Bagikan:

JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto meminta kementerian dan lembaga (K/L) melakukan efisiensi anggaran pada 2025. Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN serta APBD Tahun Anggaran 2025.

Presiden Prabowo memerintahkan langkah pengurangan anggaran pada kegiatan yang dianggap mendesak, termasuk perjalanan dinas, kegiatan seremonial, rapat, seminar, pengadaan barang, dan sebagainya. Pemerintah ingin anggaran negara lebih fokus digunakan untuk pembangunan dan peningkatan layanan publik.

Pemerintah juga berupaya menjaga stabilitas fiskal tanpa harus menambah beban utang negara.

Total anggaran yang dipangkas ditaksir mencapai Rp306,69 triliun dari total belanja negara 2025 yang sebesar Rp3.621,3 triliun, dengan rincian anggaran belanja kementerian/lemgaga Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun.

Presiden Prabowo Subianto berfoto bersama para menteri Kabinet Merah Putih. (ANTARA/Hafidz Mubarak A)

Makan Bergizi Gratis (MBG) disebut sebagai biang kerok munculnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Demi membiaya MBG yang menelan biaya super besar, pemerintah mesti memutar otak mencari dananya.

Dan hal ini juga dibenarkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, bahkan pemangkasan anggaran sebesar Rp306 triliun oleh Presiden Prabowo dilakukan untuk membiayai kebijakan yang dirasakan langsung oleh masyarakat, misalnya MBG.

Mengancam Perekonomian Daerah

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, pemangkasan anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo memiliki dampak cukup signifikan terutama di level pemerintah daerah.

Efisiensi anggaran, kata Bhima, adalah sebuah kontradiksi, karena di satu sisi nomenklatur kementerian/lembaga tidak diubah. Kabinet Merah Putih bentukan Presiden Prabowo bahkan disebut termasuk yang paling gemuk sejak era reformasi.

“Bayangkan, kementerian/lembaganya masih banyak tapi ada efisiensi anggaran. Ini bisa mengancam ekonomi dan serapan tenaga kerja, efisiensi yang dilakukan secara brutal juga bisa berdampak pada program-program di luar MBG,” kata Bhima kepada VOI.

Bhima juga menyoroti kebijakan pemerintah memangkas rapat-rapat maupun perjalanan dinas. Padahal di beberapa kementerian/lembaga, seperti misalnya Kementerian Pertanian, perlu melakukan hal ini untuk menjalankan hilirisasi produk pertanian.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (ANTARA/Aditya Pradana Putra/tom/am.)

“Kan harus koordinasi pemerintah daerah, itu artinya efisiensi bisa mengganggu tercapainya program dan akan membuat pertumbuhan ekonomi 2025 4,7 persen,” katanya.

“Ini juga harusnya jadi kajian pemerintah sebelum melakukan efisiensi anggaran, apalagi efisiensinya untuk MBG, yang kita tahu dampak MBG tidak sebesar itu dirasakan dan keterlibatan UMKM masih minim,” Bhima menambahkan.

Pemangkasan dana transfer daerah, seperti yang tercantum dalam Inpres tersebut, juga berpotensi mencederai semangat desentralisasi fiskal di era otonomi daerah. Mengingat kapasitas fiskal daerah yang berbeda-beda, pemerintah dengan APBD terbatas atau pemerintah daerah yang baru mengalami pemekaran, perekonomian di daerah tersebut akan makin menderita dengan adanya pemangkasan tersebut, menurut Bhima.

“Efeknya di daerah pelayanan publik memburuk, pemangkasan tenaga honorer, tenaga kontrak di pemerintah daerah, pelayanan publik terganggu, infrastruktur daerah yang penting tertunda atau bahkan dihentikan total. Apakah hal ini sudah dipikirkan sebelumnya?” tegas Bhima.

Seperti Mata Pisau

Sementara itu, peneliti bidang ekonomi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan melihat dua sisi rencana pemangkasan anggaran ini. Di satu sisi kebijakan ini adalah upaya pemerintah mengurangi beban utang.

“Di tengah situasi pendapatan perpajakan itu sangat rendah tahun lalu hanya tercapai realisasi sekitar 97 persen dari target. Penghematan ini diharapkan bisa mengurangi penarikan utang baru yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem dan kebijakan fiskal kita,” ujarnya.

Kebijakan ini juga menjadi sinyal positif dan momentum bagi kementerian/lembaga dan instansi lain mengencangkan ikat pinggang supaya tidak menghamburkan anggaran untuk kegiatan yang kurang bermanfaat.

Namun, ia masuknya pos infrastruktur yang masuk dalam rencana pemangkasan anggaran menurut Abdul perlu menjadi perhatian. Menurutnya, ini cukup mengkhawatirkan karena anggaran infrastruktur dinilai paling memberikan stimulus untuk ekonomi daerah di antaranya melalui penyerapan tenaga kerja.

“Tenaga kerja yang diserap itu biasanya bukan yang formal tapi informal gitu ya, pekerja-pekerja lepas. Dan mereka itu sangat berharap dari proyek-proyek pemerintah ini terutama dari infrastruktur gitu. Nah mudah-mudahan yang dihemat itu bukan dari pembangunan infrastrukturnya tapi perawatan-perawatannya,” kata Abdul.

Sektor lain yang berpotensi terdampak dari efisiensi anggaran adalah perhotelan, mengingat Presiden Prabowo juga menginstruksikan pemangkasan anggaran seremonial, rapat, hingga perjalanan dinas.

Padahal data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat, perjalanan dinas pemerintah memiliki sumbangan besar terutama untuk sektor bintang tiga dan empat, dengan market share sebesar 40 persen.

Bahkan di daerah-daerah seperti Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, hingga Papua, kontribusi kegiatan perjalanan dinas pemerintah bisa mencapai 70 persen.

“Saat ini langkah yang harus dilakukan oleh perhotelan itu ya, memaksimalkan kerjasama dengan kementerian pariwisata untuk memacu wisatawan asing atau dalam negeri ke hotel mereka gitu, agar pengurangan dari kegiatan di kementerian/lemgaga itu bisa menutupi lewat peningkatan dari wisatawan ini,” pungkasnya.