Bagikan:

JAKARTA – Bullying atau perundungan masih menjadi permasalahan yang dihadapi banyak anak di Indonesia. Tema ini pula yang diangkat dalam film animasi populer karya anak bangsa, Jumbo.

Film Jumbo berhasil menggebrak bioskop-bioskop Indonesia di momen Idulfitri. Sejak tayang perdana pada 31 Maret 2025, film yang disutradarai Ryan Adriandhy ini sudah tembus lebih dari dua juta penonton dan resmi menjadi film animasi Indonesia terlaris sepanjang masa.

Di tengah gempuran film horor yang bianya menjadi hiburan di periode Lebaran, kehadiran Jumbo produksi Visinema Studios memberikan warna berbeda bagi pecinta film Indonesia.

Benar saja, animasi yang dikerjakan oleh lebih dari 400 animator asli Indonesia ini langsung mencuri perhatian khalayak luas. Sampai dua pekan penayangannya di layar-layar lebar, Jumbo masih menjadi pembicaraan banyak orang.

Dan, Jumbo tidak hanya seru ditonton oleh anak-anak, tapi juga orang dewasa terutama orangtua. Ada begitu banyak pesan moril yang disisipkan dalam film ini.

Bullying masih menjadi mimpi buruk dunia pendidikan di Indonesia, karena angkanya hampir selalu mengalami peningkatan. (Antara)

Mengangkat Isu Perundungan

Film Jumbo tidak hanya menyuguhkan animasi berkelas, yang disebut setara dengan film-film animasi dunia karya Pixar, tetapi memberikan sederet pesan implisit yang membuat para penontonnya merenung.

Salah satu tema yang diangkat dalam film yang pembuatannya memakan waktu lima tahun ini adalah tentang isu perundungan. Isu bullying sampai sekarang oleh sebagian orang masih dianggap sebagai “bumbu” dalam dinamika sosial anak-anak.

Atau dengan kata lain, tak sedikit yang berpikir bahwa ejekan atau dorongan kecil adalah bagian dari proses menguatkan mental di anak.

Perundungan masih menjadi salah satu pekerjaan rumah di dunia pendidikan Indonesia. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, hingga Septemer 2024 tercatat ada 293 kasus kekerasan di sekolah.

Don, yang sering kena bully, selalu mendapat dukungan dari dua sahabatnya, Mae dan Nurman. (Instagram/@VisinemaStudios)

Kekerasan itu didominasi oleh kekerasan seksual yang jumlahnya mencapai 42 persen. Selain itu, ada perundungan 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan yang mengandung kekerasan enam persen.

Ubaid menuturkan, kasus kekerasan mengalami tren meningkat setiap tahunnya. Menurut data yang dihimpun JPPI, jumlah kasus di tahun 2024 melebihi total kasus di 2023, yaitu sebanyak 285 kasus.

Jumbo sendiri bercerita tentang laki-laki bernama Don, anak 10 tahun yang yatim piatu, yang mendapat perundungan dari teman sebayanya. Don diceritakan diremehkan oleh teman-temannya karena tubuhnya yang besar sampai sering diejek jumbo.

Ia juga dikucilkan dan dianggap lambat melakukan berbagai hal. Akibatnya, Don sering tak diajak bermain oleh teman-temannya. Alih-alih membalas ejekan teman, Don memilih cara lain untuk buktikan diri. Ia memilih sebuah lomba pertunjukan bakal untuk membuktikan kemampuannya.

Butuh Peran Aktif Lingkungan Sekitar

Bullying memang masih menjadi mimpi buruk dunia pendidikan. Mengutip laman Universitas Airlangga (UNAIR), bullying adalah pola kekerasan yang berulang dalam hubungan antar individu atau kelompok. Biasanya, ada pihak yang lebih kuat sebagai pelaku dan pihak yang lebih lemah sebagai korban. 

Ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental UNAIR Margaretha mengatakan, untuk mengantisipasi bullying harus ada peran aktif dari lingkungan sekitar, seperti teman, guru, atau orangtua. Lingkungan harus peka dan berani membantu korban, serta menghentikan tindakan perundungan.

“Jangan biarkan korban sendirian menghadapi bullying. Lingkungan harus bersikap tegas dan memberi sanksi kepada pelaku,” ujarnya.

Di film Jumbo, Don mendapat dukungan dari Oma dan kedua sahabatnya, Nurman serta Mae, yang selalu membantunya di setiap kesulitan, termasuk ketika dia tidak diajak bermain oleh teman-temannya yang lain.

Korban perundungan, menurut Margaretha, juga perlu mendapat dukungan psikologis supaya lebih mampu menyatakan batas-batas secara sehat. Korban juga harus dilatih untuk bersikap asertif, yaitu berani menghadapi pelaku untuk menghentikan ejekan secara efektif.

“Jika ada jokes yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri, saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Korban perlu berani bilang stop, saya nggak suka kamu ngomong kayak gitu,” Margaretha menjelaskan.

“Atau korban berusaha mengubah pemikirannya dalam menghadapi kata-kata negatif yang selama ini membuat tidak enak; misalkan bilang ke diri sendiri – kata-kata itu tidak akan melukai saya, saya akan lebih kuat. Atau ketika upaya asertif belum berhasil, korban juga perlu menentukan batasan tentang kapan dan kemana mencari bantuan.” imbuhnya.

Dari film Jumbo kita belajar, bahwa perundungan tidak harus selalu dibalas dengan kekerasan, melainkan membuktikannya lewat kelebihan yang dimiliki. Don juga mengajarkan kita untuk jangan pernah membiarkan orang lain meremehkan kita dan menjadikan hinaan sebagai motivasi untuk bersinar.