Bagikan:

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut ada upaya pengaburan kebenaran yang terjadi dalam proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Temuan ini disampaikan karena adanya penggunaan kop surat Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam pelaksanaan tes esai dalam rangkaian asesmen sebagai syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Fakta penggunaan kop BKN untuk tes esai atau Daftar Isian Pribadi (DIP) tersebut terungkap dan tak terbantahkan serta diyakini sebagai sebuah fakta," kata Komisionar Komnas HAM M Choirul Anam dalam konferensi pers secara daring, Senin, 16 Agustus.

Dia memaparkan, fakta tersebut awalnya sulit untuk didapatkan mengingat ada pihak yang kerap mengubah keterangannya sehingga ada ketidaksesuaian. Namun, Komnas HAM memastikan penggunaan kop surat tersebut benar terjadi dan disimpulkan sebagai tindakan mengaburkan kebenaran.

"Karena seolah-olah dibuat oleh BKN dengan tujuan dan kepentingan tertentu yang tidak sesuai dengan proses lazimnya suatu asesmen bagi pegawai ASN atau calon ASN. Padahal asesmen merupakan kegiatan formal yang memiliki legitimasi hukum yang jelas, tepat, dan kuat," tegas Anam.

Ia menyebut hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Dinas Psikologi TNI AD. Dalam proses TWK itu, sambung Anam, mereka secara tepat menggunakan tools IMB 68, menggunakan kop surat lembaganya sendiri, dan memperkenalkan asal instansi mereka.

Anam juga menyinggung perihal pelaksanaan tindakan terselubung dan ilegal berupa profiling lapangan yang hanya ditujukan bagi pegawai tertentu.

"Padahal ditegaskan tidak digunakan proses tersebut dalam asesmen ini, bahkan ada penegasan bila hal tersebut benar terjadi maka itu adalah ilegal juga hasilnya," tegasnya.

"Hal ini kemudian menjadi persoalan serius karena adanya keterlibatan sejumlah pihak dalam proses tersebut," imbuh Anam.

Sehingga melihat temuan yang ada, Komnas HAM menilai TWK yang dilaksanakan sebagai proses alih status kepegawaian tidak memenuhi tujuannya karena tidak memiliki kepastian hukum, tidak berkeadilan, dan tidak memiliki manfaat terhadap pegawai KPK.

"Khususnya (pegawai, red) yang tidak memenuhi syarat (TMS). Selain itu penyelenggaraan maupun penyelenggara dalam proses asesmen tersebut pun tidak memenuhi prinsip profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas," ungkap Anam.

"Sehingga, patut diduga proses tersebut dilakukan secara sewenang-wenang, tidak sesuai dengan peraturan perundangan, bahkan terdapat unsur kesengajaan yang terencana dalam penyelenggaraannya maupun pasca penyelenggaraannya," pungkasnya.