Eksklusif, Ketum IAI Noffendri Roestam Soal Kandungan EG dan DEG di Atas Ambang Batas, Kalau Ada yang Lalai Harus Bertanggungjawab

Masyarakat dikejutkan dengan temuan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) RI soal ada beberapa merek obat sirop yang kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas toleransi. Menurut Ketua  Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri Roestam, harus ada yang bertanggungjawab dalam kasus temuan sirop yang melebihi ambang batas kandungan EG dan DEG yang diduga menjadi pemicu penyakit gagal ginjal akut.

***

Mulanya gagal ginjal akut hanya ditemukan 4 kasus pada triwulan pertama 2022,  lalu menjadi 8 kasus pada triwulan kedua, dan 119 kasus pada triwulan ketiga. Menurut dr. M Syahril Jubir Kemenkes seperti yang dilansir VOI, terakhir kasusnya sudah ada 255 kasus gangguan ginjal akut di Indonesia per 22 Oktober 2022 yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Dari jumlah itu 143  di antaranya meninggal dunia.

Setelah terpantau kasus lonjakan pasien gagal ginjal pada anak ini, BPOM melakukan pengecekan terhadap sejumlah merek obat yang beredar di pasaran. Dari pengecekan itu ditemukan 5 merek obat dalam bentuk sirop yang kadar etilen glikol  dan dietilen glikol di atas batas toleransi. Obat itu kemudian ditarik dari peredaran, yaitu Termorex Sirup (obat demam), Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), Unibebi Demam Sirup (obat demam) dan Unibebi Demam Drops (obat demam). Langkah yang diambil oleh Kemenkes kemudian melarang untuk sementara penggunaan semua sediaan sirop untuk menanggulangi lonjakan kasus. 

Menurut Noffendri Roestam, BPOM harus menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi. “Apakah bahan baku obat itu tidak diperiksa dulu oleh pabrik, sesuai persyaratan atau tidak?  Atau apakah ini karena proses lama penyimpanan dan proses distribusi yang membuat kadarnya menjadi naik? Jadi kita belum tahu pasti penyebabnya. Kami berharap investigas BPOM untuk soal ini bisa sampai ke sana,” katanya.

Setelah diketahui siapa yang lalai dalam kasus ini, masih kata Noffendri harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam soal ini acuannya adalah UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di pasal 196 diatur soal produk yang tidak memenuhi persyaratan dan ancaman sanksinya.  “Jika ada produk yang ditemukan EG dan DEG-nya  di atas batas toleransi dalam istilah kami produk itu termasuk TMS (tidak memenuhi syarat). Ancamannya  adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1miliar,” katanya mengutip pasal UU dimaksud.

Dalam soal penarikan produk sediaan sirop di pasaran Noffendri Roestam berharap pihak kepolisian tidak perlu turun tangan, karena ini bisa membuat keadaan semakin heboh. “Kalau polisi sudah turun jadi heboh. Padahal kami bisa melakukan penghentian, dengan tidak memberikan layanan obat sirop untuk sementara waktu. Melalui media saya menyerukan kepada Pak Kapolri untuk mempercayakan kepada kami, soal penghentian pelayanan obat sirop dan juga penarikannya dari apotek,” katanya, dan dia akan memberikan sanksi berat jika ada anggotanya yang tetap memberikan layanan sirop meski sudah ada pelarangan, tegasnya kepada Edy Suherli dan Achmad Basarrudin dari VOI yang menemuinya beberapa waktu lalu di Kantor IAI, di bilangan Tomang Jakarta Barat belum lama ini. Berikut petikan selengkapnya.

Ketua Umum IAI Noffendri Roestam meminta BPOM menjelaskan mengapa persoalan EG dan DEG melebih ambang batas ini bisa terjadi. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga/VOI)

Bagaimana Anda mengamati persoalan beberapa merek sirop yang kadar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi batas toleransi?

Beberapa waktu yang lalu BPOM sudah mengumumkan ada 5 produk yang ditemukan kadar etilen glikol  dan dietilen glikol  di atas batas toleransi. Mengapa bisa begitu, penyebabnya masih kita tunggu hasil investigasi dari BPOM. Ini memang menjadi perhatian semua pihak termasuk kami dari organisasi profesi apoteker. Karena persoalan ini bersinggungan langsung dengan tugas kami di lapangan.

