Sejumlah Aturan Hukum yang Bisa Menjerat Klaim Penemuan Obat COVID-19
JAKARTA - Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Mahesa Paranadipa Maikel mengatakan, ada banyak sanksi hukum yang bisa menjerat siapapun yang mengaku menemukan obat COVID-19.
"Pertama, apabila orang tersebut menggunakan titel dokter atau profesor yang apabila ternyata tidak dimilikinya/palsu, maka dapat dikenakan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional," kata dia lewat pernyataannya yang diterima VOI, Kamis, 13 Agustus.
Dalam pasal itu dijelaskan, Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Selain itu, ancaman pidana bagi orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik tertera pada Pasal 77 UU Praktik Kedokteran. Dipasal itu dijelaskan, Orang yang melakukan tindakan tersebut dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Kedua, lanjut Mahesa, apabila orang tersebut menjual atau mempromosikan obat herbal/tradisional yang diklaim sebagai obat penyembuh dari COVID-19 bisa dijerat Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen, yaitu memproduksi/memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan iklan/promosi. Sedangkan, Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa, hal tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Selain itu, dalam psal 58 UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan, “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Atau, jika sampai ada korban dari penggunaan obat herbalnya, aparat penegak hukum bisa menjeratnya dengan pasal 359 atau 360 KUHP.