Bagikan:

JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto berencana menghapus sistem kerja outsourcing atau alih daya di Indonesia. Namun sejumlah pengamat meminta presiden menghitung benar untung rugi penghapusan sistem outsourcing. 

Rencana tersebut ia kumandangkan di hadapan ribuan buruh saat peringatan May Day atau Hari Buruh Internasional 2025 di Jakarta pada 1 Mei lalu. Prabowo mengklaim akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan meminta mereka melakukan kajian atas tuntutan penghapusan outsourcing.

"Saya akan meminta Dewan Kesejahteraan Nasional mempelajari bagaimana caranya kita kalau bisa, tidak segera, tapi secepat-cepatnya kita ingin menghapus outsourcing," kata Prabowo.

Pengamat ekonomi menyebut ada sisi positif dan negatif yang harus dipertimbangkan sebelum menghapus outsourcing. Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan, sistem outsourcing seharusnya sejak lama dihapus, karena merugikan pekerja. 

Namun pendapat lain menyebutkan, penghapusan sistem outsourcing tanpa perhitungan yang tepat justru bisa memperbesar gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK. Di tengah gelombang PHK dan ekonomi yang tengah lesu, wacana penghapusan outsourcing bisa memunculkan masalah lain.

Presiden Prabowo Subianto melempar topi usai menyampaikan pidatonya pada perayaan Hari Buruh Internasional 2025 di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Dalam pidatonya Prabowo menyampaikan akan membentuk Satgas PHK, meloloskan RUU perlindungan pekerja rumah tangga, serta berusaha memberantas korupsi di Indonesia. (ANTARA/Muhammad Adimaja/tom/pri)

Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, angka PHK pada 2022 mencapai lebih dari 25.000 orang. Angka ini naik dua kali lipat lebih menjadi 64.855 pada 2023, dan makin melonjak menjadi 77.965 pada 2024. 

Menjadi Dalih Efisiensi

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebut outsourcing adalah jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau di luar usaha inti (core business) suatu perusahaan. Sektor yang diizinkan menggunakan jasa oursourcing adalah usaha pelayanan kebersihan atau cleaning service, catering, petugas keamanan/satpam, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, sopir.

Selepas pidato Prabowo saat May Day 2025, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli langsung menyiapkan aturan baru terkait outsourcing untuk menindaklanjuti arahan Prabowo. Regulasi itu akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

"Kebijakan Presiden yang disampaikan pada perayaan May Day 2025 terkait outsourcing tentunya akan menjadi kebijakan dasar dalam penyusunan Peraturan Menteri tentang outsourcing yang saat ini sedang disusun," kata Yassierli dalam keterangan resmi.

Menanggapi rencana tersebut, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mencoba menganalisis dampak dari rencana Presiden Prabowo. Langkah ini, kata Huda, bisa dijadikan alasan perusahaan melakukan efisiensi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sistem outsourcing yang diaplikasikan selama ini memungkinkan perusahaan mendapatkan tenaga kerja yang dibayar harian, tanpa memberikan perlindungan sosial kepada tenaga kerja.

“Maka ketika Presiden mengatakan akan menghilangkan sistem outsourcing, tantangan akan didapatkan dari sisi pengusaha yang akan menentang penghapusan outsourcing ini karena mereka selama ini menikmati keuntungan dari sistem outsourcing,” ujar Huda ketika dihubungi VOI.

Huda menegaskan, skema outsourcing memang seharusnya dihapus sejak lama karena sistem ini membolehkan perusahaan memberikan upah murah, buruh dibayar harian tanpa memberikan perlindungan sosial, mendapatkan upah buruh murah. Ketika dihapus, ini bisa menjadi dalih perusahaan melakukan efisiensi atau PHK. 

“Jika dihilangkan, maka perusahaan pasti akan mengurangi biaya yang ujung-ujungnya ancaman pemecatan. Jadi memang harus dihilangkan, namun tantangannya tetap ada dan berpotensi mengganggu jalannya ekonomi kita,” kata dia.

Salah satu jalan yang bisa menghilangkan sistem outsourcing adalah merevisi UU Cipta Kerja, terutama bagian ketenagakerjaan. Sebab, sistem outsourcing di Indonesia penuh ketidakjelasan terkait dengan jenis pekerjaan yang diperbolehkan hingga perlindungan tenaga kerja outsource-nya sendiri.

"Revisi UU Cipta Kerja saya rasa menjadi pintu masuk untuk menghilangkan praktik outsourcing ini. Sekaligus memberikan insentif bagi daya beli sehingga dunia usaha juga diuntungkan," kata Huda lagi.

Bukan Solusi

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan, pemerintah harus mempertimbangkan sisi positif dan negatif sebelum menghapus outrourcing.

Menghapus outsourcing memang bisa memperkuat perlindungan pekerja, namun di sisi lain dunia kerja memiliki banyak kepentingan dan variabel terlibat. Sistem outsourcing yang sudah lama hadir di Indonesia dinilai sebagai solusi fleksibilitas tenaga kerja bagi perusahaan, terutama sejak krisis ekonomi 1998.

Perusahaan yang mengalami kesulitan waktu itu ingin menghindari beban jangka panjang seperti pesangon besar, kewajiban jaminan nasional, dan lain-lain. Dengan adanya sistem outsourcing ini, perusahaan bisa "menyewa" tenaga kerja tanpa terikat secara langsung.

Sayangnya, praktik ini sering disalahgunakan. Buruh outsourcing seringkali tidak mendapat upah layak, jaminan sosial minim, dan sangat mudah diberhentikan tanpa pesangon.

Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan saat acara Jakarta Job Fair di Gor Cilandak Barat, Jakarta. (ANTARA/Muhammad Iqbal/agr/pri)

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, menghapus outsourcing menurut Rendy bukanlah solusi. Jika sistem outsourcing dihapus, pekerja yang saat ini bekerja melalui cara tersebut akan kehilangan pekerjaan. Sehingga, yang harus dibenahi adalah mengatur cara kerja.

"Kalau outsourcing dihapus total, memang ada potensi gejolak. Perusahaan akan kehilangan fleksibilitas dan bisa jadi mengambil jalan pintas: PHK massal atau otomatisasi proses kerja," jelasnya.

Di negara lain, praktik outsourcing berhasil dilakukan karena pemerintah tak absen melakukan pengawasan. Selain itu, lingkup kerja dan besaran upahnya juga diatur ketat.

"Di banyak negara maju pun praktik ini ada, terutama di sektor-sektor non-core seperti cleaning service, keamanan, atau logistik. Tapi perbedaannya, di sana pengawasan ketat dan perlindungan buruh lebih dijamin. Di Indonesia, kelemahannya justru pada celah eksploitasi yang terbuka lebar," pungkasnya.