JAKARTA – Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyebut, pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait rencana penghapusan kuota impor disalahartikan sejumlah kalangan. Khudori menilai, statement tidak bisa secara mentah-mentah diartikan membuka keran impor seluas-seluasnya karena ini bertentangan dengan semangat swasembada yang diusung Astacita.
Wacana penghapusan kuota impor di berbagai sektor industri, terutama yang menyangkut kehidupan banyak orang, kata Presiden Prabowo Subianto, merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha dan untuk merampingkan birokrasi.
Selain itu, penghapusan kuota impor juga menjadi salah satu cara Prabowo merespons reciprocal tariffs sebesar 32 persen yang ditetapkan pemerintah Amerika Serikat untuk Indonesia.

“Saya minta, ada menteri pertanian, menteri perdagangan, gak usah ada kuota-kuota (impor) apalagi semua. Engga ada kuota-kuota itu,” tegas Presiden Prabowo dalam Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
“Siapa yang mau impor, silakan, bebas. Tidak lagi kita tunjuk-tunjuk, hanya ini yang boleh, itu tidak boleh,” kata Prabowo mengimbuhkan.
Pertanyakan Retorika Swasembada Pangan
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus kuota impor mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mempertanyakan rencana tersebut.
Menurutnya, kebijakan ini bertentangan dengan semangat swasembada pangan yang selama ini menjadi program pemerintah. Jika wacana ini menjadi kenyataan, Syafruddin menilai publik bakal mempersoalkan retorika Prabowo dengan praktik kebijakan.
“Sulit dipercaya bahwa Presiden Prabowo, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang vokal menentang neoliberalisme dan dominasi asing, akan mengambil langkah yang kontradiktif seperti menghapus kuota impor secara sepihak,” kata Syafruddin, mengutip Tempo.
Penghapusan kuota impor terutama untuk komoditas strategis seperti kedelai, gula, atau beras, secara langsung bertentangan dengan semangat swasembada pangan yang tercantum dalam visi misi pemerintah dan pidato Prabowo di berbagai kesempatan.
Swasemba pangan, menurut Syafruddin, lebih dari sekadar ketersediaan stok. Ini soal kemampuan bangsa memenuhi kebutuhan dasar sendiri tanpa ketergantungan berlebihan pada negara lain.

“Jika kebijakan impor dibuka tanpa kontrol, maka yang terjadi bukan penguatan ketahanan, melainkan pembiaran terhadap runtuhnya ekosistem pertanian nasional,” jelasnya.
Ia pun menjelaskan lebih rinci mengenai ambruknya ekosistem yang dimaksud. Di antaranya adalah petani yang kehilangan insentif untuk menanam, pasal lokal dibanjiri produk asing, dan harga komoditas domestik bakal jatuh.
Jika dibiarkan, dalam jangka panjang ini akan melemahkan fondasi pangan nasional dan malah menjauhkan Indonesia dari impian besar menjadi bangsa yang berdikari di sektor pangan.
Syafruddin menambahkan, agar swasembada pangan benar-benar tercapai alias bukan sekadar slogan kampanye, pemerintah perlu melakukan reformasi menyeluruh di sektor pertanian, peningkatan produktivitas melalui teknologi dan infrastruktur, serta proteksi cerdas yang disertai evaluasi kinerja.
Rezim Kuota Suburkan Korupsi
Di sisi lain, pengamat pertanian Khudori mengatakan pernyataan sejumlah pihak yang memaknai perintah Presiden Prabowo Subianto ini sebagai langkah untuk membuka impor seluas-luasnya, impor tidak perlu lagi diatur-atur alias dibebaskan, tidak ada lagi kuota, dan diserahkan kepada mekanisme pasar adalah salah tafsir.
Ia menegaskan pernyataan Presiden Prabowo harus dibaca sebagai perintah untuk tetap melindungi produsen dalam negeri tanpa harus menggunakan instrumen kuota.
“Jika perintah presiden dimaknai demikian, bukankah itu bertolak belakang dengan semangat kemandirian, semangat swasembada yang diusung Asta Cita? Bukankah Presiden juga berulangkali bilang dunia menuju proteksionisme,” ucap Khudori dalam keterangan yang diterima VOI.
"Dalam konteks pangan, tentu bagaimana melindungi petani, peternak, pekebun, dan nelayan dari produk impor yang mematikan tanpa menggunakan kuota," imbuhnya.
BACA JUGA:
Harga pangan domestik seringkali dianggap lebih mahal dibanding barang impor, yang kemudian menjadi dalih memuluskan impor. Namun, anggapan ini harus dibaca hati-hati. Karena di balik dalih itu, kehidupan jutaan petani, peternak, pekebun, dan nelayan dipertaruhkan.
“Hemat saya, perintah Presiden harus dimaknai para pembantunya di kabinet ihwal perlunya mencari instrumen selain kuota untuk melindungi produsen domestik, termasuk memastikan kecukupan pangan,” ujarnya.
Pasalnya, sistem kuota impor pangan seringkali tidak transparan dan malah menjadi ajang favoritisme kelompok tertentu dan menganaktirikan kelompok lain. Khudori mencontohkan importasi bawang putih yang akhir-akhir ini mendapat protes karena dinilai hanya diberikan ke kelompok tertentu. Sementara importir yang telah berpuluh tahun berbisnis bawang putih tidak mendapat jatah impor selama 2-3 tahun terakhir.
"Dan jangan lupa, rezim kuota juga menyuburkan korupsi. Korupsi berulang di sektor pangan yang telah dihukum mayoritas terjadi karena rezim kuota," Khudori menjelaskan.

Ia membeberkan sederet kasus korupsi importasi pangan yang menyeret para pejabat. Mulai dari kasus mantan anggota DPR dari PDIP, Nyoman Dhamantara, dalam pengurusan kuota impor bawang putih pada 2019.
Lalu Ketua DPD Irman Gusman yang tertangkap tangan menerima suap Rp100 juta dalam penentuan kuota impor gula. Serta penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam suap impor daging sapi pada 2013. Terkini, sidang eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong terkait kuota impor gula.
"Dari tiga kasus korupsi terkait kuota impor pangan, praktik ini melibatkan tiga pihak: pengusaha sebagai penyuap, birokrat sebagai pemberi izin impor atau kuota, dan politikus yang memperdagangkan pengaruh. Jadi, sebenarnya kasus korupsi dalam impor pangan salah satunya berurat akar dari kebijakan pengendalian impor berbasis rezim kuota," pungkasnya.