Pertemuan Megawati Soekarnoputri dan George Walker Bush di Amerika Serikat, 19 September 2001: Membahas Soal Perang Lawan Terorisme
Megawati Soekarnoputri bertemu George Walker Bush di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat pada 19 September 2001. (Wikimedia Commons)

JAKARTA – Sejarah hari ini, 21 tahun yang lalu, 19 September 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri berjumpa orang nomor satu Negeri Paman Sam, George Walker Bush di White House, Washington DC, Amerika Serikat (AS). Pertemuan itu berlangsung karena Presiden Amerika itu mengundang Megawati secara langsung.

Megawati tak menyia-nyiakan kesempatan ke Amerika. Ia menyampaikan kedukaan yang mendalam dari rakyat Indonesia atas peristiwa nahas yang menimpa AS: Serangan 11 September (Serangan 911). Keduanya pun sepakat berkerja sama memberantas terorisme.

Peristiawa 11 September 2001 membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap rakyat AS. Dua pesawat yang dibajak, ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center di New York. Pembajak sengaja melakukan hal itu. Mereka paham jika dua bangunan itu melambangkan kekuatan ekonomi, politik, dan militer.

Kala itu kota New York berubah mencekam. Orang-orang di dalam dan di luar gedung menjadi korban. Mereka yang jauh dari lokasi merasakan getarannya. Kemudian, kurang dari dua jam kedua bangunan itu runtuh seketika.

Korban meninggal dunia tak sedikit. Tercatat sekitar 2.977 orang meninggal dunia dan 19 di antaranya adalah pembajak. Peristiwa itu kemudian digembar-gembor sebagai serangan teroris terbesar yang terjadi AS.

Megawati Soekarnoputri dan George Walker Bush di Gedung Putih, 19 September 2001. (BBC)

Seluruh mata dunia mengarah ke AS. Banyak pula yang mengutuk serangan itu. Kebencian terhadap akan terorisme menjadi-jadi. Apalagi Osama Bin Laden dan jaringan terorisnya Al-Qaeda mengklaim ada di balik serangan tersebut.

“Serangan bom terhadap World Trade Centre (WTC) di New York dan Pentagon di Washington D.C, telah dikalkulasi dan dirancang secara matang untuk menarik perhatian miliaran orang di seluruh dunia. Tragedi tersebut telah berhasil meruntuhkan anggapan bahwa teroris tidak mungkin dapat menembus sistem pertahanan dalam negeri AS.”

“Selain itu, peraturan keimigrasian AS yang bebas sebelum tragedi WTC justru menjatuhkan citra pemerintah AS dalam memberikan rasa aman yang dibutuhkan warga negaranya. Padahal sebelum terjadinya tragedi, para ahli teroris dan pengamat intelijen telah lama memberi peringatan akan adanya serangan teroris yang dahsyat di dalam negeri AS, tetapi peringatan tersebut tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah,” ungkap Sukawarsini Djelantik dalam buku Terorisme (2008).

Presiden George Walker Bush berang bukan main. Ia ingin segera menumpas terorisme. Narasi perang terhadap terorisme bergaung di seantero AS. Namun, langkahnya justru dianggap memusuhi kaum Muslim dunia. Sebab, sering kali AS mengaitkan terorisme dengan dunia Islam.

Bush pun bersiasat. Ia tak ingin perlawanan terhadap terorisme adalah perlawanan terhadap dunia Islam. Maka dari itu, ia mengundang Presiden Indonesia Megawati ke White House pada 19 September 2001. Keduanya membicarakan banyak hal, termasuk kerja sama melawan terorisme.

Pun Megawati Soekarnoputri mengungkap bahwa segenap rakyat Indonesia menyampaikan kedukaan mendalam atas peristiwa nahas yang menimpa AS. Megawati juga memiliki misi yang sama dengan AS, yakni memerangi terorisme.

“Megawati adalah presiden dari negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Karena itu, bagi George W. Bush, penerimaan Megawati di Gedung Putih nanti pasti sangat berguna untuk meyakinkan dunia bahwa, dengan memproklamasikan perang terhadap terorisme dalam segala bentuknya, Amerika tidak memusuhi negeri-negeri Islam.”

“George W. Bush dapat menggunakan pertemuannya dengan Megawati untuk berseru bahwa masyarakat Islam, baik yang berada di Timur Tengah, Asia, maupun di Amerika sendiri, tidak perlu khawatir dengan tekad negeri adidaya yang dipimpinnya untuk mengejar serta menghancurkan kaum teroris hingga ke pelosok dunia mana pun,” ungkap Rizal Mallarangeng dalam buku Dari Langit (2008).


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)