Lacak Asal-usul COVID-19, Peneliti Kamboja Kumpulkan Sampel Kelelawar
Ilustrasi kelelawar. (Wikimedia Commons/Anton 17)

Bagikan:

JAKARTA - Para peneliti mengumpulkan sampel dari kelelawar di Kamboja utara dalam upaya untuk memahami pandemi virus corona, kembali ke wilayah di mana virus yang sangat mirip ditemukan pada hewan satu dekade lalu.

Dua sampel dari kelelawar tapal kuda dikumpulkan pada tahun 2010 di Provinsi Stung Treng dekat Laos dan disimpan dalam freezer di Institut Pasteur du Cambodge (IPC) di Phnom Penh.

Tes yang dilakukan pada mereka tahun lalu mengungkapkan, kerabat dekat dengan virus corona yang telah menewaskan lebih dari 4,6 juta orang di seluruh dunia.

Tim peneliti IPC yang beranggotakan delapan orang telah mengumpulkan sampel dari kelelawar dan mencatat spesies, jenis kelamin, usia, dan detail lainnya selama seminggu. Penelitian serupa sedang terjadi di Filipina.

"Kami berharap hasil dari penelitian ini dapat membantu dunia untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang COVID-19," kata koordinator lapangan Thavry Hoem kepada Reuters, sambil memegang jaring untuk menangkap kelelawar, seperti dikutip 20 September

Spesies inang seperti kelelawar biasanya tidak menunjukkan gejala patogen, tetapi ini bisa sangat merusak jika ditularkan ke manusia atau hewan lain.

Dr. Veasna Duong, Kepala Virologi di IPC, mengatakan, lembaganya telah melakukan empat perjalanan seperti itu dalam dua tahun terakhir, dengan harapan mendapatkan petunjuk tentang asal usul dan evolusi virus yang ditularkan oleh kelelawar.

"Kami ingin mencari tahu apakah virus itu masih ada dan untuk mengetahui bagaimana virus itu berevolusi," ungkap Dr. Veasna Duong.

Virus mematikan yang berasal dari kelelawar antara lain Ebola dan virus corona lainnya seperti Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS).

Namun Veasna Duong mengatakan, manusia bertanggung jawab atas kehancuran yang disebabkan oleh COVID-19, karena gangguan dan perusakan habitat alami.

"Kalau kita coba dekat-dekat dengan satwa liar, kemungkinan virus dibawa oleh satwa liar lebih besar dari biasanya. Peluang virus bertransformasi menginfeksi manusia juga lebih besar," terangnya.

Proyek yang didanai Prancis juga bertujuan untuk melihat bagaimana perdagangan satwa liar dapat berperan, tambah Julia Guillebaud, seorang insinyur penelitian di unit virologi IPC.

"(Proyek) bertujuan untuk memberikan pengetahuan baru tentang rantai perdagangan daging liar di Kamboja, mendokumentasikan keragaman betacoronavirus yang beredar melalui rantai ini, dan mengembangkan sistem deteksi dini yang fleksibel dan terintegrasi dari peristiwa penyebaran virus," tandas Gillebaud.