Presiden Belarusia Siap Adakan Pemilu Ulang dan Serahkan Kekuasaan

JAKARTA - Presiden Belarusia Alexander Lukashenko menyatakan keseiapannya mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan setelah referendum konstitusi. Hal tersebut merupakan upaya dari Lukashenko menenangkan protes massa dan mogok massal yang merupakan tantangan terbesar bagi pemerintahannya selama 26 tahun.

Melansir Reuters, Selasa 18 Agustus, Lukashenko membuat sebuah tawaran namun bersikeras tidak akan disampaikan saat dia masih berada di bawah tekanan pengunjuk rasa. Unjuk rasa terjadi saat politisi oposisi Sviatlana Tsikhanouskaya melarikan diri ke Lituania dan mengatakan bersedia menjadi pemimpin negara. 

Sebagai tanda kerentanannya yang semakin meningkat, Lukashenko menghadapi cemoohan dan teriakan "mundur" saat berpidato di depan para pekerja. Luashenko berpidato di salah satu pabrik besar yang dikelola negara yang merupakan kebanggaan model ekonomi gaya Uni Soviet dan basis dukungan utamanya.

Tidak hanya ditentang oleh masyarakatnya sendiri, Lukashenko menghadapi ancaman sanksi dari Uni Eropa setelah tindakan keras berdarah terhadap aksi protes minggu lalu setelah pemilu. Pemilu tersebut dianggap curang karena memberikan hasil resmi lebih dari 80 persen suara untuk Lukashenko.

"Kami akan mengajukan perubahan ke referendum, dan saya akan menyerahkan kewenangan konstitusional saya. Tapi tidak di bawah tekanan atau karena aksi di jalan,” kata Lukashenko, dalam sambutannya yang dikutip oleh kantor berita resmi Belta.

“Ya, saya bukan orang suci. Anda tahu sisi keras saya. Saya tidak kekal. Tetapi jika Anda menjatuhkan presiden pertama, Anda akan menyeret negara-negara tetangga dan yang lainnya,” tambah Lukhasenko. 

Namun Lukashenko menawarkan untuk mengubah konstitusi, sebuah konsesi yang tampaknya tidak mungkin memuaskan pengunjuk rasa. Hal tersebut dikarenakan itu adalah sesuatu yang Lukashenko inginkan. Lukashenko juga mengatakan masyarakat dapat mengadakan pemilihan parlemen dan presiden setelah referendum jika itu yang diinginkan.

Para pejabat Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa ingin Rusia tidak ikut campur dalam permasalahan tersebut. Rusia sebelumnya mengatakan kepada Lukashenko bahwa pihaknya siap memberikan bantuan militer terhadap ancaman eksternal.

Pada 16 Agustus, ribuan pendukung oposisi Belarusia berunjuk rasa agar Alexander Lukashenko segera mundur. Unjuk rasa tersebut disebut-sebut menjadi unjuk rasa terbesar dalam sejarah. Banyak orang Belarusia yang turun ke jalan selama seminggu terakhir untuk mengutuk kemenangan Lukashenko. Unjuk rasa tersebut diwarnai dengan tindakan keras yang dilakukan oleh polisi anti huru hara dan kekerasan terhadap orang yang ditahan saat unjuk rasa.

Kesiapan Tsikhanouskaya

Lewat video yang ia buat dari Lituania, Tsikhanouskaya mengatakan bahwa ia siap mengambil alih kepemimpinan Lukashenko. Ia juga mendesak petugas keamanan dan penegakan hukum untuk beralih dari Lukashenko.

Video Tsikhanouskaya dirilis saat ratusan orang melakukan aksi mogok kerja. Beberapa presenter dan staf berita juga mengundurkan diri secara terbuka sebagai solidaritas para pengunjuk rasa.

"Saya siap untuk mengambil tanggung jawab dan bertindak sebagai pemimpin nasional selama periode ini," kata Tsikhanouskaya. 

Pemogokan itu terjadi ketika protes menyebar ke mereka yang biasanya dianggap loyal kepada presiden berusia 65 tahun itu. Beberapa polisi, duta besar, atlet terkemuka dan mantan perdana menteri juga menyuarakan solidaritas dengan para pengunjuk rasa. Para pekerja pabrik mengibarkan bendera dan poster bergabung dengan pengunjuk rasa.