Ritual Kejawen Puyahale, Upaya Desa Diponggo Bawean Menangkal COVID-19

GRESIK - Warga Desa Diponggo, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, punya cara sendiri menangkal penyebaran COVID-19. Warga menggelar ritual kejawen atau adat Puyahale.

"Adat Puyahale ini sudah dijalankan selama puluhan tahun oleh Waliyah Zainab, sejak datang ke Pulau Bawean untuk menyebarkan Islam," kata Kepala Desa Diponggo, Muhammad Salim, Sabtu, 5 September.

Ritual kejawen ini digelar sehari semalam. Ritual ini merupakan warisan leluhur masyarakat Diponggo, untuk menolak marabahaya.

"Sebenarnya pandemi ini kan sudah ada sejak zaman dahulu, hanya saja istilahnya berbeda. Nah, kami masyarakat Bawean ingin mewarisi tradisi, yaitu bagiamana cara orang dulu membebaskan diri dari balak atau musibah pandemi," kata Salim.

Kegiatan adat ini dimulai dengan salat berjamaah juga istigasah dan tahlil. Keesokan harinya,  para kiai dan tokoh setempat membersihkan pusaka-pusaka peninggalan Waliyah Zainab, seperti tongkat dan keris. Pusaka ini lantas dibawa keliling kampung oleh warga setempat, sambil membaca dzikir dan salawat. 

"Lalu di setiap sudut kampung dikumandangkan adzan, semata-mata untuk kedamaian dan pertahanan kampung dari mala Warga Desa Diponggo, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, punya cara sendiri menangkal penyebaran COVID-19petaka. Sementara di setiap ujung kampung ada pembakaran kemenyan, dan akhiri acara tasyakuran dengan makan bersama," kata Salim.

Ketua Ta'mir yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Waliyah Zainab, Kiai Nurul Huda, mengatakan, adat Puyahale sudah dilakukan puluhan tahun, turun temurun. Ribuan orang bergabung dalam tradisi kejawen ini, namun dengan tetap menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19

"Kegiatan ini hanya diikuti para bapak dan anak laki-laki. Sementara untuk kaum perempuan berada di rumah, mempersipakan alat dan sarana kirab, serta mempersiapkan makanan untuk tasyakuran setelah keliling kampung," kata Kiai Nurul, sapaan akrabnya.

Seluruh peserta kirab disarankan membawa pusaka atau tongkat yang unik. Bagi mereka yang tidak punya pusaka, cukup membawa tongkat kayu yang diukir semenarik mungkin. 

"Tongkat dalam Islam memiliki makna yang tidak sekadar penyangga tubuh saat berjalan di usia renta, juga memiliki filosofi mendalam," kata Kiai Nurul. 

"Tongkat itu disimbolkan huruf Alif Wahdaniyyah, bisa diartikan orang yang sudah berusia 40 tahun ke atas, haruslah bisa berpegang kukuh pada Wahdaniyatullah atau ketunggalan Allah SWT," imbuh dia.

Sementara Camat Kecamatan Tambak, Agung Endro Dwi Setyo Utomo, menyebut masyarakat Desa Diponggo mempunyai ciri khas tersendiri dari desa-desa lainnya di Pulau Bawean. 

"Ketika Waliyah Zainab datang, warga Diponggo menerima lanjut Agung bahasa Jawa, sehingga menjadi populer di desa itu hingga sekarang," katanya.

Sementara terkait adat Puyahale dengan kirab pusaka, menurut Agung menjadi cara Waliyah Zainab melindungi diri dari Kerajaan Mataram, yang akan menghabisi keturunan Syekh Siti Jenar yang saat itu antara Bawean-Jawa. 

"Dzikir mengagungkan nama Allah SWT, dengan harapan warga Diponggo khususnya warga Bawean terhindar dari penyebaran COVID-19 ini," kata Agung.

Agung berharap generasi penerus terus melanjutkan tradisi tersebut. Sebab, adat ini diyakini masyarakat sebagai benteng penolak bala atau penyakit.

“Karena ada nilai historis dan spritual yang sangat baik, untuk terus dikembangkan dan dilestarikan," katanya.