Penyalahgunaan Intelijen dan Ancaman Nepokrasi

JAKARTA – Masih ingat saat Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi) mengejutkan publik terkait pernyataannya soal data intelijen? Pernyataan mengagetkan Jokowi itu terlontar saat membuka rapat kerja nasional relawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Bogor, Sabtu 16 September 2023 silam.

Saat itu, Jokowi mengatakan mengetahui dinamika internal parpol menjelang pemilu 2024. “Partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju kemana, saya juga mengerti. Informasi yang saya terima komplet dari intelijen saya ada BIN, dari intelijen di Polri ada, dari intelijen TNI saya punya BAIS dan informasi-informasi di luar itu, angka data, survei semuanya ada. Saya pegang semua dan itu hanya miliknya presiden karena langsung, langsung ke saya,” ujarnya.

Menurut pengamat politik UI, Cecep Hidayat, sebagai kepala negara Jokowi berhak untuk mendapatkan data intelijen terkait isu keamanan, pertahanan, dan lainnya, yang dikumpulkan oleh lembaga negara, seperti BIN, kepolisian, kejaksaan hingga TNI. Persoalannya adalah cara Jokowi yang menyampaikan hal itu secara terbuka ke publik, apalagi di acara relawan Seknas Jokowi yang tidak ada kaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai presiden.

Dia menilai, ada dua makna di balik pernyataan Jokowi tersebut. Pertama, adanya pesan politik atau peringatan yang ingin disampaikan kepada sasaran yang hendak dituju bahwa Jokowi mengetahui pergerakan mereka.

Makna kedua, pernyataan Jokowi itu mengungkapkan adanya potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan atas data-data intelijen untuk kepentingan politik. “Tantangannya jangan sampai ada abuse of power, menggunakan kewenanganya dalam koridor intelijen untuk mendukung Jokowi. Baik itu mengontrol sembilan partai parlemen, ataupun mendukung kelompoknya, entah itu Ganjar ataupun Prabowo,” kata Cecep.

Pimpinan DPR bersama calon Kepala BIN M. Herindra. (dok DPR)

Pengamat intelijen dari Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Ngasiman Djoyonegoro menjelaskan, tugas aparat Intelijen adalah sebagai mata dan telinga negara. Hal ini berarti sebagai mata untuk menjalankan fungsi melihat dan merekam apa yang dilihat di wilayah tugasnya sedangkan telinga berfungsi untuk mendengar informasi yang berkembang di wilayah tugasnya guna menjaga keamanan dan keutuhan negara. Kerahasiaan sebagai kebutuhan dasar bagi intelijen mencakup fungsi-fungsi penyelidikan (collecting and analysis), fungsi pengamanan (contraintelligence), dan fungsi penggalangan (covert operation).

Intelijen berperan memberi peringatan dini bagi para pengambil kebijakan sehingga para pengambil kebijakan memiliki cukup informasi untuk membuat keputusan atau langkah yang tepat dalam menghadapi suatu ancaman atau bahaya. Dengan demikian Intelijen itu pada dasarnya merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden sebagai penguasa.

Adapun data dan informasi intelijen yang diberikan kepada presiden itu berkaitan dengan musuh negara atau masalah keamanan negara bukan yang lainnya sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Sayangnya, penguasa terkadang tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Termasuk menyalahgunakan data dan informasi yang dihasilkan intelijen negara untuk kepentingan politiknya.

Dari data yang dihimpun tim VOI Insight, fenomena ini sebenarnya sudah berlangsung lama, terjadi baik di dalam maupun luar negeri. Dari luar negeri, penyalahgunaan intelijen pernah terjadi di Korea Selatan dan Amerika Serikat. Penggunaan intel negara untuk kepentingan politik penguasa terjadi di Pemilu Korea Selatan pada tahun 2012 yang lalu dimana Badan intelijen di negara itu telah mengaku membantu Partai Konservatif memenangi pemilihan presiden yang diusung oleh partainya.

Penyelidik dari National Intelligence Service (NIS) mengonfirmasi bahwa unit siber badan intelijen negara itu telah mengorganisasi dan mengoperasikan 30 tim selama lebih dari dua tahun jelang pemilihan umum 2012. Mereka membayar warga sipil yang jago internet dan berusaha memengaruhi pendapat publik melalui berbagai unggahan di sosial media.