Kasus gangguan ginjal akut di Indonesia terus meningkat, terakhir 110 kasus pada Oktober 2022. Artinya kasusnya terus meningkat, bagaimana Anda melihat hal ini, bisakah dihentikan?

Kami sebagai apoteker kami tidak langsung membicarakan penyebab terjadinya penyakit-penyakit, namun kami bekerjasama dengan dokter berupaya untuk menanggulangi penyakit ini.  Terus terang kami juga bertanya-tanya soal ini, mengapa pertumbuhannya meningkat terus. Meskipun penggunaan sediaan sirop dihentikan namun soal penyebabnya apa, belum ada penjelasan detail. Kepala BPOM dalam keterangan resminya mengatakan kalau sebab dari penyakit gagal ginjal akut ini belum jelas. Artinya masih dalam proses investigasi mereka. Kita tunggu saja hasilnya beberapa waktu yang akan datang. Dugaan penyebabnya apa karena pola konsumsi atau sebab yang lain.

Penarikan sirop ini sebenarnya menyulitkan, terutama bagi orangtua yang punya balita, apa alternatifnya?

Untuk balita memang agak kesulitan kalau sirop ditarik atau dihentikan pemakaiannya.  Dulu memang kalau ada anak yang panas dikasih sediaan dalam bentuk puyer. Dalam perkembangannya ada suntik, lalu sirop yang lebih nyaman untuk anak-anak. Sekarang dengan  penarikan sirop ini kita terpaksa kembali lagi  ke masa lalu. Apoteker kembali menyiapkan puyer, nanti puyer itu dikasih pemanis agar lebih nyaman untuk dikonsumsi anak-anak. Perkembangan teknologi ada juga sediaan yang bisa dimasukkan melalui anus saat anak demam, namanya suppositoria. Tapi lagi-lagi untuk suppositoria itu buat anak-anak tetap tidak senyaman sirop.

Harapan kami pelarangan mengonsumsi sirop ini tidak berlangsung lama. Kalau penyebab pasti gagal ginjal akut ini bisa diketahui, keputusan Menkes menyetop penggunaan sirop bisa segera dicabut.  Orang tua yang punya  balita bisa lebih tenang kalau persoalan ini sudah teratasi. Jangankan orang awam apoteker saja yang punya balita juga gelisah dengan keadaan ini.

Pelarangan penggunaan sediaan sirop ini menurut Prof Zullies Ikawati (Farmakolog UGM) terkait kasus gagal ginjal akut jangan dipukul rata untuk semua pengobatan. Misalnya untuk anak penderita epilepsy, dia akan berbahaya kalau langsung diubah dengan sediaan tablet/puyer, bagaimana menurut Anda?

Pernyataan itu betul. Makanya kami  dalam surat edaran untuk anggota yang ada di seluruh daerah, untuk pasien yang tidak punya pilihan lain harus diberikan sirop silahkan dilayani, namun pengawasan harus dilakukan bersama-sama. Harus ada kerjasama antara dokter dan apoteker.  Kita punya aplikasi pelaporan monitoring efek samping obat. Tinggal mengisi aplikasi itu agar bisa dipantau efek samping obat yang digunakan. Dalam kasus anak yang menderita epilepsy, dan asma yang sudah rutin mengonsumsi obat seperti sirop agak kesulitan kalau tiba-tiba harus berubah mengonsumsi dalam bentuk puyer, formula tadi bisa diterapkan.

Produksi sediaan sirop ini sudah lama, mengapa baru sekarang terdeteksi kalau ada kandungan yang berpotensi menyebabkan ganguan ginjal akut? Selama ini seperti apa pengawasannya?

