Ilmu Silat Sabeni: Kerendahan Hati yang Mengganggu Kuasa Kolonial di Tanah Abang [TUNGGU REVISIAN]

JAKARTA - Sabeni tak sama dengan jago lain. Ilmu silatnya melampaui kerendahan hati aliran lain. Di situlah keistimewaan Sabeni dan silatnya. Mengganggu kekuasaan kolonial tanpa pertumpahan darah. 

Dalam sejarah Jakarta, seorang pandai pencak silat atau biasa disebut 'maen pukulan' memiliki peran khusus sebagai penjaga ketertiban tanah Betawi. Mereka kerap disebut 'jago' karena kiprah mereka membela kaum lemah. Dari banyaknya jago Betawi yang menonjol, Sabeni bin Canam adalah salah satunya.

Sabeni yang lahir pada 1860 adalah guru bagi banyak anak muda sekitar Tanah Abang dan kampung-kampung sekitarnya. Ia mengabdikan diri untuk melatih dan mengajari anak-anak muda itu 'maen pukulan'. Meminjam pendapat Margreet Van Till dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2006), dijelaskan bahwa sebutan jago memiliki konotasi positif.

Mereka bukan golongan preman. Sabeni, misalnya. Ia adalah orang yang kehidupannya begitu dekat dengan agama. Selain di arena latihan 'maen pukulan', waktu Sabeni dihabiskan di masjid dan majelis taklim.

”Jago merupakan pelindung masyarakat. Dalam hal ini jago tidak menggunakan kekuatannya untuk menundukkan wilayahnya sendiri dari otoritas resmi. Tetapi mereka muncul sebagai seorang kampiun dari orang-orang yang tertindas,” tulis Margreet.

Perlahan, aktivitas Sabeni mengajar 'maen pukulan' kepada anak-anak muda mulai mengganggu pemerintah kolonial Belanda. Kompeni sadar, semakin banyak orang yang menguasai ilmu 'maen pukulan' adalah ancaman terhadap hagemoni kekuasaan mereka di Batavia (Jakarta).

Sebagai bentuk kebencian kompeni akan Sabeni, komandan polisi Belanda turut mengutus seorang jawara untuk menghabisi Sabeni. Namun, tiap jawara yang dikirim selalu dengan mudah dikalahkan Sabeni. Kompeni pun tak menyerah. Mereka mencoba berbagai siasat untuk menghentikan kiprah pemilik jurus 'Jalan Cara Cina' itu.

Sabeni belajar silat

Kehebatatan Sabeni dalam 'maen pukulan' tak lepas dari pengaruh dua gurunya, H. Syuhud dan H. Ma’il. Dikutip G. J Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016), untuk melengkapi ilmu silat, Sabeni mempelajari ilmu agama yang dipelajarinya dari Habib Sayid Alwi Al Habsyi.

Berbekal bakat alam dan kecerdasan, Sabeni berhasil mengkreasikan ilmu 'maen pukulan'. Setelahnya, kreasi itu diberi nama Sabeni atas saran dari guru-gurunya. "Kalu ude jadi, aliran ini lu namain ye ... Sabeni, name lu!"

“Didikan maen pukulan Sabeni sarat nilai-nilai agama. Ilmu padi menjadi petuah yang selalu diajarkan, mengutamakan sabar dan pemaaf terhadap musuh yang sudah tidak berdaya. Ajaran lainnya, tidak boleh sembarangan memukul orang, tidak boleh takabur, senantiasa menghormati orang lain, karena dengan menghormati orang lain kita akan dihormati orang lain,” ungkap G.J Nawi.

Berkat prinsip itulah, tidak mengherankan jikalau Sabeni belum pernah membunuh orang. Boleh jadi, Sabeni menjadi satu-satunya jago Betawi ternama yang belum pernah membunuh orang. Hal itulah yang membuat sosok Sabeni sebagai jago Betawi begitu spesial dibanding jago lainnya, seperti Si Jampang ataupun Entong Gendut. (https://voi.id/memori/12858/kala-entong-gendut-mengangkat-keris-ketika-petani-melawan-polisi-dan-ketidakadilan)

Kehebatan Sabeni semakin paripurna kala dirinya akan menyunting anak gadis dari jago Betawi Sya’ban. Akan tetapi, Sya’ban memberi syarat jika Sabeni dapat mengalahkannya, maka perkawinan akan berlangsung. Singkat cerita, Sya’ban pun jatuh tiga kali berturut-turut dan mengakui kehebatan Sabeni. Atas kekalahannya, Sya’ban mengangkat sabeni sebagai mantu dan guru.

Sayangnya, pernikahan tersebut tak membuahkan keturunan. Apalagi, dalam tradisi Betawi dan pencak silat secara umum, garis keturunan itu penting untuk melegitimasi jago di dalam komunitasnya. Kelak, Sabeni menikah untuk kali kedua. Kali ini anak gadis yang dipersunting olehnya adalah Siti Khadijah anak dari Murtado, Jagoan Betawi di Balik Julukan Persija 'Macan Kemayoran.' (https://voi.id/memori/7208/kisah-murtado-jagoan-betawi-di-balik-julukan-persija-macan-kemayoran)

Lewat pernikahan itu, Sabeni memiliki satu anak. Kemudian Sabeni nikah untuk kali ketiga dengan Piah, perempuan asal Bogor dan dianugerahi dua belas orang anak yaitu Sofiah, Safe'i, H. Masnan, M. Sani, Fatimah, Mustofa Sabeni, M. Ali Sabeni, Jamani, Rusli, Moch. Arfan, Moch. Tamim, dan Siti Khadijah.

