Bagikan:

JAKARTA - Terpilihnya Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menggantikan Mendikbudritek Nadim Makariem, melahirkan kebijakan baru. Sistem Penerimaan Murid Baru (SPBM) yang semula dengan sistem zonasi kembali berubah. Apakah perubahan ini bisa menyelesaikan masalah klasik yang selama ini ada?

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai penghapusan sistem zonasi justru memberikan lebih banyak mudarat bagi siswa. P2G ragu sistem yang baru ini akan menuntaskan persoalan pokok dan klasik yang terjadi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB selama ini.

Menteri baru, peraturan baru. Warga Indonesia sepertinya sudah sangat terbiasa dengan segala perombakan sebuah sistem ketika pergantian petinggi dilakukan. Sama seperti sekarang ini, ketika pemerintah kembali merombak sistem penerimaan siswa untuk tahun ajaran baru mendatang.

PPDB resmi berganti nama menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026, sebagaimana ditutukan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. Perubahaan ini hanya berlaku untuk jenjang SMP dan SMA.

Sejumlah calon siswa didampingi orang tuanya saat mengantre untuk pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 jalur zonasi Sekolah Menegah Pertama (SMP) di salah satu sekolah di Solo, Jawa Tengah, Senin (8/7/2024). (ANTARA/Maulana Surya)
Sejumlah calon siswa didampingi orang tuanya saat mengantre untuk pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 jalur zonasi Sekolah Menegah Pertama (SMP) di salah satu sekolah di Solo, Jawa Tengah, Senin (8/7/2024). (ANTARA/Maulana Surya)

Dalam SPMB ini nantinya ada empat alur penerimaan murid baru sebagai pengganti sistem PPDB. Salah satunya adalah sistem zonasi diubah menjadi domisili.

"Kami sampaikan bahwa jalur penerimaan murid baru itu ada empat, yang pertama adalah domisili atau tempat tinggal murid, yang kedua prestasi, yang ketiga jalur afirmasi, dan yang keempat jalur mutasi," kata Abdul Mu'ti dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (30/1).

Katanya pergantian sistem ini diharapkan dapat menciptakan sistem penerimaan siswa yang lebih transparan, objektif, akuntabilitas tinggi, dan lebih inklusif bagi semua calon siswa.

Akses Pendidikan Belum Merata

Meski demikian, publik terlanjur menyangsikan niat baik pemerintah akan berjalan mulus sesuai rencana. Karena seperti yang terjadi sebelumnya, pejabat di Indonesia kerap hanya melakukan perombakan sistem atau istilah birokrasi tapi tanpa perubahan substansial.

Delapan tahun lalu PPDB sistem zonasi berlaku pada periode pertama Joko Widodo menjabat sebagai Presiden Indonesia, dengan Muhadjir Effendy menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Salah satu jalur PPDB adalah melalui sistem zonasi, yang diterapkan dengan harapan menghapus dikotomi antara sekolah unggulan dan sekolah biasa. Tapi praktiknya, sistem ini malah melahirkan kecurangan-kecurangan baru mulai dari manipulasi domisili hingga ketimpangan kualitas sekolah.

Suasana SDN 078481 Uluna
Suasana SDN 078481 Uluna'ai Hiligo'o Hilimbarozu, Kecamatan Idanogawo, Kabuapten Nias, Sumatera Utara. (ANTARA/HO-Dinas Pendidikan Kabupaten Nias)

Di setiap momen PPDB kecurangan-kecurangan yang sama selalu berulang. Karena itu, Kemendikdasmen berjanji SPMB akan menambal kekurangan PPDB. Salah satu perubahan signifikannya adalah mengubah sistem zonasi dengan sistem domisili.

Pada sistem zonasi penerimaan siswa baru mengacu pada jarak, sedangkan sistem domisili lebih mengacu pada wilayah siswa dan sekolah. Sistem domisili diperuntukkan bagi calon siswa yang berdomisili di dalam wilayah administratif yang ditetapkan pemerintah daerah sesuai kewenangannya.

P2G mengapresiasi niat Kemendikdasmen memperbaiki sistem penerimaan peserta didik baru yang selama delapan tahun ke belakang menghadapi persoalan klasik yang relatif sama.

Namun, P2G menilai sistem baru ini belum menyelesaikan persoalan mendasar dalam akses dan pemerataan pendidikan.

