Bagikan:

JAKARTA – Akses dan infrastruktur fasilitas kesehatan yang tidak merata membuat survival rate atau tingkat kesintasan kanker pada anak di Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara maju. Ketua Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Eddy Supriyadi mengaku sering memukan kanker sudah memasuki fase stadium akhir pada pasien anak.

Jumlah anak Indonesia berusia 0-14 tahun yang menderita kanker cukup tinggi. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Agensi Internasional untuk Riset Kanker (IARC) memperkirakan ada 8.677 anak Indonesia di usia tersebut yang menderita kanker pada 2020.

Jumlah ini menjadi yang tertinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara.

Kanker merupakan salah satu dari sembilan layanan jenis penyakit prioritas dengan angka kesakitan dan kematian tertinggi secara nasional yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Sejumlah anak penyandang kanker bersiap menaiki LRT Jakarta saat berlangsungnya kegiatan pemberdayaan komunitas rentan dengan tema Ceriamu Ceriaku Bersama Kelompok Rentan di Jakarta, Senin (24/7/2023). (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/tom/am)

“Namun seringkali penderita kanker datang dalam kondisi yang sudah terlambat, jumlah kanker pada anak mengalami peningkatan setiap tahunnya disebabkan sulitnya mendeteksi kanker pada anak,” ujar dr. Dita Windarofah, Sp.A. M.Sc pada 2023.

Kurangnya Fasilitas Sebabkan Keterlambatan Deteksi

Pernyataan itu diamini dr. Eddy Supriyadi. Pasien kanker pada anak seringkali ditemukan saat memasuki fase stadium akhir, sehingga sulit ditangani penyembuhannya.

“Kalau di kita itu ya pada anak-anak nggak tahu ya, karena sebabnya apa, biasanya kita mendapatkan pada late stage. Jadi kalau ada stadium, misalnya stadium kita bagi 4, kita pasti hampir pasti atau kebanyakan, di stadium 3 dan 4,” kata Eddy dalam diskusi daring mengenai bertajuk “Kanker pada Anak: Kenapa Menjadi Penting?”, Selasa (4/2/2025).

Karena datang dalam kondisi pasien sudah stadium akhir, tingkat survival rate atau tingkat kelangsungan hidup kanker pada anak di negara berkembang seperti di Indonesia hanya sekitar 24 persen.

Angka ini jauh di bawah rata-rata negara maju yang tingkat kelangsungan hidupnya hingga 80 persen. Yang menjadi penyebab angka kelangsungan hidup pasien kanker di Indonesia tertinggal dari negara maju salah satunya karena infrastruktur kesehatan yang belum merata.

”Kenyataan bahwa hanya 20 persen kira-kira anak (kanker) selamat di negara-negara berkembang harus dihadapi. Dan apa yang menyebabkan kanker di Indonesia begitu menyedihkan? Karena memang infrastruktur kesehatannya belum merata,” katanya.

Orangtua perlu mengenali gejala kanker pada anak sehingga bisa terdeteksi sejak dini dan mendapat pengobatan yang benar. (Antara)

Wilayah seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat, kata Eddy, bahkan tidak memiliki fasilitas kanker, karena sebagian besar pusat layanan kanker tersebar di Pulau Jawa.

Selain itu, di Indonesia berbagai sarana dan prasarana masih belum mencukupi termasuk fasilitas fisik, anggaran, serta registrasi kanker anak. Supportive care atau layanan pendukung yang ideal untuk perawatan kanker pun masih kurang. Meski tidak didukung infrastuktur yang merata, Eddy menyebut perbaikan dalam pelayanan kanker pada anak harus terus ditingkatkan.

WHO menargetkan peningkatan angka kesintasan hidup penderita kanker anak secara global hingga 60 persen pada 2030. Sementara Indonesia, dengan kendala infrastruktur dan tenaga medis saat ini, menargetkan 50 persen pada 2030.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu meningkatkan edukasi masyarakat mengenai pentingnya kesadaran akan gejala kanker anak agar deteksi dini dapat dilakukan lebih efektif.

Mimpi Buruk Bernama Leukemia

Perlu diketahui, angka penyintas kanker pada anak yang tinggi di negara maju juga ditentukan karena faktor deteksi yang lebih baik. Fasilitas yang lebih memadai dan berkualitas menyebabkan deteksi bisa dilakukan lebih cepat, sehingga mendukung penanganan yang tepat dan cepat pula.

Melalui deteksi dini, kanker bisa segera terdiagnosis dan terapi bisa diberikan pada kondisi awal.

”Prognosis penyakit kanker yang bisa dikenali dini dan diterapi sejak awal tentu saja jauh lebih baik daripada penyakit kanker stadium akhir atau stadium lanjut. Program pemeriksaan kesehatan gratis oleh pemerintah diharapkan bisa menjadi salah satu momen untuk mendeteksi dini (penyakit) anak-anak,” tuturnya Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Piprim Basarah Yanuaro.

Tapi seperti yang telah disinggung sebelumnya, pasien kanker pada anak seringkali datang ke rumah sakit dalam kondisi sudah stadium akhir. Artinya, deteksi dini kanker pada anak masih rendah. Jumlah kasus kanker anak yang dilaporkan juga diyakini jauh dari jumlah estimasi kasus di Indonesia.

Setiap tahunnya, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 10.000 kasus baru kanker pada anak. Namun sistem registrasi anak atau IPCAR mencatat pada 2022 hingga 2023 hanya ada sekitar 2.000 kasus baru.

”Di mana sisanya? Mungkin mereka tidak sampai ke fasilitas kesehatan atau sudah meninggal di tengah jalan, atau didiagnosis dengan keliru. Masih banyak kemungkinannya,” Eddy menjelaskan.

Sementara itu, leukemia masih menjadi mimpi buruk bagi anak Indonesia. Penyakit ini diketahui berada di peringkat pertama sebagai jenis kanker yang paling banyak menyerang anak-anak, bahkan mencapai lebih dari separuh dari total kasus kanker pada anak di Tanah Air.

Tidak diketahui secara pasti mengenai penyebab tingginya kasus leukemia pada anak, meski ada banyak teori yang mencoba menjelaskannya, mulai dari dugaan paparan radiasi sampai pengaruh pestisida.

"Ada teori apakah karena radiasi, apakah karena chemical (bahan kimia), ada teori pestisida, bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa risiko anak terkena kanker lebih tinggi jika tidak mendapat ASI," ujar Eddy.