkan kesepakatan bersama. "Saya mau klarifikasi ya, PPN 12 persen bukan maunya Bu Sri Mulyani, bukan maunya Kementerian Keuangan, bukan maunya Pak Jokowi, apalagi Pak Prabowo yang baru memerintah," tegas Pras.

"Ini keputusan politik bersama, karena undang-undang. Baik pada waktu dirumuskan dan saya yakin maksud tujuannya baik," pungkasnya.

Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku selektif hanya bagi barang mewah. Keputusan ini diambil setelah pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif PPN menuai kritik meluas dari masyarakat, pengusaha, dan para ekonom.

Sri Mulyani lantas memastikan tarif PPN 12 persen tak akan berlaku bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kejelasan lebih lanjut tentang PPN 12 persen akan diumumkan oleh pemerintah pada Senin, 16 Desember 2024.

Adapun dari sisi perbankan, kredit masih mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 10,92 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) per Oktober 2024. Dian mencatat bahwa ketika PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada 2022, kredit perbankan masih bisa tumbuh 10,38 persen yoy dengan NPL yang berada di level 2,19 persen.

JAKARTA - Former Ministry of Finance staff, Yustinus Prastowo emphasized that the increase in VAT of 12 percent was not the wish of the Minister of Finance, Sri Mulyani. Pras said that the increase in VAT was a mutual agreement between the government and the DPR RI.

"Then why VAT? This is the contribution of the DPR which is also good. We raised how many 15, 12, finally agreed on 12 but two stages, 11 percent first in 2022, then to 12 percent in 2025, while observing whether economic conditions improve or not. This is the actual condition," said Pras in the 'PKB Insight Hub' discussion at Cikini, Central Jakarta, Saturday, December 14.

"But yesterday because we were taking care of things a bit complacent, in 2025 it turned out that it wasn't long before, it turned out that we had to decide quickly," he continued.

According to Pras, it was agreed that the increase in VAT was because income taxes did not raise state revenues. So the government needs to find other ways to increase income.

Pras meluruskan bahwa keinginan untuk menaikkan PPN bukan kemauan Sri Mulyani sendiri, melainkan kesepakatan bersama. "Saya mau klarifikasi ya, PPN 12 persen bukan maunya Bu Sri Mulyani, bukan maunya Kementerian Keuangan, bukan maunya Pak Jokowi, apalagi Pak Prabowo yang baru memerintah," tegas Pras.

"Ini keputusan politik bersama, karena undang-undang. Baik pada waktu dirumuskan dan saya yakin maksud tujuannya baik," pungkasnya.

Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku selektif hanya bagi barang mewah. Keputusan ini diambil setelah pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif PPN menuai kritik meluas dari masyarakat, pengusaha, dan para ekonom.

Sri Mulyani lantas memastikan tarif PPN 12 persen tak akan berlaku bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kejelasan lebih lanjut tentang PPN 12 persen akan diumumkan oleh pemerintah pada Senin, 16 Desember 2024.

Adapun dari sisi perbankan, kredit masih mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 10,92 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) per Oktober 2024. Dian mencatat bahwa ketika PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada 2022, kredit perbankan masih bisa tumbuh 10,38 persen yoy dengan NPL yang berada di level 2,19 persen.

"This is a joint political decision, because of the law. Both at the time are formulated and I am sure the purpose is good," he concluded.

The increase in VAT rates by 12 percent will take effect no later than January 1, 2025, as regulated in Article 7 Paragraph (1) of Law Number 7 of 2021 concerning Harmonization of Tax Regulations (UU HPP). Meanwhile, tariffs of 11 percent have been in effect since April 1, 2022.

President Prabowo Subianto has announced that the 12 percent VAT rate will be selective only for luxury goods. This decision was taken after the announcement of Finance Minister Sri Mulyani to increase VAT rates drew widespread criticism from the public, businessmen, and economists.

Sri Mulyani then ensured that the 12 percent VAT rate would not apply to goods that became the basic needs of the community. Further clarity on VAT 12 percent will be announced by the government on Monday, December 16, 2024.

As for the banking side, credit still experienced double-digit growth of 10.92 percent on an annual basis or year-on-year (yoy) as of October 2024. Dian noted that when VAT rose from 10 percent to 11 percent in 2022, bank credit could still grow 10.38 percent yoy with NPL at the level of 2.19 percent.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)