Ip Man dari Betawi

Jikalau Ip Man, sang guru Aktor legendaris Bruce Lee diceritakan dapat mengalahkan ahli bela diri dari ragam kalangan. Pun hal yang sama berlaku pada sosok Sabeni. Komandan Kepolisian Hindia-Belanda (Hoofd Beurau Van Politie) yang sudah kehabisan akal mengirim orang untuk melawan Sabeni, akhirnya mulai menggunakan siasat baru.

Komandan tersebut lalu mendatangkan seorang petinju dari negerinya, dan seorang jago kungfu untuk diadu dengan Sabeni. Pertandingannya diadakan di Prince Park (sekarang Taman Lokasari, Jakarta Barat) dengan disaksikan ratusan kaum bumiputra yang datang dari Tenabang, warga Belanda, maupun China.

“Dalam pertandingan tersebut Sabeni berhasil mengalahkan kedua lawannya dengan mudah. Hal ini membuat sang Komandan Polisi Belanda bertambah kesal dan galau. Sebaliknya warga Betawi semakin menaruh kagum pada Sabeni,” ungkap Abdul Chaer dalam buku Tenabang Tempoe Doeloe (2017).

Pada zaman Jepang Sabeni juga pernah diadu oleh komandan Kempetai Jepang dengan seorang jago karate dan seorang ahli Sumo. Hal itu terlaksana karena anak dari Sabeni, Syafei yang ikut dalam barisan Heiho (pasukan bantuan tentara Jepang) melarikan diri dari kesatuannya di Surabaya. Pelarian itu membuat Jepang marah, lalu mencari Syafei.

Karena Syafei tak kunjung ditemukan, Kempetai justru menangkan dan menahan Sabeni dengan janji kalau Syafei tertangkap, Sabeni akan dilepaskan. Semasa Sabeni ditahan, komandan Kempetai mendapatkan informasi bahwa Sabeni merupakan seorang Jago maen pukulan dan dirinya bermaksud menguji kemampuan Sabeni diadu dengan anak buahnya.

Sabeni yang kala itu berusia 80 tahun menyanggupi permintaan itu. si Kempetai berjanji akan membebaskan Sabeni jika menang dalam pertarungan, dan sebaliknya jika kalah. Tanpa basa-basi, Sabeni menginginkan pertarungan segara dilaksanakan dengan syarat, keluarga dan rekan-rekannya di Tenabang dapat menyaksikan langsung pertarungan tersebut. si Kempetai pun menyanggupi.

“Tiba pada waktunya ternyata yang harus dihadapi Sabeni ada dua orang, yaitu seorang karateka dan seorang pemain sumo yang berbadan sangat besar. Mula-mula Sabeni harus menghadapi si karateka. Dengan mengucap Bismillah, Sabeni maju ke depan,” tambah Abdul Chaer.

Akhirnya, Sabeni pun memenangkan pertarungan tersebut. saking terhiburnya, si Komandan Kempetai sampai berdecak kagum. Lalu sesuai dengan perjanjian Sabeni dibebaskan dan boleh pulang ke rumahnya. Dari situlah hingga akhir hayatnya Sabeni turut serta mengumpulkan kekuatan untuk mengusir penjajah dari kampung halaman dan negerinya. Sayangnya, Sabeni wafat pada Jumat 15 Agustus 1945, atau 2 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI dalam usia 85 tahun.

Atas jasanya, Pemerintah DKI Jakarta pada ulang tahun Jakarta ke-480 lalu mengganti nama Gang Kubur Lama menjadi Jalan abeni. Tak hanya itu, pemerintah Jakarta turut memindahkan makamnya dari kuburan Gang Kubur Lama ke Pemakaman Umum Karet Bivak. Yang mana berdekatan dengan makam pejuang Kemerdekaan kesohor lainnya dari tanah Betawi, Mohammad Husni Thamrin.

Kiranya, kini orang-orang dapat mengenang Sabeni dalam satu lagu berjudul 'Sabeni Jago Tanah Abang.’ Lagu tersebut ditulis langsung oleh putra Sabeni yang seniman, M. Ali Sabeni, bersama Suhaeri Mufti. Uniknya, lagu ini diisi dengan irama gambang kromong yang diringi Naga Mustika yang khas telah populer pada 1970-an. Berikut penggalan liriknya:

Kalu ade Sayuti Jago Cengkareng

Eh... ade lagi Sabeni Jago Tenabang

Muridnya banyak, die dikenal orang

Nggak Perne die bikin sale duluan.

ilustrasi:

1.2. Maen Pukulan betawi (Dok. Pribadi)

3.4. Pasar Tanah Abang (Wikimedia Commons)