Sekali lagi ini sebab akibat tidak berkaitan langsung. Jadi ada kasus gagal ginjal akut. Diduga  penyebabnya obat, kemudian dilakukan sampling oleh BPOM, dan ditemukan 5 merek obat dalam bentuk sirop yang kadar etilen glikol  dan dietilen glikol di atas batas toleransi. Makanya kami juga berharap agar BPOM bisa membuktikan mengapa hal ini bisa terjadi. Apakah bahan baku obat itu tidak diperiksa dulu oleh pabrik, ini sesuai persyaratan atau tidak.  Atau apakah ini karena proses lama penyimpanan atau proses distribusi yang membuat kadarnya menjadi naik. Jadi kita belum tahu pasti penyebabnya. Kami berharap investigasi BPOM untuk soal ini bisa sampai ke sana. Soalnya EG dan DEG itu alamiahnya memang ada tapi harusnya itu di bawah batas toleransi agar aman dikonsumsi. Selama ini kita semua merasa aman dengan obat ini, dan sudah dikonsumsi selama bertahun tahun. Terus terang adanya kasus ini memang membuat banyak pihak terkejut. Jadi yang berhak menyampaikan dan menjelaskan soal ini adalah BPOM.

Ketua Umum IAI Noffendri Roestam berharap dalam soal penghentian penggunaan sediaan sirop tak perlu melibatkan polisi. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga/VOI)

Ambang batas toleransi penggunaan EG dan DEG itu berapa besar?

Untuk ini kita  mengacu pada aturan yang sudah ada yaitu buku Farmakope. Dalam Farmakope itu dijelaskan penggunaan EG dan DEG itu batas toleransinya 0,1 persen, tidak boleh lebih dari itu.

Kalau nanti ditemukan ada pihak yang lalai dalam persoalan EG dan DEG yang di atas batas toleransi ini, apakah ada sanksi untuk mereka?

Kita mengacu pada undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal 196 diatur soal produk yang tidak memenuhi persyaratan. Dan itu ada ancaman sanksinya.  Jika ada produk yang ditemukan EG dan DEG-nya  di atas batas toleransi dalam istilah kami produk itu termasuk TMS (tidak memenuhi syarat). Bagi produsen obat yang mengedarkan obat seperti ini ada sanksinya.  “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Di tengah kegalauan publik, ada kabar gembira dari Menteri Kesehatan  yang terkena penyakit ginjal akut,  bisa diobati dengan obat penawar racun atau antidot dengan nama fomepizole yang didatangkan dari Singapura, bisa dijelasan spesifikasi obat ini?

Kalau di luar begeri seperti di Singapura, fomepizole itu bukan obat baru. Obat itu  selalu disediakan untuk mengantisipasi kalau ada pasien yang keracunan EG dan DEG atau methanol. Obat itu wajib ada di rumah sakit. Kalau kedaluarsa dimusnahkan dan disediakan lagi yang baru, begitu seterusnya. Di Indonesia tidak menyediakan obat ini. Saat banyak anak-anak di Indonesia keracunan EG dan DEG, namun belum tahu persis dari mana asalnya, bisa dari obat atau makanan. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah memberikan antidotnya. Yang paling dekat didatangkan dari Singapura. Stoknya tidak banyak di rumah sakit manca negara. Tapi sekarang saya dengar sudah didapatkan untuk membantu anak-anak yang terindikasi ganguan ginjal akut. Jadi ini bukan obat baru, saat ada penyakit baru menjadi pusat perhatian tiba-tiba ada obatnya. Ini obat lama yang memang sudah tersedia sebelumnya. Kalau riset obat masih butuh waktu lama.

Setelah pasien terpapar ganguan ginjal akut dengan mengonsumsi obat fomepizole apa bisa sembuh?

Setelah mengonsumsi fomepizole tujuannya untuk menghambat laju kerusakan pada ginjal pasien. Kerusakan yang ada di ginjal dihambat. Senyawa yang ada di ginjal dinetralkan oleh fomepizole itu.

Jadi bukan untuk penyembuhan? Kalau begitu perlu obat lanjutan setelah mengonsumsi fomepizole?

Sejauh ini belum ada obat lanjutan, karena pasiennya masih anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, diharapkan akan terjadi pembentukan sel baru.

Bagaimana dengan pasien yang sudah berumur?

