Bagikan:

JAKARTA – Silang pendapat terkait rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengirim anak nakal ke barak militer masih bergulir hingga kini.

Nama Dedi Mulyadi tengah menjadi pembicaraan hangat belakangan ini menyusul sejumlah kebijakan yang bikin gaduh. Mulai dari kewajiban vasektomi bagi pria berkeluarga yang ingin mendapat bantuan sosial, penghapusan wisuda di tingkat TK sampai SMA, sampai mengirim remaja nakal ke barak militer.

Untuk case terakhir ini, Dedi Mulyadi menyebut rencana tersebut adalah pendidikan karakter yang mulai dijalankan di beberapa wilayah di Jawa Barat yang dianggap rawan, bekerja sama dengan Tentara Negara Indonesia (TNI) dan Polri.

Peserta program, dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang sulit dibina atau terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas maupun tindakan kriminal, untuk diikutkan program pembinaan yang akan berlangsung enam bulan per siswa.

Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi meninjau peserta program pendidikan militer di Rindam III Siliwangi, Bandung. (YouTube)

"Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya," kata Dedi.

Pembentukan Karakter

Usulan Dedi yang satu ini jelas membuat gaduh. Dari sudut pandang psikolog anak Intan Erlita, M.Psi ide orang nomor satu di Jawa Barat tersebut bukan sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah.

Intan melihat ada kalanya mengirim remaja nakal ke barak militer diperlukan. Namun, ia menekan perlu ada terms and conditions untuk menjalankan gagasan ini, di antaranya adalah dengan memberikan level kenakalan mana yang perlu mendapat bimbingan lebih hingga ke barak militer.

“Jelas tidak semua anak nakal (dikirim ke barak militer) dan anak nakal ini kan general. Harus dilihat level nakalnya seperti apa,” ucap Intan kepada VOI.

“Misalnya menyontek, apakah level menyontek ini harus dikirim ke barak militer? Ini yang sebenarnya perlu dipikirkan lagi,” imbuhnya.

Untuk kasus kenakalan remaja seperti tawuran, bullying atau perundungan yang parah hingga menimbulkan korban, menurut Intan termasuk di antara yang memang perlu dikirim ke barak militer.

Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI Niko Fahrizal inspeksi pasukan peserta upacara Pendidikan Dasar Militer dan Pelatihan Manajerial Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) Batch 3 Tahun 2025 di Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) Iskandar Muda, Aceh Besar, Aceh, Senin (14/5/2025). (ANTARA/HO-Pendam IM/aa)

“Untuk kasus-kasus seperti ini, boleh saja. Karena artinya mereka memiliki masalah dengan karakter,” ucap Intan lagi.

Meski demikian, Intan menegaskan mengubah karakter anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu yang lama dan pengasuhan yang konsisten agar anak-anak yang dinilai tidak memiliki karakter yang baik berubah ke arah yang benar.

“Pembentukan karakter itu enggak bisa instan. Anak yang dikirim ke sana, harapannya bukan tempat anak nakal, tapi mengubah anak yang karakternya salah, begitu keluar memiliki karakter yang lebih baik,” jelasnya.

"Karena pada dasarnya, anakal adalah nakal pintar yang tidak tertangani dengan baik," kata Intan mengimbuhkan. 

Risiko Psikologis

Sementara itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menganggap rencana Dedi Mulyadi mengirim siswa bermasalah ke barak militer sangat berisiko secara psikologis.

Fahmi menyebut, siswa bermasalah tidak butuh pendekatan secara militer, melainkan pendekatan yang disesuaikan dengan masalah masing-masing anak dan pendampingan.

"Yang dibutuhkan siswa bukan barak, tapi ruang belajar yang memulihkan. Kalau yang bermasalah adalah sikap, maka pendekatannya harus bersifat pedagogis dan reflektif, bukan koersif,” kata Fahmi.

Ia menambahkan, masalah kenakalan remaja dalam bentuk tawuran, kecanduan game online, pembangkangan, hingga mabuk adalah masalah sosial yang bisa ditangani dengan pendekatan sipil, bukan militer.

Deklarasi anti tawuran dan kekerasan di SMAN 78 Jakarta yang diikuti oleh sebanyak 1.172 pelajar, Senin (24/2/2025). (ANTARA/HO-Polres Jakbar)

"Kenakalan remaja, dalam bentuk tawuran, mabuk, kecanduan game atau pembangkangan, bukan ancaman keamanan. Melainkan cerminan dari masalah psikososial yang kompleks dan memerlukan respons berbasis pendampingan, bukan penertiban,” ujar Fahmi lagi.

Meski demikian, Fahmi sepakat perlu pendisiplinan dalam membentuk karakter generasi muda. Namun, hal itu tidak perlu ditempuh dengan pendekatan militeristik. "Tapi pendisiplinan yang baik tidak harus ditempuh lewat pendekatan militeristik. Disiplin sejati lahir dari kesadaran, bukan ketakutan,” kata Fahmi.

Senada dengan Fahmi, pengamat pendidikan dari Universitas Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai kebijakan Dedi Mulyadi tidak tepat. Dalam dunia pendidikan, kata Cecep, penanganan masalah siswa tidak serta merta diserahkan ke lembaga lain.

“Anak nakal itu tidak bisa dipukul rata, setiap kasus punya latar belakang berbeda. TNI pun bukan solusi untuk semua jenis masalah," ucap Cecep.

Ia tak menampik kemungkinan niat baik Dedi Mulyadi membentuk karakter naik, namun menurutnya, pendekatannya bukan berupa wajib militer, melainkan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).

Hal ini diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2019 mengenai Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Cecep menjelaskan, PPBN berbeda dengan pelatihan militer, karena bentuknya lebih mirip dengan program resimen mahasiswa (Menwa) yang biasa ada di lingkungan kampus.