"Kami mengapresiasi akhirnya pemerintah melalui Kemdikdasmen mempertahankan jalur zonasi meskipun berganti nama domisili. Bahkan jalur afirmasi mendapat penambahan kuota menjadi 20 persen di SMP dan 30 persen di SMA. Ini membuka peluang makin luas bagi anak keluarga miskin bersekolah di sekolah negeri," kata Kornas P2G Satriwan Salim dalam keterangan yang diterima VOI.

Satriwan menambahkan, perubahan sistem penerimaan siswa tahun ini semata-mata hanya perubahan istilah, sehingga belum menyentuh persoalan pokok yaitu ketidakmerataan jumlah dan kualitas sekolah.

Butuh Solusi Komprehensif

Selain itu, P2G juga mengkritik penambahan kuota jalur prestasi. Menurut Satriwan, hal ini dapat menciptakan ketimpangan baru. Dengan peningkatan kuota jalur prestasi menjadi 30 persen pada jenjang SMA dan 25 persen pada jenjang SMP, muncul kekhawatiran sekolah akan lebih memprioritaskan calon siswa dari jalur prestasi.

Sejumlah calon siswa didampingi orang tuanya saat mengantre untuk pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 jalur zonasi Sekolah Menegah Pertama (SMP) di salah satu sekolah di Solo, Jawa Tengah, Senin (8-7-2024). (ANTARA - Maulana Surya)
Siswa mengikuti kegiatan belajar di SD Negeri Inpres Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (22/1/2025). (ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas/agr)

"Penambahan jalur prestasi di SMP dan SMA yang signifikan itu memunculkan kekhawatiran, yaitu nanti sekolah-sekolah hanya akan memprioritaskan calon siswa dari jalur prestasi saja, sehingga calon siswa dari jalur domisili dan afirmasi akan tersisihkan, tidak dapat bersekolah di sekolah negeri," ungkap Satriwan.

Kekhawatiran lainnya terkait penambahan jalur prestasi adalah akan kembali muncul label “sekolah unggulan” atau “sekolah favorit” yang melahirkan ketimpangan pelayanan pendidikan bagi anak.

P2G menilai persoalan pokok sistem SPMB ini akan tetap muncul dan akan menimbulkan diskriminasi baru terhadap hak anak untuk mendapatkan akses pendidikan dan sekolah.

Ada tiga masalah mendasar yang belum ditangani dalam sistem PPDB. Pertama terkait jumlah dan sebaran sekolah negeri serta mutu pendidikan yang tidak merata di berbagai wilayah Indonesia.

Kata Satriwan, ada wilayah yang sekolah negerinya tak mampu menampung calon siswa karena ruang kelas terbatas, sedangkan jumlah calon siswa lebih besar. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bogor, dan lainnya sering mengalami fenomena ini.

Tapi di wilayah lain, ada juga sekolah yang kekurangan murid dan bahkan tidak ada murid yang mendaftar, seperti yang terjadi di Solo, Jepara, Sragen, Gunung Kidul, Kabupaten Semarang, dan lain-lain.

Ini terjadi karena jarak antara sekolah negeri dan rumah siswa terlalu jauh, transportasi tidak memadai, akses jalan rusak, sehingga orang tua memilih sekolah atau madrasah swasta dekat rumah.

Masalah penerimaan siswa baru yang selalu terulang setiap tahunnya kata Satriwan terjadi karena persoalan ini hanya menjadi isu satu kementerian saja, yaitu Kemdikdasmen. Padahal persoalan SPMB atau PPDB juga menyangkut soal sebaran gedung sekolah, fasilitas sekolah, sebaran anak usia sekolah, dokumen Kartu Keluarga (kependudukan), akses infrastruktur jalan, moda transportasi, internet, pelibatan madrasah, dan lain-lain. Semua adalah isu yang seharusnya melibatkan lintas kementerian dan Pemerintah Daerah (Pemda).

"Harusnya ada solusi komprehensif yang menjadi tanggung jawab lintas kementerian, seperti Kemen PUPR, Kemendagri, Kemenhub, Komdigi, Kemenag, selain Kemendikdasmen dan Pemda, agar ketidakmerataan infrastktur sekolah bisa diselesaikan," Satriwan menyudahi soal Sistem Penerimaan Murid Baru.