Untuk orang dewasa fungsinya sama, menghambat laju kerusakan. Nanti dokter akan mendiagnosa dari temuan yang pada pasien. Dia akan memberikan Tindakan. Kalau ginjalnya sama sekali sudah tidak berfungsi yang dilakukan hemodialisa atau orang awam mengenalnya dengan istilah cuci darah.

Karena obatnya masih impor, tentu tidak mudah untuk memperoleh obat ini, masyarakat bisa menghubungi siapa saat memerlukan obat ini? 

Karena ini kasusnya di rumah sakit, pasiennya tinggal di bawa ke rumah sakit yang menjadi rujukan.

Kalau fomepizole-nya belum tersedia atau habis, apakah ada obat lain?

Kemarin kami berdiskusi dengan teman-teman dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mereka merekomendasikan beberapa obat sebagai antidot. Kalau tidak tersedia bisa menggunakan senyawa etanol, tapi ini dalam kondisi darurat saja. Kami sedang menyiapkan edaran untuk teman-teman opoteker  yang bekerja di rumah sakit. Tapi yang kita ketahui Kementerian Kesehatan RI berupaya untuk mencukupi kebutuhan femopizole ini. Obat ini bentuknya injeksi, dan tidak sembarangan bisa diperoleh oleh masyarakat. Hanya orang-orang yang berkompeten yang bisa memperoleh dan meresepkannya dan tindakannya dilakukan di rumah sakit.

Anda sudah menyerukan kepada apoteker seantero Indonesia untuk waspada dan lebih berhati-hati dalam melayani masyarakat, bagaimana pengawasannya?   

Kalau kita mengacu kepada UU, kewenangan untuk melakukan pengawasan ini ada di jajaran Kementerian Kesehatan dan BPOM yang ada di provinsi/daerah. Cuma di negara kita ini meski sudah ada pihak yang diberikan kewenangan untuk mengawasi, selalu diikuti oleh aparat kepolisian. Ini yang yang bikin teman-teman kaget. Kami dari IAI sudah menyerukan kepada seluruh apoteker untuk tidak memberikan layanan obat sirop sementara waktu sampai ketentuannya dicabut oleh Kemenkes. Kalau polisi sudah turun yang ada heboh. Padahal kami bisa melakukan penghentian, dengan tidak memberikan layanan obat sirop untuk sementara waktu. Melalui media saya menyerukan kepada Pak Kapolri untuk mempercayakan kepada kami, soal penghentian pelayanan obat sirop dan juga penarikannya dari apotek. Kalau harus ditarik dan diturunkan dari etalase; itu ribet dan tampilan di apotek juga tidak bagus. Cukup dengan tidak memberikan pelayanan obat sirop. Meski masih terpajang, tapi kan tidak diberikan pelayanan. Kalau ada apoteker yang memberikan pelayanan obat sirop padahal sudah dilarang pemerintah, kami akan memberikan sanksi tegas.

Adakah MoU antara IAI dengan pihak kepolisian?

Belum ada, karena soal pengawasan obat ini sudah ada MoU antara BPOM dengan Polri. Kita lihat saja bagaimana realisasinya. Ini kan sarananya legal dan produknya juga legal, ini adalah kewenangan BPOM. Lalu ada juga yang sarananya legal dan produknya ilegal itu kewenangan BPOM dan Polri. Yang terjadi sekarang ini sarananya legal dan produknya legal, tapi Polri juga ikut nimbrung.

Kalau di apotek bisa terpantau peredarannya, bagaimana dengan di  toko obat apalagi yang tak berizin?

Inilah yang ingin kami sampaikan. Teman-teman apoteker masih melihat obat sirop dipajang di toko tertentu atau minimarket tertentu. Sementara di surat edaran yang disebutkan apotek saja. Jadi tidak merata seruannya. Ada juga tenaga kesehatan yang menyimpan obat sirop untuk pasiennya. Penarikannya seperti apa? Ini yang kami kritisi.

Apa saran  Anda untuk berbagai pihak terkait pelarangan sediaan sirop ini?

