JAKARTA – Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengatakan pemerintah tengah mengkaji untuk merelaksasi ketentuan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri atau TKDN. Besarannya pun masih belum final karena masih akan dikaji antara berbagai pihak.
"Iya masih dalam kajian (relaksasi TKDN), jadi sebelum itu resmi disampaikan pada pihak AS tentu belum bisa diumumkan," kata Faisol.
Presiden Prabowo Subianto akhirnya memberikan respons terhadap tarif resiprokal yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang dikenai tarif 32 persen. Hal ini disampaikan dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Senayan, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Dalam pertemuannya dengan pelaku usaha, Pemerintah Indonesia menyatakan telah menyiapkan beberapa paket negosiasi. Pertama, Indonesia bakal mengajukan revitalisasi perjanjian kerja sama perdagangan dan investasi atau Trade & Investment Framework Agreement (TIFA).

Kedua, Pemerintah akan memberikan proposal deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui relaksasi TKDN di sektor teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian, evaluasi terkait pelarangan dan pembatasan barang-barang ekspor maupun impor AS.
Solusi ketiga yang coba dibawa Indonesia yaitu meningkatkan impor dan investasi dari AS lewat pembelian migas.
Kemudian keempat, Pemerintah menyiapkan insentif fiskal dan non-fiskal melalui beberapa strategi seperti penurunan bea masuk, PPh impor, atau PPN impor untuk mendorong impor dari AS serta menjaga daya saing ekspor ke AS.
TKDN Realistis
TKDN merupakan kebijakan yang dirancang untuk mendorong penggunaan produk lokal dalam berbagai sektor industri di Indonesia. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat kemampuan industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Namun, tak jarang kebijakan TKDN justru dinilai menghambat investasi. AS menjadi salah satu negara yang vokal menyuarakan kritiknya terhadap kebijakan ini. Negeri Paman Sam menekankan keberatannya terhadap kebijakan persyaratan konten lokal di berbagai sektor yang diterapkan Indonesia.
Salah satu contoh regulasi TKDN yang dianggap merugikan AS adalah ketika Apple tidak bisa menjual iPhone 16 karena mereka tidak memiliki konten lokal yang cukup. Keberatan terhadap TKDN bahkan dilontarkan langsung oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent pada 13 Februari 2025.

Sebagai respons atas kebijakan tarif resiprokal AS, salah satu upaya yang dipertimbangkan pemerintah Indonesia adalah deregulasi non-tariff measures lewat relaksasi TKDN, terutama atas permintaan produk IC AS, seperti Apple, Oracle, hingga Microsoft.
Meski mengaku kebijakan TKDN diberlakukan demi kebaikan bangsa, Presiden Prabowo Subianto meminta jajaran kabinetnya realistis. Ia khawatir memaksakan TKDN justru berpotensi menurunkan daya saing industri.
"Tapi kita harus realistis, TKDN dipaksakan akhirnya kita kalah kompetitif. TKDN fleksibel saja lah, mungkin diganti dengan insentif," kata Prabowo dalam sesi dialog pada acara Sarasehan Ekonomi Selasa (8/4/2025).
Ancam Ekosistem Industri Teknologi
Pernyataan Presiden Prabowo mengenai relaksasi TKDN mendapat beragam respons. Head of PR Asus Indonesia Muhammad Firman menuturkan, dari sisi pengusaha kebijakan relaksasi atau bahkan menghapuskan kewajiban TKDN sebesar 40 persen di satu sisi memudahkan pihaknya saat melakukan produksi.
“Kalau memang tidak diperlukan lagi TKDN, atau tidak perlu 40 persen, tentunya akan memudahkan kita dari sisi produksi, karena cukup mengimpor saja secara utuh,” kata Firman.
Namun si sisi lain, dia menilai kebijakan relaksasi TKDN ini justru tidak menguntungkan bagi Indonesia. Kebijakan ini, menurut pengamatan Firman, bakal membuat ekosistem industri teknologi di Indonesia ke depannya kurang berkembang.
“Kami melihat ini (relaksasi TKDN) cenderung kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekosistem industri teknologi di Indonesia ke depannya,” ucapnya.
BACA JUGA:
Selaras dengan Firman, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga menyoroti rencana relaksasi TKDN yang berisiko membuat pabrik perangkat information and technology industries (ICT) tutup dan hengkang dari Indonesia.
Sebagaimana diketahui, beberapa produsen ponsel global sudah memiliki pabrik di Indonesia sebagai syarat menjual produk milik mereka ke pasar dalam negeri.
Perusahaan-perusahaan yang taat terhadap regulasi sebelumnya memandang wacana relaksasi TKDN ini sebagai ancaman, karena artinya pesaing bisa mengimpor produk tanpa perlu membangun manufaktur di Indonesia.
“Bagi perusahaan atau negara yang sudah berinvestasi di Indonesia, relaksasi aturan TKDN memang tidak memberikan perlakuan yang setara. Mereka bisa saja mencabut pabrik manufaktur dari Indonesia dan memutuskan mengimpor barang secara langsung,” jelas Huda kepada VOI.

Relaksasi TKDN bagi produk ICT, menurut Huda, memang dapat dipertimbangkan, mengingat dinamika yang terjadi, seperti kasus tarik ulur dengan Apple yang telah menyita banyak energi.
Apalagi, pemerintah ingin mendorong pengembangan produk ICT dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk luar. Namun, tantangan besar seperti keterbatasan infrastruktur, bahan baku, hingga sumber daya manusia yang ada di Indonesia, membuat iklim usaha di sektor teknologi belum sepenuhnya berkembang.
“Kebijakan TKDN tetap perlu dipertahankan, namun memang aturannya perlu direlaksasi. Misalkan perusahaan harus membangun manufaktur dalam jangka waktu tertentu,” pungkasnya.