Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Achmad Nur Hidayat mengatakan program pembangunan 3 juta rumah yang digagas Presiden Prabowo Subianto memiliki tujuan positif dalam mengurangi backlog perumahan yang telah mencapai 12,7 juta unit hingga mendorong pertumbuhan sektor properti dan penciptaan lapangan kerja.

"Di balik ambisi besar itu, realitas di lapangan menunjukkan program ini tengah menghadapi jalan terjal, bukan hanya dari sisi teknis dan pembiayaan, melainkan juga dari kegagalan membaca konteks sosial-ekonomi masyarakat saat ini," ujarnya dalam keterangannya, Rabu, 7 Mei.

Achmad menyampaikan dalam pernyataan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah, Indonesia berhasil mendapatkan komitmen pinjaman lunak senilai Rp50 triliun dari lembaga multilateral seperti World Bank, ADB, dan AIIB, memang memberikan angin segar bagi fiskal negara. Namun, solusi pembiayaan saja tidak cukup untuk menjawab kompleksitas tantangan di lapangan.

Menurutnya, keberhasilan program perumahan rakyat bergantung pada kemampuan ekonomi masyarakat untuk memiliki dan mencicil rumah, termasuk rumah bersubsidi.

Selain itu, dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di sektor manufaktur dan tekstil.

"Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan atau mengalami pemangkasan jam kerja dan penghasilan," tegasnya.

Sementara itu, pada saat yang sama, kenaikan harga pangan dan energi terus menekan daya beli rumah tangga kelas menengah ke bawah.

Dalam kondisi ini, membeli rumah bukanlah prioritas utama, karena kebutuhan dasar seperti makanan dan transportasi lebih mendesak.

"Bahkan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi pun tetap tidak terjangkau jika pendapatan tetap tidak mencukupi untuk membayar uang muka dan cicilan bulanan. Maka, keliru besar bila pemerintah hanya berfokus pada aspek pembangunan fisik rumah tanpa melihat kesiapan sosial ekonomi masyarakat penerima manfaat," tuturnya.

Achmad menyampaikan kritik utama terhadap program 3 juta rumah adalah pemerintah terlalu fokus pada pencapaian target kuantitatif, alih-alih memastikan pemulihan sektor ketenagakerjaan dan peningkatan produktivitas nasional terlebih dahulu, di mana pembangunan perumahan seharusnya berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi riil di tingkat rumah tangga.

"Ini artinya, rumah tidak bisa dipisahkan dari pekerjaan. Di manapun di dunia, model pembangunan perumahan yang berhasil selalu melekat pada zona produktif: kawasan industri, pusat perdagangan, atau sentra ekonomi lokal. Fokus kebijakan PKP seharusnya bergeser dari sekadar pembangunan kuantitatif ke arah pengembangan permukiman berbasis pekerjaan dan konektivitas," tuturnya.

Menurutnya, hal ini memerlukan sinergi lintas sektor antara Kementerian Ketenagakerjaan, Perindustrian, Perhubungan, dan Perencanaan Wilayah.

Selain itu, pembangunan rumah vertikal juga hanya akan efektif apabila didukung sistem transportasi publik yang terintegrasi dan terjangkau oleh kalangan pekerja.

Achmad bilang, agar program pembangunan 3 juta rumah tidak sekadar menjadi proyek politis, dibutuhkan langkah-langkah strategis yang konkret dan berkelanjutan yaitu pertama, pemerintah perlu memublikasikan roadmap yang rinci dan kredibel, serta dokumen ini harus mencakup pembagian peran antar lembaga, skema pembiayaan, penetapan kawasan prioritas, serta mekanisme keterlibatan pihak swasta.

Kedua yaitu penyederhanaan perizinan pembangunan mutlak diperlukan. Reformasi birokrasi, termasuk digitalisasi proses perizinan, dapat menurunkan biaya usaha dan meningkatkan daya tarik investasi.

Berikutnya ketiga adalah kembangkan skema pembiayaan campuran (blended finance). Kombinasi antara APBN, obligasi daerah, pendanaan swasta, hingga crowdfunding akan menciptakan ekosistem investasi yang lebih inklusif dan efisien.

Selanjutnya keempat adalah pertimbangkan pendirian kembali Kementerian Perumahan Rakyat. Lembaga ini dibutuhkan untuk menyatukan kebijakan, mempercepat pengambilan keputusan, dan menjaga arah pelaksanaan program.

Kemudian kelima yaitu bangun sistem pengawasan digital yang transparan dan akuntabilitas dalam penggunaan dana, baik dari anggaran publik maupun donor, harus dijaga ketat. Masyarakat berhak tahu bagaimana dan untuk siapa setiap rupiah digunakan.

Achmad menyampaikan, pembangunan rumah bukan sekadar menumpuk beton dan semen, melainkan sebuah kebijakan sosial yang kompleks lantaran menyentuh isu ketenagakerjaan, transportasi, kualitas hidup, hingga tata ruang.

"Tidak cukup hanya dengan angka besar dan janji dana segar. Pemerintah harus lebih dulu memastikan rakyat memiliki pekerjaan, pasar perumahan tidak disandera harga tanah, dan birokrasi tidak menjadi penghambat utama pembangunan," jelasnya.

Menurutnya, program 3 juta rumah hanya akan bermakna jika mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat bukan menjadi monumen ambisi politik.

Rumah rakyat harus dibangun di atas kebijakan yang rasional, inklusif, dan berorientasi pada masa depan.