Sebenarnya dari data pabrik yang mengeluarkan lima merek obat sirop yang dilarang bisa diketahui berapa banyak diproduksi dan diedarkan ke mana saja. Angka penjualan  tahunan juga bisa tahu meski ada fluktuasi. Cuma itu bisa dipantau kalau sarana pengedarannya resmi, kalau dia mengedarkan lewat saranan tak resmi tidak bisa dipantau. Ada sarana kesehatan, namun dia tidak diizinkan untuk menyimpan obat. Jadi pemerintah harus mengantisipasi sampai ke sana.

Sebagai Ketua IAI yang baru apa program prioritas yang akan dilakukan?

Kami terus berproses dalam mengelola organisasi ke arah yang  lebih baik. Saya belajar banyak dari Pak Nurul Falah Eddy Pariang, Ketum IAI sebelumnya, dalam menata organisasi. Sejak periode sebelumnya IAI Sudah menggunakan Renstra atau Rencana Strategis.  Untuk kepengurusan IAI 2022-2026 kami sudah menyusun Renstra. Sesuai amanat AD-ART Renstra itu sudah ditetapkan di rakernas beberapa waktu yang lalu di Surabaya. Program di IAI Pusat, Daeran dan Cabang berpatokan pada Renstra yang sudah disusun. Kami juga akan fokus pada peningkatan kompetensi anggota. Kami sedang  menyiapkan modul pelatihan untuk para anggota.

Apoteker itu agak berbeda dengan profesi yang lain di bidang kesehatan, dia lingkup kerjanya lebih luas. Kalau dokter, bidan dan perawat fokus di rumah sakit atau pusat layanan kesehatan sejenis. Kalau apoteker selain pusat layanan kesehatan itu mereka juga menyebar di pabrik obat dan distributor obat. Dari semua lini yang ada itu kami meminta anggota kami untuk punya perhimpunan sendiri.

Sekarang pengelolaan layanan anggota IAI sudah menggunakan  aplikasi dengan nama SIAP. Semua layanan yang selumnya manual pelan-pelan berubah menjadi layanan elektronik. Karena itu kami sudah membangun e-office untuk pengelolaan sekretariatan IAI, agar lebih rapi dan tertata. Semua pengarsipan, surat menyurat semua sudah elektornik, jadi terjamin untuk kesinambungannya meski terjadi pergantian staf.

Kami juga akan memfasilitasi antara apoteker dan pencari jasa apoteker. Nanti para apoteker bisa mempublis profilnya dan pengalaman kerjanya selama ini dan itu bisa diakses oleh calon mengguna jasa apokeker. Kami menyiapkan portal khusus untuk lowongan kerja apoteker.

Saat ini berapa rasio antara apoteker dengan jumlah penduduk Indonesia? Apakah sudah mencukupi?

Belum mencukupi, kami baru saja berhitung dan menganalisa dengan Kemenkes c.q Dirjen Tenaga Kesehatan. Hitungan  IAI dan Kemenkes sama, rasio apoteker dengan populasi itu 0,9/1000 penduduk. Dan tidak lama lagi rasio ini akan tercapai di tahun 2030. Cuma yang menjadi masalah, seperti halnya di tenaga kesehatan lain; dokter, bidan dan perawat, adalah sebaran yang tidak rata antara kota besar dengan daerah, atau antara Jawa dan Luar Jawa. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas mestinya dilakukan oleh tenaga apoteker, namun saat ini baru bisa dipenuhi sekitar 60 persen. Tantangannya  banyak, seperti wilayah yang luas dan konsdisi alam. Kalau menghadiri pengambilan sumpah apoteker baru, saya minta pulang ke daerah untuk mengaplikasikan ilmunya.

Kepada lulusan farmasi dan sudah menyandang gelar apoteker saya sarankan untuk pulang ke daerah. Di daerah itu, terutama yang baru berkembang peluang untuk membuka apotek amat terbuka. Saya banyak mendengar cerita sukses apoteker yang pulang ke daerah dan membuka apotek di sana. Kalau di kota besar terutama di Jawa sudah penuh. Lihatlah daerah berkembang di luar Jawa yang masih banyak peluangnya.

