JAKARTA – Guru besar Fakultas Hukum UNS Surakarta Agus Riewanto menyebut banyaknya permohonan uji materi atau judicial review yang diajukan masyarakat sipil di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi bukti telah terjadi yuristokrasi positif di Indonesia.
Dia menjelaskan, yuristokrasi adalah kondisi pemerintahan yang menekankan peran dominan ahli hukum dalam pembuatan keputusan dan norma. Upaya ini sebagai jalan legal untuk mengimbangi perilaku pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, yang terkesan mengabaikan partispasi publik dalam merancang legislasi.
“Proses legislasi peraturan perundang-undangan yang diinisiasi pemerintah dan DPR dalam bentuk RUU dan disahkan menjadi UU itu banyak aspek yang dianggap tidak mencerminkan ketidakadilan dan juga tidak mampu mewujudkan cita-cita keadilan bagi masyarakat,” ujar Agus, Minggu 13 April 2025.
Seperti diketahui, hingga bulan keempat tahun 2025, setidaknya sudah ada 40 perkara yang diregistrasi dan 14 permohonan yang belum diregistrasi ke dalam buku perkara registrasi perkara konstitusi elektronik (e-BRPK) di MK. Aturan perundang-undangan yang digugat mulai dari persoalan kenaikan PPN sebesar 12 persen, revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hingga regulasi terkait gas LPG.
Menurut Agus, dalam pembuatan sejumlah UU DPR dan pemerintah kerap mengabaikan aspirasi publik. Karena itu, Gedung MK kini seolah dijadikan sebagai lembaga “keranjang sampah” untuk menangani aturan yang dianggap cacat formil atau cacat materil.
SEE ALSO:
“Padahal secara teoritis, masalah perundang-undangan harus selesai di level pembuatnya. Jadi, semestinya tidak dilempar ke lembaga-lembaga lain. Yuristokrasi itu sebenarnya sudah mulai tampak di era pemerintahan Jokowi,” ungkapnya.
Di sisi lain, menumpuknya uji materi di MK, mengindikasikan publik semakin kritis merespons regulasi-regulasi yang potensial merugikan mereka di masa depan. Terlebih, DPR dan pemerintah bisa saja membuat aturan bermasalah meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang mengatur tahapan pembuatan UU secara rinci.
“Ini semacam sindrom baru dalam demokrasi kita. Jadi, menempatkan lembaga lain sebagai penolong. Jadi, semua problem undang-undang justru sampahnya dibuang ke MK. Ini cara check and balance yang baik. Bisa menjadi kontrol elite yang sembarangan dan MK sebagai tempat perjuangan,” tutup Agus.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)