Bagikan:

JAKARTA - Lentera listrik warna-warni dan hiasan khas Ramadan biasanya tergantung di jalan-jalan Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Tetapi, untuk Ramadan tahun ini, di mana masyarakat Palestina tengah menghadapi social distancing untuk menghindari penularan COVID-19 dan meningkatnya kesengsaraan ekonomi.

Dilansir dari Reuters, Jumat 24 April, warga Palestina tahun ini menghadapi perkiraan perayaan tanpa pertemuan besar yang biasa dilakukan, seperti makan malam keluarga dan tarawih di masjid.

Pembatasan kegiatan dilakukan untuk meredam suasana hati yang tengah tertekan dengan ekonomi yang memburuk. Otoritas Palestina telah memerintahkan penutupan sekolah, acara pernikahan, restoran dan masjid, yang mengakibatkan puluhan ribu orang berada di ambang pengangguran.

Dengan dua kematian dan 335 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi, berbagai peraturan akibat menyebarnya COVID-19 telah diberlakukan oleh Hamas di Gaza, Otoritas Palestina di Tepi Barat, dan otoritas Israel di Yerusalem Timur. Banyak masyarakat Muslim tidak lagi melakukan kegiatan ibadah di Kubah Shakhrah dan Masjid Al Aqsa.

"Tidak ada jamaah, tidak ada orang, dan penutupan Masjid Al Aqsa memiliki pengaruh besar pada orang-orang Palestina dan pada orang-orang Yerusalem pada khususnya," kata Ammar Bakir, seorang warga Yerusalem Timur.

Puluhan ribu orang biasanya akan salat di Masjid Al Aqsa saat bulan Ramadan lalu akan meningkat menjadi ratusan ribu di hari-hari terakhir menjelang Idulfitri. Biasanya kegiatan tersebut juga disiarkan di televisi. 

"Keputusan seperti ini adalah yang pertama dalam 1.400 tahun, ini sulit. Juga sangat menyakitkan hati kami," kata Sheikh Omar Al-Kiswani, pengurus Masjid Al Aqsa.

Banyak masyarakat yang masih berduyun-duyun ke pasar dan toko-toko kurma, keju, acar, kacang, dan makanan ringan lainnya yang digemari selama Ramadan. Tetapi masyarakat Gaza tetap berjaga-jaga apabila wabah sampai di Gaza, membuat mereka berbelanja di dekat jendela dan tidak terlalu lama berada di pasar.

"Orang akan sangat berhati-hati untuk mengunjungi satu sama lain karena krisis COVID-19," kata pemilik restoran Anas Qaterji.

"Orang-orang datang ke pasar untuk membuang-buang waktu, mereka menghibur diri mereka sendiri setelah kafe tutup," kata Sameh Abu Shaban, yang memiliki toko kurma dan permen. "Tidak ada yang membeli," tambahnya.

Lain halnya di Tepi Barat. Di sana, otoritas Palestina telah menyatakan keadaan darurat, tetapi pembatasan kegiatan telah dilonggarkan dengan memperbolehkan beberapa bisnis melanjutkan kegiatan di tengah prediksi penurunan pendapatan sebesar 50 persen.

"Ini adalah Ramadhan yang menyedihkan," kata Maher al Kurdi, pemilik supermarket di Hebron.

“Biasanya toko akan ramai dengan banyak orang. Dan masjid ditutup, yang akan merusak cita rasa Ramadan,” tukasnya.