Adu Cerdik Raja dan Ratu, Siapa King Maker Sesungguhnya?
JAKARTA – Memasuki tahun 2023 atau sering disebut tahun politik, suhu perpolitikan di tanah air semakin menghangat, bahkan bisa dikatakan “memanas”. Kehadiran poros atau koalisi di antara partai-partai politik, yang dibarengi dengan deklarasi bakal calon presiden 2024 makin mewarnai ingar bingar dunia politik menjelang pemilihan presiden (pilpres). Adu cerdik untuk gelar king maker sesungguhnya.
Berbicara soal pemilihan presiden di Indonesia, pembicaraan publik tak lepas dari sosok king maker. Figur yang disebut sebagai penentu dalam setiap perhelatan pilpres di tanah air kerap dikaitkan dengan sosok elite-elite parpol.
Sebut saja nama Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, dan sekarang nama Presiden Joko Widodo pun sudah dikategorikan sebagai king maker. Bahkan, ajang pilpres di Indonesia bukan sekadar persaingan antarcapres, juga di antara king maker.
“Pilpres 2024 bakal menjadi arena kompetisi menarik. Sebab, yang bertarung tidak hanya capres, tapi juga pertarungan antar king maker," ungkap Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.
SEE ALSO:
Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari juga menyatakan, Presiden Joko Widodo bisa menjadi king maker, bukan hanya bagi terbentuknya poros koalisi, juga preferensi masyarakat terhadap para kandidat di pilpres.
“Jadi kalau koalisi itu kan pengaruh Jokowi kepada para ketua umum, tetapi pada tataran pemilih masyarakat itu pengaruh Jokowi kepada masyarakat dan itu kaitannya dengan tingkat kepuasan,” ujarnya.
Menurut Qodari, untuk menjadi king maker di 2024, Jokowi harus mempertahankan tingkat kepuasannya minimal diangka 70 persen. Sebab, makin tinggi tingkat kepuasan, maka bertambah kuat peran sebagai king maker.
Dia membandingkan tingkat kepuasan menjelang akhir kepemimpinan antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jokowi. Saat memasuki akhir masa jabatannya, SBY sulit menjadi king maker karena tingkat kepuasannya rendah.
“Peran sebagai king maker ini kan sulit dilakukan oleh SBY pada 2013. Pertama karena dia sibuk dengan masalah partai politiknya, waktu itu banyak kasus. Kedua, setahun sebelum pencoblosan tingkat kepuasan SBY di surveinya Indo Barometer cuma 37 persen. Kalau ada presiden petahana tingkat kepuasannya 30 persen itu malah bahaya bagi calon yang didukungnya karena justru akan kalah. Masyarakat tidak mau memilih calon yang di-endorse oleh presiden yang tingkat kepuasannya rendah,” terang Qodari.
Masuknya nama Jokowi sebagai salah satu king maker di 2024, memunculkan dugaan adanya “persaingan” antara mantan Gubernur DKI Jakarta itu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Sebab, dalam berbagai kesempatan, Megawati sering menyebut Jokowi sebagai petugas partai, yang dalam pemahaman masyarakat adalah posisi Jokowi sebagai “bawahan” Megawati.
Jika menengok ke belakang, “persaingan” Jokowi dan Megawati sebenarnya bukan hal baru. Publik tentu masih ingat saat Jokowi diajukan sebagai capres PDI Perjuangan oleh Megawati. Hingga akhir tahun 2013, Megawati seakan belum tergerak untuk merestui Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi capres.
Desakan demi desakan baik dari berbagai elemen relawan termasuk mayoritas DPD PDI Perjuangan yang mengajukan Jokowi dalam Rakernas medio September 2013 pun belum menggoyahkan Megawati. Hingga akhirnya pada Maret 2014, Jokowi mengungkapkan sudah mendapatkan restu dari Megawati dan siap diusung menjadi capres.
Bisa dikatakan Jokowi melalui kepopuleran baik di mata masyarakat dan berbagai hasil survei mampu menaklukkan Megawati. “Kenapa saya memilih Jokowi untuk diberikan mandat sebagai calon presiden? Karena Jokowi tidak hanya populer, tapi dia bekerja, tulus, memiliki komitmen, dan kepribadiannya sederhana,” tutur Megawati, Maret 2014 silam.
