JAKARTA - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyampaikan kritik Amerika Serikat (AS) terhadap kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (National Payment Gateway) mencerminkan ketegangan abadi antara globalisasi dan nasionalisme ekonomi.
Achmad menjelaskan kebijakan tersebut bagi AS selaku rumah bagi raksasa fintech seperti PayPal, Stripe, dan Visa kebijakan Indonesia dianggap menghambat ekspansi bisnisnya.
Meski demikian, Achmad menyampaikan Indonesia harus memprioritaskan kepentingan 277 juta warganya, lantaran liberalisasi sektor pembayaran tanpa filter bisa mematikan startup fintech lokal yang belum siap bersaing dengan perusahaan multinasional.
"Contohnya, di Afrika, dominasi M-Pesa (meski sukses meningkatkan inklusi keuangan) justru mempersempit ruang bagi pengembang lokal untuk menciptakan solusi yang lebih kontekstual. Selain itu, tuntutan AS agar BI lebih transparan dalam penyusunan kebijakan perlu dikritis," jelasanya dalam keterangannya, Selasa, 22 April.
Menurutnya setiap negara berdaulat berhak merumuskan regulasi sesuai kebutuhan nasionalnya tanpa intervensi asing dimana protes AS mirip dengan reaksi mereka terhadap kebijakan data lokal (data localization) di Uni Eropa melalui GDPR.
"Jika Indonesia menyerah pada tekanan ini, bisa jadi ini menjadi preseden buruk di mana kebijakan publik ditentukan oleh lobi korporasi, bukan kepentingan rakyat," tuturnya.
Achmad menyampaikan kedaulatan ekonomi adalah hak mutlak Indonesia, dialog konstruktif dengan pemain global tetap diperlukan dan tudingan bahwa kebijakan Indonesia bersifat protektif sebetulnya merupakan bentuk proyeksi dari kekhawatiran korporasi global terhadap potensi kehilangan pangsa pasar.
Meski demikian, ia menyampaikan proteksi dalam arti melindungi kedaulatan sistem keuangan nasional adalah hal yang wajar, dan bahkan wajib dilakukan oleh negara manapun yang serius membangun kemandirian ekonominya.
"Indonesia tetap terbuka terhadap investasi dan kerja sama internasional. Namun, keterbukaan itu harus diletakkan dalam kerangka yang tidak mengorbankan kepentingan nasional jangka panjang," jelasnya.
Achmad menyampaikan ketika BI menetapkan bahwa lembaga switching GPN harus berbasis di dalam negeri dan memiliki lisensi lokal, itu adalah bentuk tanggung jawab negara untuk memastikan kontrol dan transparansi dalam pengelolaan sistem pembayaran domestik. ini harus dipertahanakan karena terkait kepentingan nasional.
Ia menambahkan bahwa perusahaan asing tetap bisa berpartisipasi, namun harus melalui kemitraan strategis dengan entitas lokal dan mendukung transfer teknologi. Ini adalah mekanisme yang adil dan berorientasi pada penguatan kapasitas dalam negeri, bukan semata-mata eksklusivitas.
Untuk itu, Achmad menyampaikan hal pertama yang dapat dilakukan oleh BI bisa membuka ruang konsultasi terbatas dengan perusahaan asing tanpa mengorbankan prinsip kebijakan.
"Misalnya, mengizinkan partisipasi asing dalam pengembangan teknologi QRIS dengan syarat transfer pengetahuan dan penggunaan server lokal," jelasnya.
Achmad menyampaikan hal kedua, pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi untuk menjelaskan bahwa QRIS bukan hambatan, tetapi peluang kolaborasi.
"Standar QRIS bisa dipromosikan sebagai model bagi negara berkembang lain, sehingga perusahaan AS yang ingin ekspansi ke Asia Tenggara harus beradaptasi dengannya," tuturnya.
BACA JUGA:
Achmad menyampaikan hal ketiga, Indonesia bisa mengadopsi pendekatan interoperabilitas bertahap seperti, memastikan QRIS kompatibel dengan sistem pembayaran regional seperti SGQR (Singapura) atau PromptPay (Thailand) terlebih dahulu, sebelum melangkah ke integrasi global.
"Langkah ini akan mengurangi kekhawatiran AS sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah internasional," tegasnya.
Achmad menyampaikan QRIS dan GPN adalah representasi dari semangat Indonesia untuk membangun sistem pembayaran yang inklusif, efisien, dan berdaulat.
"Kritik dari AS adalah hal yang wajar dalam dinamika perdagangan global, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk mundur dari agenda nasional," ucapnya.
Menurutnya justru, inisiatif ini harus diperkuat agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga pemain utama dalam ekonomi digital global.
"Menyerahkan kontrol QRIS kepada pihak luar negeri adalah bentuk pengabaian terhadap kedaulatan ekonomi dan keamanan data rakyat. Maka, di sinilah kita harus berdiri tegak: menjaga kemandirian dengan tetap menjalin kerja sama yang adil dan berimbang," tutupnya.