Ini Tips Sehat Ala Ketum IAI Noffendri Roestam

Dengan kesibukan Noffendri Roestam punya tips untuk menjaga kesehatan fisik dan psikisnya. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga/VOI)

Banyak cara bisa dilakukan agar sehat secara jasmani dan rohani. Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri Roestam punya tips sederhana agar bisa melakoni hidup dengan sehat. Mulai dari curi waktu untuk istirahat, kurangi konsumsi berita negatif dan doa yang tulus.

Menurut pria kelahiran, Bukittinggi, 29 November 1970 ini karena kesibukan yang cukup tinggi, ia akan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. “Kalau ada kesempatan istirahat, saya akan manfaatkan sebaik mungkin. Tidur misalnya, sebelum pesawat lepas landas, saya akan tidur sejenak. Ya curi-curi waktu, lumayan bisa terlelap. Sebelum pesawat take off saya sudah tertidur,” katanya sembari tertawa. 

Tips lainnya adalah mengurangi konsumsi berita yang bernada negatif. “Berita atau kabar yang bernada negatif buat saya amat mengganggu kesehatan. Karena itu saya akan mengurangi asupan berita negatif agar kesehatan psikis bisa terjaga,” lanjut Ketua IAI periode 2022 – 2026 ini.

Ternyata berita negatif itu, kata Noffendri sering ditemukan di media sosial dan grup pertemanan melalui layanan aplikasi pesan yang kini banyak ditemui. “Grup pertemanan, baik teman kerja, teman sekolah dan perkumpulan lainnya sering beredar berita-berita yang bernada negatif. Saya tidak akan membaca atau merespon hal-hal seperti itu,” katanya.

Kunci sehat berikutnya adalah doa setiap orang yang kenal dengan dirinya. “Setiap bertemu atau berkomunikasi melalui telepon atau pesan singkat sering kali teman-teman atau kolega yang memanjatkan doa semoga sehat dan lain sebagainya. Buat saya itu adalah doa tulus yang bisa dikabulkan Allah SWT. Sehingga saya bisa menjalani hidup ini dengan baik. Saya menyampaikan terima kasih kepada semua yang sudah mendoakan. Doa yang sama juga saya panjatkan untuk mereka,” katanya.

Selama ini, lanjut Noffendri, ia bersyukur karena dalam urusan gangguan kesehatan yang sering dialaminya adalah sakit seperti flu dan batuk. Tak berapa lama sakit flu dan batuk bisa diatasi.

Keterbatasan waktu untuk berolahraga membuat Noffendri memanfaatkan kesempatan saat  berada di bandara. Perjalanan dari pintu masuk lalu ke gerbang terakhir sebelum ke pesawat benar-benar dimanfaatkannya sebagai pengganti olahraga. “Jadi kalau di bandara saya akan menggunakan momen itu untuk jalan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan berjalan kaki. Buat saya itu menjadi pengganti olahraga,” ujar pria yang nyaris setiap pekan bepergian ke luar kota setelah ia terpilih menjadi Ketum IAI.

Untuk makanan, kata dia pria  yang dua periode menjabat sebagai Sekjen IAI ini, berusaha membatasi. Namun kendalanya kadang ia harus menerima jamuan makan saat kunjungan kerja ke daerah. “Teman-teman di daerah itu menghargai kita. Bentuk penghormatannya biasanya dengan menyuguhkan makanan khas daerah. Saya harus menghormati dengan mencicipi hidangan yang disuguhkan namun tidak boleh berlebihan,” katanya.

Saat ini Noffendri mengurangi asupan karbohidrat. “Kalau disuguhkan hidangan yang akan saya konsumsi lauk-pauk dan buah-buahan saja. Untuk nasi saya kurangi asupannya,” katanya.

Organisasi

Sejak mahasiswa Noffendri Roestam sudah punya passion dalam berorganisasi. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga/VOI)

Tak lama setelah menamatkan kuliahnya di Program Profesi Apoteker, Universitas Andalas, Padang (1996) ia merantau ke Serang Banten. Di sana ia mulai aktif di Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) Banten selain sebagai apoteker. Ia menduduki posisi sebagai Sekretaris ISFI.  “Dulu saya aktif di ISFI Banten untuk periode 1997-2001 dan berlanjut ke periode berikutnya 2001-2005,” katanya.

