Akui Aturan Penanganan Kerap Berubah, Mahfud MD: Pandemi COVID-19 Tak Bisa Diprediksi
DOK VOI/Menko Polhukam Mahfud MD

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengakui aturan penanganan pandemi COVID-19 kerap berubah. Perubahan ini terjadi karena pemerintah mengikuti situasi pandemi yang di Tanah Air.

"Memang (aturan, red) sering berubah-ubah karena COVIDnya juga berubah-ubah. Tidak bisa diprediksi," kata Mahfud  kata Mahfud saat memberikan sambutan dalam acara BPK secara virtual, Selasa, 29 Juni.

Dia mengatakan, semua pihak harus menerima kenyataan tersebut. Sebab, ini adalah fakta yang tak bisa dihindari sejak pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia.

Mahfud mengungkap persoalan penanganan pandemi yang saat ini terjadi. Di tengah pandemi, pemerintah menurutnya tidak hanya bergelut dengan masalah pengelolaan anggaran tapi juga masalah lain seperti perbedaan pendapat.

Mahfud mencontohkan terjadi perbedaan pendapat antara dokter terkait kebijakan yang harus diambil pemerintah di tengah melonjaknya kasus COVID-19. Menurutnya, ada dokter yang mengimbau pemerintah untuk melakukan kuncitara atau lockdown tapi ada juga dokter yang menyarankan tidak melakukannya.

"Misalnya kalau berita hari ini seorang dokter dari IDI mengatakan kalau negara ini mau selamat jangan terlambat, segera lockdown. Tapi ada dokter lain namanya dokter Fadilah (mengatakan, red) jangan lockdown,"  tegas Mahfud.

"Sesama dokter berbeda, yang cocok di Indonesia tidak lockdown. Ini kan bagi pemerintah juga jadi masalah," imbuhnya.

Tak hanya di lingkungan dokter, perbedaan ini juga terjadi di lingkungan ahli agama. Menurut Mahfud, ada ahli agama yang mengikuti paham jabariyah di mana mempercayai usaha manusia ketika menginginkan kesembuhan. 

Tetapi ada pula ahli agama yang memilih paham qodariyah yakni meyakini usaha apapun yang dilakukan jika sudah takdirnya tetap akan kena penyakit. 

"Saudara antara aliran jabariyah dan qodariyah ini masih tumbuh di tengah masyarakat dan pemerintah tetap harus mengambil keputusan," ungkapnya.

Selain itu, perbedaan pandangan lain juga terjadi di kalangan sosiolog. Mahfud mengatakan, ada beragam pendapat yang disampaikan sosiolog saat menanggapi kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan penyebaran COVID-19. 

Tapi, di saat yang bersamaan ada juga seorang akademisi yang tak percaya COVID-19. "Bahkan ada seorang profesor yang mengatakan COVID-19 itu tidak ada. Itu profesor. Baru kali ini," ungkapnya.

Hal-hal inilah yang disebut Mahfud menjadi pekerjaan ketika pemerintah akan mengambil kebijakan dalam upaya mengendalikan pandemi COVID-19. "Kebijakan sudah diambil dan itulah perlunya kita punya pemerintahan. Jadi pemerintah tetap mengambil keputusan," pungkasnya.