Tapi, kontroversi pencalonan Jokowi belum berhenti, setelah Megawati menyebut jika Jokowi adalah petugas partai. Sebutan yang tentu dianggap merendahkan posisi Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebab, ada istilah standar dalam penyebutan petugas partai, yakni kader yang sudah lazim digunakan dalam kancah politik.
Sosok Jokowi selama ini dikenal sederhana, tenang, dan tidak pernah mempersoalkan sebutan petugas partai. Benarkah seperti itu? Ketidaknyamanan Jokowi dengan “label” yang disematkan Megawati dinilai semakin telihat menjelang kontestasi pilpres 2024.
Jokowi dalam beberapa kesempatan seolah-olah menunjukkan jika dia juga memiliki kekuatan sebagai presiden yang setara dengan ketua-ketua umum parpol, termasuk Megawati. Terlebih, hubungan Jokowi dan Megawati dianggap retak usai Piala Dunia U-20 batal digelar di Indonesia.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai bahwa Jokowi merasa tersinggung dengan PDI Perjuangan karena mereka punya andil besar dalam pembatalan ajang internasional tersebut. Penolakan Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah dan Bali menjadi tuan rumah merupakan alasan kuat FIFA membatalkan Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Dia mengatakan, kejadian tersebut pasti memengaruhi hubungan Jokowi dengan PDI Perjuangan. Bahkan, Arifki menyebut Jokowi tidak akan menggunakan PDI Perjuangan untuk mengusung capres pilihannya di 2024.
“Jokowi kemungkinan tak lagi ngotot mengusung Ganjar Pranowo untuk 2024. Jokowi akan mencari sosok lain yang tidak melawan kehendaknya. Mungkin mengarah ke Gerindra dan Prabowo. Karena Jokowi orang yang susah menerima pihak yang beda haluan dengan beliau,” ujarnya.
Analisis Arifki Chaniago bisa jadi benar. Sebab, setelah pendeklarasian Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDI Perjuangan, Jokowi justru lebih terlihat mesra dengan Prabowo Subianto. Bahkan, dalam Musyawarah Rakyat Relawan Pro Jokowi yang dipimpin Budi Arie Setiadi, Jokowi tidak menyebut nama Ganjar Pranowo sebagai capres pilihannya.
“Jokowi tidak menjawab teka-teki siapa capres yang akan dipilih. Padahal saat deklarasi pencapresan Ganjar oleh PDI Perjuangan beliau hadir. Namun kehadiran itu bukan serta merta menjadi pilihan, itu artinya presiden punya strategi yang sulit dipahami oleh banyak orang, termasuk para relawan dan elite politik. Ada satu pesan yang boleh kita petik, pilihlah pemimpin yang Pro Rakyat, yang mengayomi segaris dengan sang Presiden,” ungkap Ketua Umum Negeri Indonesia Jaya, Suhadi.
Langkah Jokowi ini bisa disebut sebagai antisipasi setelah Ganjar Pranowo dideklarasikan PDI Perjuangan sebagai capres. Padahal, awalnya Ganjar digadang-gadang sebagai capres pilihan Jokowi. Setidaknya, terbentuknya poros Koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri atas Partai Golkar, PAN, dan PPP dianggap sebagai sekoci bagi Ganjar jika tidak diusung PDI Perjuangan.
Pengamat politik, Ujang Komarudin menyatakan jika pada awalnya KIB memang disiapkan untuk mendukung Ganjar. Karena itu, dia tidak heran ketika PPP memutuskan dukungannya pada Ganjar. “Jadi kalau PPP mendeklarasikan Ganjar, tidak aneh. Tidak heran, karena memang konstruksinya untuk mendukung Ganjar,” imbuhnya.
Bak permainan catur, “adu” strategi antara Jokowi dan PDI Perjuangan (dalam hal ini Megawati) terus berlanjut. Di saat PDI Perjuangan gencar mengampanyekan Ganjar, Jokowi kerap memamerkan kemesraannya dengan Prabowo. Terbaru, dua parpol anggota KIB, Partai Golkar dan PAN memutuskan bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKB yang mengusung Prabowo sebagai capres.
Meski Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan membantah adanya instruksi dari Jokowi untuk merapat ke Prabowo, anggapan jika kedua parpol itu merapat ke KKIR karena faktor Jokowi tetap ada.
