Hasto Kristiyanto Jadi Tersangka, PDIP: Politisasi Hukum dan Pemidanaan yang Dipaksakan
JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyatakan penetapan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan politisasi hukum dan pemidanaan yang dipaksakan.
Pernyataan tersebut merupakan sikap resmi PDIP menanggapi kasus hukum yang menjerat Hasto terkait kasus suap Harun Masiku.
Sikap resmi itu disampaikan Ketua DPP PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, Ronny Talapessy bersama Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan, Komarudin Watubun didampingi jajaran pengurus DPP PDIP.
Ada 9 poin yang menjadi concern PDIP menyikapi penetapan tersangka Hasto. Pertama, status tersangka ini hanya membuktikan informasi yang beredar lama bahwa Sekjen DPP PDI Perjuangan akan segera dijadikan tersangka. Hal ini juga sudah pernah disampaikan Sekjen DPP PDI Perjuangan dalam podcast Akbar Faisal beberapa waktu lalu.
"Kedua, kalau kita cermati lagi, pemanggilan Sekjen DPP PDI Perjuangan ini dimulai ketika beliau bersuara kritis terkait kontroversi di Mahkamah Konstitusi tahun 2023 akhir, kemudian sempat terhenti, lalu muncul lagi saat selesai Pemilu, hilang lagi. Kami menduga memang kasus ini lebih terlihat seperti teror terhadap Sekjen DPP PDI Perjuangan. Dan keseluruhan proses ini sangat kental aroma politisasi hukum dan kriminalisasi," ujar Ronny Talapessy dalam konferensi pers di kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa, 24 Desember, malam.
Menurut Ronny, ada beberapa indikasi yang dapat dilihat sebagai politisasi hukum dan pemidanaan yang dipaksakan. Antara lain, adanya upaya pembentukan opini publik yang terus menerus mengangkat isu Harun Masiku, baik melalui aksi-aksi demo di KPK maupun narasi sistematis di media sosial yang patut dicurigai dimobilisasi oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.
"Adanya upaya pembunuhan karakter terhadap Sekjen DPP PDI Perjuangan melalui framing dan narasi yang menyerang pribadi. Pembocoran Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP) yang bersifat rahasia kepada media massa/publik sebelum surat tersebut diterima yang bersangkutan," ungkap Ronny.
"Ini adalah upaya cipta kondisi untuk mendapatkan simpati publik. Semua dapat dilihat dan dinilai oleh publik," sambungnya.
Ketiga, kasus suap Harun Masiku telah bersifat inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan para terdakwa bahkan sudah menyelesaikan masa hukuman. Seluruh proses persidangan mulai dari Pengadilan Tipikor hingga Kasasi tidak satu pun bukti yang mengaitkan Sekjen DPP PDI Perjuangan dengan kasus suap Wahyu Setiawan.
"Empat, kami menduga ada upaya pemidanaan yang dipaksakan/ kriminalisasi mengingat KPK tidak menyebutkan adanya bukti-bukti baru dari pemeriksaan lanjutan yang dilakukan sepanjang tahun 2024," jelas Ronny.
VOIR éGALEMENT:
Kelima, PDIP menduga pengenaan pasal Obstruction of Justice hanyalah formalitas teknis hukum saja. Alasan sesungguhnya dari menjadikan Sekjen DPP PDI Perjuangan sebagai tersangka adalah motif politik.
"Terutama karena Sekjen DPP PDI Perjuangan tegas menyatakan sikap-sikap politik partai menentang upaya-upaya yang merusak demokrasi, konstitusi, juga terhadap cawe-cawe, penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power di penghujung kekuasaan mantan Presiden Joko Widodo," kata Ronny.
"Bahkan, sikap tegas ini baru terjadi minggu lalu ketika partai mengambil sikap yang tegas dengan memecat antara lain tiga kader yang dinilai telah merusak demokrasi dan konstitusi," imbuhnya.
Keenam, politisasi hukum terhadap Sekjen DPP PDIP ini juga diperparah dengan bocornya SPDP kepada media massa yang seharusnya bersifat rahasia dan hanya diberikan kepada pihak yang terkait. Ketujuh, PDIP dan Sekjen DPP PDIP telah dan akan selalu mentaati proses hukum dan bersifat kooperatif.
"Delapan, PDI Perjuangan lahir dari cita-cita besar untuk membawa Republik ini berjalan di atas rel demokrasi dengan prinsip negara hukum yang adil dan transparan. Yang terjadi saat ini adalah politisasi hukum," kata Ronny.
"Sembilan, penetapan Sekjen DPP PDI Perjuangan ini mengkonfirmasi keterangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada tanggal 12 Desember 2024 bahwa PDI Perjuangan akan diawut-awut atau diacak-acak terkait Kongres VI PDI Perjuangan," sambungnya.