Penyelidikan internal telah menemukan fakta bahwa pimpinan intelijen negara itu telah memerintahkan badan intelijen yang dipimpinnya untuk memberangus pers, memberikan dukungan kepada kubu konservatif pro-pemerintah, dan mengawasi sejumlah tokoh oposisi yang berseberangan dengan pemerintah yang sedang berkuasa.

Skandal keterlibatan lembaga spionase negara itu akhirnya berbuntut panjang. Karena keterlibatannya dalam menyalahgunakan fungsi badan intelijen negara, presiden yang berasal dari Partai Konservatif terpilih akhirnya masuk penjara karena korupsi yang dilakukannya.

Sementara itu penyalahgunaan data dan informasi intelijen oleh penguasa juga pernah terjadi di Amerika Serikat yaitu pada masa Presiden Richard Nixon dari Partai Republik berkuasa. Richard Nixon melalui kaki tangannya telah mencoba untuk memata-matai Partai Demokrat yang menjadi rivalnya menjelang Pemilu 1972. Investigasi yang dilakukan Washington Post berhasil mengungkap skandal Water Gate yang menghebohkan dunia karena berujung pada nasib Richard Nixon yang kemudian kehilangan kekuasaannya. Nixon tersungkur karena kesalahannya menggunakan intel negara untuk memata matai lawan politiknya.

Dari dalam negeri, contoh paling nyata adalah saat masa Orde Baru. Saat itu, dunia spionase yang dibangun oleh Soeharto adalah intelijen yang sangat kental aroma politiknya. Dunia intelijen yang seharusnya bertindak sebagai instrumen keamanan negara yang bertanggung jawab kepada rezim pemerintahan demokratis yang sah, sudah terpolitisasi untuk melayani kepentingan rezim yang berkuasa. Dalam konteks ini, obyek utama yang berusaha dilindungi adalah kepentingan rezim itu sendiri, bukan keamanan negara.

Ketua Umum YLBHI, Muhamad Isnur, yang merupakan anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan penyalahgunaan instrumen intelijen oleh penguasa merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia. Sebab, Intelijen pada dasarnya merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada presiden sebagai kepala negara khususnya terkait dengan musuh negara (masalah keamanan nasional) dan bukan yang lainnya seperti tercantum dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara

Karena itu, dia menegaskan bahwa pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik untuk kepentingan politik pribadinya. “Penyalahguanaan intelijen sebagai alat kepentingan politik penguasa merupakan bukti kemunduran demokrasi Indonesia,” imbuhnya.

Peneliti senior Centra Initiative, Al Araf mencontohkan, langkah Presiden Prabowo Subianto yang turun mengampanyekan pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maemoen di Pilgub Jawa Tengah bisa menimbulkan dugaan penyalahgunaan intelijen. Pasalnya, terdapat kemungkinan apa yang dikampanyekan Prabowo sebagai Presiden, juga bisa ditafsirkan oleh para pembantunya di bawah, utamanya para aparat penegak hukum.

“Seorang presiden kan membawahi Jaksa Agung, membawahi Kapolri, membawahi Kepala Badan Intelijen. Kalau dari atas presiden udah bersikap memenangkan salah satu kandidat di pilkada, pasti struktur bawahnya ikut dong untuk bagaimana mempertarungkan itu, untuk memenangkan itu, sehingga pemilu sulit untuk mencapai netralitas,” jelasnya.

Photo by Chris Yang on Unsplash

Guru Besar Hukum Tata Negara UMJ, Ibnu Sina Chandranegara berpendapat, penyalahgunaan intelijen di era demokrasi khususnya di Indonesia berpotensi mengembalikan kondisi kenegaraan ke dalam feodalisme maupun nepotisme yang berbasis pada dinasti atau kroni politik. Sebab, beragam bentuk konflik kepentingan bisa bersembunyi di balik instrumen dan prosedur-prosedur yang didengungkan atas nama demokrasi itu sendiri.

Terlebih, di Indonesia demokrasi masih lazim dimaknai sempit sebagai kontestasi elektoral semata. Hal ini yang membuat rezim penguasa berupaya menempatkan keluarga atau kroni mereka di posisi-posisi strategis, termasuk dengan memaksa atau mendorong birokrasi untuk berpihak. “Situasi ini mengubah demokrasi menjadi nepokrasi. Kesadaran rakyat dimanipulasi oleh pemahaman bahwa semuanya merupakan proses yang demokratis,” tuturnya.