Partager:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan validitas penyampaian laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) terus dikejar. Pejabat diminta tak sembarangan mencantumkan hartanya hanya untuk menggugurkan kewajiban.

"Jadi LHKPN itu yang sebelumnya, selama ini kami mengukur tingkat prestasi LHKPN itu pada persentase kepatuhan. Saat ini, kami meningkatkan bukan hanya pemenuhan tapi sejauh mana validitasnya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan yang dikutip pada Rabu, 11 Desember.

"Jadi kalau dulu misalnya pejabatnya 390.000 orang yang diukur seberapa persen yang melapor. Setelah ini, artinya dari 2022 sampai 2024, kami sudah meningkatkan setelah kepatuhan kemudian tingkat validitasnya yang dilaporkan seberapa," sambungnya.

Meski begitu, Ghufron belum bisa memerinci berapa banyak pejabat yang mendaftarkan hartanya secara valid. Semua akan disampaikan dalam laporan akhir tahun.

"Sebelum kami beralih kepemimpinan, nanti akan kami sampaikan. Kalau ditanya sekarang, kami sedang menginput datanya dari teman-teman LHKPN," tegas Ghufron.

Diberitakan sebelumnya,Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menyinggung penyampaian laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) saat membuka rangkaian acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) pada Senin, 9 Desember. Banyak penyampaian sekadar untuk menggugurkan kewajiban.

Adapun sejumlah menteri dan kepala lembaga setingkat menteri hadir dalam acara pembukaan Hakordia di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Mereka di antaranya Menko Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sementara Presiden Prabowo Subianto tidak hadir. Padahal, sejumlah persiapan sudah dilakukan KPK.

“Kebenaran isi laporan masih memprihatinkan,” kata Nawawi dalam sambutannya.

Nawawi menyebut KPK memang berhak mengecek kekayaan penyelenggara negara sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Tapi, seiring prosesnya ternyata banyak penyelenggara negara yang ketahuan menerima suap maupun gratifikasi dari proses yang berjalan.

“Pemeriksaan LHKPN masih menemukan indikasi penerimaan suap dan gratifikasi yang kemudian ditindaklanjuti oleh kedeputian penindakan,” tegasnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)