JAKARTA – Rasa simpati yang ditujukan Presiden Prabowo Subianto kepada keluarga pelaku tindak pidana korupsi menuai kecaman. Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan, ketidakadilan akibat kejahatan korupsi justru banyak dirasakan oleh masyarakat luas ketimbang koruptor dan keluarganya.
Dalam sebuah pertemuan dengan enam pemimpin redaksi di Hambalang, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025), Presiden Prabowo menyampaikan pandangannya saat ditanya terkait wacana memikiskan koruptor.
Ia menyatakan setuju dengan upaya penyitaan aset koruptor sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. Namun di sisi lain, Prabowo juga mengingatkan pentingnya memperhatikan aspek keadilan bagi keluarga pelaku korupsi, terutama anak dan istri yang tidak terlibat dalam kejahatan tersebut.
“Kerugian negara yang ia timbulkan, ya harus dikembalikan. Makanya aset-aset pantas kalau negara itu menyita,” ujar Prabowo.

Yang menjadi perhatian masyarakat luas adalah bagaimana Prabowo mencoba bersimpati kepada keluarga koruptor. Penyitaan aset, kata Prabowo perlu dilakukan secara adil dan proporsional. Ia tak mau tindakan hukum justru menyebabkan penderitaan bagi pihak yang tidak bersalah.
“Tapi kita juga harus adil kepada anak istrinya. Nah, kalau ada aset yang sudah milik dia sebelum dia menjabat, umpamanya, ya nanti para ahli hukum suruh bahas apakah adil anaknya menderita juga?” katanya.
Kepala Negara Abai terhadap Kejahatan Korupsi
Wacana memiskinkan koruptor sebagai efek jera sebenarnya telah digagas lebih dari satu dekade lalu. Namun sampai sekarang instrumen untuk memiskinkan koruptor yang perlu diperkuat lewat RUU Perampasan Aset tidak juga disahkan.
Padahal koalisi Prabowo yang mendominasi kursi di legislatif, yaitu lebih dari 80 persen. Artinya, jika memang memiliki komitmen tinggi, tidak susah bagi Prabowo memberantas korupsi dan memberi efek jera kepada koruptor dengan mendesak DPR untuk dapat memproses RUU yang sudah digagas sejak 2012.
Yang ada malah RUU Perampasan Aset ini tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025.
ICW menilai simpati Presiden Prabowo terhadap keluarga koruptor salah sasaran. Simpati tersebut, menurut peneliti ICW Wana Alamsyah, patut dipandang sebagai pernyataan kepala negara yang abai terhadap kondisi faktual dan aktual dari perkembangan kejahatan korupsi di Indonesia.

“Prabowo perlu melihat kenyataan bahwa di Indonesia, ketidakadilan justru banyak dirasakan oleh korban korupsi (masyarakat luas) ketimbang oleh koruptor dan keluarganya,” kata Wana dalam keterangan yang diterima VOI.
Semasa kampanye pemilihan presiden beberapa waktu lalu, Prabowo kerap menyatakan perang terhadap korupsi. Pernyataan tersebut bahkan disampaikan dengan berapi-api. Mantan Menteri Pertahanan itu juga seharusnya bisa melihat bahwa korupsi adalah kejahatan white-collar crime yang basis motivasinya adalah akumulasi kekayaan saat ini ditangani dengan sistem hukum yang belum mencerminkan efek jera dan daya cegah.
“ICW menilai simpati Presiden Prabowo Subianto terkait penyitaan aset keluarga koruptor merupakan bentuk pemakluman terhadap tindakan korupsi dan kejahatan pencucian uang. Padahal, korupsi kerap melibatkan keluarga,” tegas Wana.
Pemberantasan Korupsi Alami Kemunduran
Dalam berbagai kasus korupsi yang diungkap penegak hukum, modus memanfaatkan anggota keluarga untuk menempatkan dan menyamarkan uang kotor hasil korupsi lazim dilakukan. Ini salah satunya juga karena proses pengesahan RUU Perampasan Aset lambat diproses, sehingga menjadi momentum para koruptor mengamankan aset mereka ke anggota keluarga.
Hasil pantauan ICW terhadap Tren Penindakan Kasus Korupsi dari 2015-2023 diketahui terdapat 46 kasus korupsi yang melibatkan anggota keluarga. Total tersangka yang ditetapkan oleh penegak hukum ada sebanyak 87 orang. Sebanyak 44 persen atau 39 orang di antaranya merupakan anggota keluarga dari tersangka yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam konteks tindak pidana korupsi, keluarga koruptor seringkali terlibat langsung sebagai pihak yang juga melakukan korupsi (pelaku aktif), atau bisa juga erlibat secara tidak langsung sebagai pihak yang penampung atau penikmat hasil korupsi (pelaku pasif).
“Salah satu modus yang dilakukan yakni dengan melakukan pencucian uang untuk mengaburkan asal usul hasil korupsi,” kata Wana lagi.
BACA JUGA:
Selain itu, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga tidak maksimal digunakan oleh penegak hukum.
Berdasarkan catatan ICW terhadap kasus korupsi yang melibatkan keluarga, dari 46 kasus yang diproses, penegak hukum hanya mengenakan UU TPPU terhadap delapan persen atau empat kasus.
Selain itu, data Tren Vonis ICW pada periode 2019-2023, rata-rata pengembalian uang pengganti oleh koruptor ke kas negara hanya 13 persen dari total kerugian negara akibat korupsi yang mencapai Rp234,8 triliun. Dengan kata lain, pemerintah gagal dalam mengembalikan uang negara yang dicuri oleh koruptor.

“Padahal hari ini, pembahasan penegakan hukum korupsi semestinya naik kelas tidak hanya pada pengembalian kerugian negara tetapi juga pemulihan kerugian korban korupsi,” ucap Wana.
“Dengan adanya respons simpati dari Prabowo, hal ini mengindikasikan bahwa agenda pemberantasan korupsi ke depan akan berlangsung semakin mundur,” pungkasnya.