JAKARTA – Wacana mengembalikan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA mulai tahun ajaran 2025/2026 menunjukkan Indonesia tidak memiliki peta jalan pendidikan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti memastikan sistem penjurusan tersebut akan mulai berlaku tahun depan, menggantikan sistem fleksibel Kurikulum Merdeka yang dibuat Nadiem Makarim.
Mendikdasmen menuturkan, kembalinya penjurusan di jenjang SMA untuk menunjang pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA).
“Ini bocoran, jurusan akan kami hidupkan lagi, nanti akan ada jurusan IPA, IPS, dan bahasa,” kata Abdul Mu’ti saat diskusi dengan media di kantornya, Kemendikasmen di Senayan, Jakarta.
Wacana mengembalikan sistem penjurusan di jenjang SMA menjadi pertanyaan banyak kalangan. Maklum, baru tahun lalu sistem penjurusan dihapus, tepatnya di era Menteri Nadiem Makarim.
Penghapusan Penjurusan di Era Menteri Nadiem Makarim
Pada 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi menghapus jurusan IPA, IPS, dan bahasa di jenjang SMA mulai tahun ajaran 2024/2025.
Penghapusan sistem jurusan di SMA merupakan bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang diterapkan secara bertahap sejak 2021.
Kurikum Merdeka sendiri sudah ditetapkan di 50 persen satuan pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK pada 2022, kemudian menjadi 90-95 persen di tahun lalu.
Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Anindo Aditomo pada tahun lalu mengatakan, dengan menghapus penjurusan di SMA, Kurikulum Merdeka mendorong murid melakukan eksplorasi dan refleksi minat, bakat, dan aspirasi karier. Selain itu, ini juga memberi kesempatan untuk mengambil mata pelajaran pilihan secara lebih fleksibel.
Misalnya, murid yang ingin berkuliah di program studi teknik bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran matematika tingkat lanjut dan fisika, tanpa harus mengambil pelajaran biologi.

Anindito juga menyebut sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa adalah kebijakan yang merusak karena menciptakan diskriminasi.
"Kebijakan yang merusak. Akhirnya banyak yang salah jurusan (kuliah)," kata Anindito pada 25 Juli 2024.
Setahun berlalu, kebijakan penghapusan penjurusan pun berubah lagi, seiring dengan perubahan pejabat di kementerian ini.
Kata Mendikdasmen Abdul Mu’ti, dengan diterapkannya sistem penjurusan, maka saat ujian akhir atau yang sekararang disebut TKA, siswa dapat memilih mata pelajaran yang paling diminatinya. Mereka hanya diwajibkan mengikuti tes wajib yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
“Untuk mereka yang ambil IPA itu nanti dia boleh memilih tambahannya antara fisika, kimia, atau biologi. Untuk yang IPS juga begitu, dia boleh ada tambahan apakah itu ekonomi, sejarah, atau ilmu-ilmu lain yang ada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial,” kata Abdul Mu'ti.
Menghidupkan Kastanisasi
Keputusan Abdul Mu’ti mengganti kebijakan di awal kepemimpinannya memantik reaksi beragam di Kalanga masyarakat. Perhimpunan Pendidikan dan Guru atau P2G menganggap gonta-ganti kebijakan ini diambil secara buru-buru dan tanpa kajian evaluasi terhadap implementasi Kurikulum Merdeka yang baru seumur jagung.
"Format jurusan kan baru saja dihapus dalam Kurikulum Merdeka, kita belum lihat dampak dan efektivitasnya termasuk evaluasi Kurikulum Merdeka secara komprehensif belum ada. Menghidupkan kembali jurusan IPA/IPS terkesan tanpa kajian matang," ungkap Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim kepada VOI.
Satriwan tidak menutup fakta bahwa menghidupan kembali skema penjurusan di tingkat SMA memiliki aspek positif, salah satunya adalah sistem ini pernah diterapkan di Indonesia seperti di Kurikulum 2006, Kurikulum 2013, bahkan Kurikulum 1994.
Selain itu, dengan penjurusan IPA, IPS, Bahasa anak dapat fokus belajar ke dalam 1 kelompok rumpun ilmu pengetahuan secara spesifik. Misal anak jurusan IPA hanya fokus belajar matematika, biologi, kimia, dan fisika.
"Adanya penjurusan begini, anak diharapkan betul-betul belajar mendalam dan kompetensinya terbangun pada tiap mata pelajaran serumpun," lanjut Satriwan.
Namun, ia mencatat sejumlah dampak negatif ketika penjurusan di tingkat SMA dikembalikan, padahal penghapusannya juga baru tahun lalu.

Pertama, kata Satriwan, sistem ini akan menghidupkan kembali kastanisasi rumpun mata pelajaran. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, sistem penjurusan menimbulkan kesan bahwa siswa jurusan IPA lebih pintar dan pilihan, serta menjadi jurusan favorit.
"Ada labeling bahwa anak IPA itu paling pintar, adapun jurusan IPS anaknya biasa saja bahkan yang tak terpilih di IPA masuk IPS dan Bahasa, pilihan sisa, persepsi itu yang terbangun puluhan tahun," Satriwan menerangkan.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menyebut, penjurusan IPA, IPA, dan Bahasa tidak lagi relevan dengan perkembangan dunia keilmuan, dunia kerja, dan perubahan masyarakat global.
Menurut Iman, ilmu pengetahuan sudah bersifat multi dan interdisipliner.
"Penjurusan tiga kelompok itu rasanya agak jadul (obsolete), akan memilah kecerdasan anak secara absolut. Padahal tiap diri anak itu punya potensi multiintelegensia, punya minat bakat yang bersifat lintas disiplin," kata Iman.
Iman juga menerangkan bagaimana perubahan kebijakan pendidikan yang terkesan maju mundur di hampir setiap pergantian menteri pendidikan.
BACA JUGA:
Meski dilakukan gonta-ganti kebijakan, faktanya kebijakan anyar belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional, seperti kompetensi literasi, numerasi, dan sains yang konsisten rendah, bahkan makin buruk menurut tes program penilaian pelajar internasional (Programme for International Student Assessment/PISA).
Masalah fundamental lainnya, menurut Iman, adalah rendahnya rata-rata lama sekolah, banyaknya bangunan SD dalam keadaan rusak, empat juta lebih anak tidak sekolah, upah guru honorer yang jauh di bawah UMR, serta biaya pendidikan yang masih mahal.
"Diskontinyu dalam kebijakan pendidikan dapat berakibat tidak baik, sebab acuannya bukan ke RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) dan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045. Menyebabkan kebingungan masyarakat, guru, siswa, dan orangtua," ungkapnya.
Iman menegaskan, dengan kebijakan pendidikan yang berubah-ubah sesuai selera menteri, dan perubahan yang seolah biner atau kontras dari sebelumnya, justru akan menghambat upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
“Karena setiap lima tahun mulai dari nol lagi, tak ada keberlanjutan (discontinue). Lebih menyedihkannya, sekali lima tahun anak Indonesia akan selalu menjadi kelinci percobaan kebijakan pendidikan,” pungkasnya.