Bahkan, Prabowo tak sungkan mengakui jika koalisi keempat parpol itu merupakan tim Jokowi. “Kita di sini juga tidak malu-malu mengatakan bahwa kita adalah bagian dari tim pemerintahan yang dipimpin oleh Bapak Joko Widodo. Kita bagian daripada Tim Jokowi yang harus kita berani mengatakan berhasil dalam membawa bangsa dan negara ini sampai sekarang, sebagai landasan untuk kita membawa Indonesia menuju cita-cita bangsa Indonesia, yaitu negara adil dan makmur, dan negara yang bisa membawa kesejahteraan ke seluruh rakyat Indonesia,” tegas Prabowo.
Kepiawaian manuver politik Jokowi menjelang 2024 memang patut diacungi jempol. Berbeda dengan Megawati yang hingga saat ini masih “perang dingin” dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi justru berhasil merangkul rivalnya termasuk Prabowo.
Menurut analis politik, Mikhael Raja Muda Bataona, sebagai sosok berlatar belakang orang Jawa, Jokowi menerapkan falsafah Jawa menghadapi Prabowo. Beberapa falsafah Jawa yang dimainkan Jokowi seperti “lamun sira sekti, ojo mateni” (meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan), lamun siro banter, ojo ndhisiki” (meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului), “lamun sira pinter ojo minteri” (meskipun kamu pintar, jangan sok pintar).
Jokowi, dalam hal ini dapat dikatakan berhasil “memangku” Prabowo. Dalam falsafah Jawa, istilah “memangku” lawan bisa diartikan menaklukkan musuh tanpa harus menggunakan kekerasan. Meskipun, Immanuel Ebenezer dengan tegas menolak anggapan tersebut. Dia mengatakan, bergabungnya Prabowo dalam pemerintahan Jokowi semata-mata demi keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia yang makin terancam polarisasi karena pilpres.
“Itu salah satu ciri seorang negarawan sejati. Bukan artinya beliau takluk oleh Jokowi. Prabowo justru mengakui kalau Jokowi merupakan guru politiknya, dan Jokowi dalam berbagai kesempatan sering memuji Prabowo,” terangnya.
Sikap Jokowi yang belum terang benderang mendukung Ganjar sebagai capres 2024 sedikitnya membuat gejolak internal di PDI Perjuangan. Kader muda PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko secara tiba-tiba bertemu dan berdiskusi dengan Prabowo.
Budiman menjelaskan, pertemuannya dengan Prabowo membahas seputar hubungan keduanya yang sudah terjalin sejak Prabowo belum menjadi Ketua Umum Partai Gerindra dan sebelum dirinya bergabung dengan PDI Perjuangan. Selain itu, mereka juga membicarakan perihal kebangsaan, kemanusiaan, dan masa depan. Dia mengaku pertemuan dengan Prabowo tanpa sepengetahuan partai. Sebab, dia tidak mewakili PDI Perjuangan, tapi keinginan pribadi.
“Respon teman-teman di DPP (PDI Perjuangan) juga baik. Artinya tidak ada gejolak, dan saya juga sudah memberikan klarifikasi ke DPP,” ungkap Budiman.
Namun, pengamat komunikasi politik, Jamiluddin Ritonga, menilai bahwa langkah Budiman Sudjatmiko bertemu Prabowo seperti menyiratkan terjadinya perpecahan di internal PDI Perjuangan. Apalagi, sebelumnya Effendi Simbolon juga mengaku mendukung Prabowo sebagai capres 2024.
“Kader Senior PDI Perjuangan semakin berani menunjukkan sikap berbeda dengan capres yang diputuskan Megawati Soekarnoputri,” kata dia.
Pengamat sosial dan kebijakan publik sekaligus peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM), Jannus TH Siahaan melihat bahwa pilpres 2024 bisa menjadi palagan Jokowi dengan Megawati. Jika sebelum deklarasi Ganjar Pranowo sebagai capres keduanya terseret dalam pertarungan antara Ganjar dan Puan Maharani, saat ini justru Megawati seolah-olah masih menunggu siapa capres yang didukung Jokowi.
Menurutnya, Jokowi tentu menunggu momen yang tepat untuk mengungkap siapa capres yang didukungnya di pilpres 2024. Kepiawaian Jokowi yang seperti menggunakan pihak ketiga dalam menjalankan manuver politiknya menunjukkan bahwa Jokowi juga bisa berperan sebagai salah satu king maker yang menentukan di 2024.