Setelah menjadi pengurus di daerah Noffendri merambah ke tingkat pusat. Tahun 2009 ia menduduki jabatan sebagai Wakil Sekjen IAI. Dari Wakil Sekjen ia dipercaya menjabat sebagai Sekjen IAI periode 2014-2018 dan berlanjut pada periode 2018-2022.

Bagi Noffendri Roestam menjadi pengurus organisasi lebih menantang daripada hanya sebagai apoteker. “Menjadi pengurus organisasi itu tantangannya lebih besar. Kalau menjadi apoteker yang begitu-begitu saja,” ujar pria yang pernah menjadi penanggungjawab apotek Sumber Sehat Serang (1996 – 2011).

Selain berorganisasi Noffendri juga mengabdikan ilmunya di Akademi Farmasi Al-Ishlah Cilegon Banten sejak 2006 hingga sekarang. “Bagi saya mengajar itu yang paling penting adalah memberikan motivasi kepada mahasiswa. Untuk materi kuliah, saya pikir mahasiswa sekarang bisa mencari sendiri. Mereka bisa menemukan materi perkuliahan dari buku dan juga sumber-sumber online yang sekarang bisa dicari. Kalau motivasi berdasarkan pengalaman itu yang tidak semua bisa,” katanya.

Mahasiswanya senang kalau dia memberikan kuliah. “Padahal saya lebih banyak bercerita pengalaman, baik sebagai apoteker atau sebagai pengurus organisasi. Saya lebih banyak memberikan wawasan dan membuka pola pikir mahasiswa agar bersemangat dalam perkuliahan dan menyelesaikan studi. Soalnya setelah kuliah selesai dan diwisuda, lapangan pekerjaan sudah menanti,” katanya sembari menambahkan saat ini rasio antara apoteker dengan jumlah penduduk Indonesia masih belum berimbang.

Keluarga

Noffendri Roestam menekankan pentingnya komunikasi dengan istri dan anak-anak di tengah kesibukannya. (Foto: Bunga Ramadani, DI: Raga/VOI)

Noffendri beruntung istri dan anak-anaknya memahami kesibukannya sebagai apoteker yang aktif juga di organisasi. “Istri dan anak-anak yang memahami kesibukan saya yang lebih banyak di organisasi selain sebagai apoteker dan juga dosen. Soalnya sejak mahasiswa saya memang sudah menjadi aktifis di kampus dan berlanjut di organisasi setelah lulus kuliah,” katanya.

Ia malah mengajak anak-anaknya ikut dalam kegiatan organisasi. “Sesekali saya ajak anak-anak kalau ada kegiatan IAI. Namun sekarang mereka sudah besar-besar sudah punya kesibukan sendiri,” katanya.

Noffendri benar-benar memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi saat ini. “Melalui telepon pintar kita bisa berkomunikasi dengan anak dan istri di mana pun berada. Yang penting ada sinyal dan jaringan internet, kita bisa tetap terhubung dengan keluarga melalui video call,” lanjutnya.

Jadi meski ia harus bertugas ke luar kota nyaris setiap pekan, ia tak khawatir karena masih tetap bisa berkomunikasi dengan anak-anak dan istri.  “Komunikasi kuncinya, tak boleh putus di mana pun berada. Alhamdulillah istri dan anak-anak memahami passion ayahnya dalam berorganisasi,” ujar ayah dua anak ini.

>

Meski tidak memaksakan anaknya untuk mengikuti jejaknya sebagai apoteker, namun dari dua anaknya, si bungsu kini kuliah di jurusan yang sama dengannya. “Dari dua anaknya,  si bungsu yang perempuan meneruskan studinya di Program Profesi Apoteker, Universitas Andalas, Padang. Dia baru semester 1 di tempat saya dulu kuliah,” kata Noffendri Roestam.

"Jika ada produk yang ditemukan EG dan DEG-nya  di atas batas toleransi dalam istilah kami produk itu termasuk TMS (tidak memenuhi syarat). Bagi produsen obat yang mengedarkan obat seperti ini ada sanksinya,"

Noffendri Roestam