JAKARTA – Rencana pemerintah menyelenggarakan Sekolah Rakyat dianggap membawa Indonesia mundur kembali ke era kolonial.

Pemerintah tengah mematangkan rencana penyelenggaraan Sekolah Rakyat, yang akan berada di bawah Kementerian Sosial (Kemensos). Sekolah Rakyat adalah sebuah program pendidikan gratis yang dirancang untuk memberikan akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat kurang mampu.

Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf mengatakan, Sekolah Rakyat ini bisa berjalan pada tahun ajaran baru 2025/2026 di semua daerah yang menjadi pilot project, salah satunya Solo.

"Insha Allah tahun ini dimulai. Di Kota Solo sudah ada usulan tempat. Insha Allah di Solo bisa berjalan pada tahun ini, belum semua Indonesia bisa. Kira-kira yang sudah siap ada 53-60. Di Jawa hampir semua, sebagian ada di Aceh, Lampung, Papua, Kalimantan, merata. Dananya APBN. Tapi pembangunannya, Presiden membuka kesempatan swasta berpartisipasi," kata Saifullah Yusuf.

Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf melakukan tanya jawab dengan media di Kantor Kementerian Sosial Salemba, Jakarta pada Selasa (25/3/2025). (ANTARA/HO-Biro Humas Kemensos)

Namun rencana ini mendapat pertanyaan banyak pihak. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menilai Indonesia seperti kembali ke masa kolonial dengan penyelenggaraan Sekolah Rakyat. Sementara Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menegaskan sekolah seharusnya inklusif untuk semua kalangan, tidak berdasarkan status sosial ekonomi. 

Sekolah Jadi Institusi Eksklusif 

Presiden Prabowo Subianto rencananya akan membangun 200 Sekolah Rakyat yang tersebar di berbagai daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Papua. Namun, Mensos Saifullah Yusuf mengatakan baru ada 53 Sekolah Rakyat yang siap beroperasi pada tahun ajaran 2025/2026.

Sekolah Rakyat akan dibuka untuk jenjang SD, SMP, dan SMA dengan konsep boarding school atau sekolah berasrama. Kurikulumnya mengacu pada standar pendidikan nasional, namun dengan tambahan pelajaran khusus yang menitikberatkan pada penguatan karakter, kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan.

"Tujuan utama sekolah rakyat untuk memutus mata rantai kemiskinan. Jika orang tuanya miskin jangan sampai anaknya jadi miskin. Ini harus diputus dengan menyekolahkan mereka,” kata Gus Ipul, sapaan karib Mensos.

Sementara itu, anak yang boleh mendaftar adalah mereka yang berada dalam kategori desil 1 atau miskin ekstrem dan desil 2 yang tinggal di sekitar Sekolah Rakyat berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

Rencana pemerintah membangun Sekolah Rakyat di bawah naungan Kemensos mendapat sorotan dari Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menuturkan program ini justru hanya akan menjadikan sekolah sebagai institusi yang eksklusif dan dihuni oleh anak-anak berdasarkan kasta atau kelas sosial-ekonomi tertentu.

Guru memberi materi pelajaran kepada siswa kelas IV di ruang perpusatakaan yang dijadikan kelas di SDN 109 Desa Ladang Panjang, Muaro Jambi, Jumat (17/1/2025). (ANTARA/Wahdi Septiawan/YU)

Ubaid juga mengatakan, proyek Sekolah Rakyat justru mengingatkannya pada kebijakan pendidikan di era kolonial, yang mana saat itu ada sekolah khusus anak keturunan penjajah, sekolah khusus pribumi, sekolah untuk para ningrat, dan sekolah untuk rakyat.

Dengan begitu, Sekolah Rakyat justru akan memperkuat masalah ketimpangan kelas dan memperburuk akses pendidikan yang berkeadilan bagi seluruh anak Indonesia.

“Kita ini sudah merdeka, mengapa sistem kasta dan segragasi era kolonial, kita praktikkan dan tanamkan kembali di sekolah-sekolah, enggak bahaya ta?” kata Ubaid dalam keterangan yang diterima VOI.

“Kita sudah punya pasal 31 UUD 1945 yang menyetarakan hak semua anak Indonesia, tapi mengapa perintah punya ide untuk memberikan layanan yang diskriminatif berdasarkan kasta dan prestasi?” kata dia mengimbuhkan.

Tak Menjawab Persoalan Pendidikan

Sestem sekolah yang memisahkan anak-anak berdasarkan status sosial, seperti halnya Sekolah Rakyat, menurut Ubaid dapat melanggengkan ketimpangan kelas atau kasta.

Dengan sistem ini, anak-anak dari keluarga miskin akan terus terperangkap dalam siklus ketidaksetaraan, sementara anak-anak dari keluarga lebih mampu mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sekolah unggulan.

“Layanan pendidikan itu ya harusnya bersifat inklusif, jangan malah diskriminatif. Dengan memisahkan siswa berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi, diskriminasi dalam layanan pendidikan dapat terjadi,” ucapnya.

Lebih lanjut, Ubaid menuturkan program Sekolah Rakyat lebih kentara unsur pencitraan dari pemerintah, dan malah tidak menjawab masalah akses pendidikan di Indonesia yang belum berkeadilan.

Siswa mengikuti kegiatan belajar di SD Negeri Inpres Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (22/1/2025). (ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas/agr)

Saat ini, anak-anak Indonesia yang tidak sekolah, jumlahnya diperkirakan mencapai jutaan orang dan menyebar pada seluruh daerah. Ia tak yakin Sekolah Rakyat bisa menjawab tantangan persoalan ini.

Daripada menyelenggarakan kebijakan instan, pemerintah seharusnya membuat kebijakan strategis dan terstuktur dengan baik karena rakyat menginginkan semua sekolah kualitasnya unggulan alias terjamin mutunya dengan baik. Jadi sekolah di mana saja adalah sekolah terbaik.

“Paling nanti ada sekolah rakyat, dielu-elukan pemerintah sudah pro-rakyat kecil. Padahal, yang mampu ditampung di sekolah itu hanya ratusan atau ribuan, padahal anak yang tidak bisa sekolah itu jumlahnya jutaan,” ucap Ubaid.

Semua Anak Punya Hak yang Sama

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mempertanyakan urgensi pemerintah mendirikan sekolah khusus anak-anak keluarga miskin.

Sekolah Rakyat, dijelaskan Iman, berdiri di zaman kolonial karena saat itu memang tidak ada sekolah untuk masyarakat. Begitu juga di era Orde Baru, ketika pemerintah mendirikan SD Inpres di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Menurutnya, alih-alih membangun Sekolah Rakyat, pemerintah lebih baik membantu intervensi kebutuhan sekolah yang sudah ada. Terutama, sekolah alternatif yang sudah dibangun swasta untuk menyediakan akses pendidikan inklusif bagi masyarakat.

Iman juga menilai tak perlu mendirikan sekolah yang dikhususkan bagi anak-anak keluarga miskin. Ia mendorong pemerintah melihat historis Sekolah Rakyat di zaman penjajahan.

Kala itu, Sekolah Rakyat muncul karena masyarakat pribumi yang ingin menyekolahkan anaknya tidak terakomodasi oleh sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial.

“Tidak ada istilah sekolah khusus anak-anak tidak mampu. Karena sekolah negeri itu difungsikan untuk semua anak di Indonesia dan memiliki hak serta kesempatan yang sama,” ujar Iman menandaskan.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)