JAKARTA - Pengamat militer Sidra Tahta Mukhtar menyarankan Presiden Joko Widodo lebih banyak bersuara menyikapi persoalan Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) di Papua. Alasannya, hubungan Jokowi dengan masyarakat bumi cenderawasih cukup dekat bahkan disebut sebagai 'Bapak Papua'.
"Presiden yang telah dianggap orang Papua sebagai Bapak Papua karena membangun, sering ke Papua daripada tokoh lain. Kan banyak kelebihannya merakyat, pergi berkunjung naik motor. Artinya orang Papua itu setidak-tidaknya menyebut Jokowi sebagai Bapak Papua itu sangat mendalam," ujar Sidra kepada VOI, Rabu, 5 Mei.
"Karena itu sebagai kepala negara presiden hendaknya harus lebih banyak suara karena orang Papua sangat dekat dengan Pak Jokowi," sambungnya.
Sidra mengatakan, instruksi Presiden Jokowi untuk memburu KKB sudah tepat. Namun, akan lebih baik lagi jika Jokowi merangkul orang asli Papua untuk berdialog mengenai problematika yang tengah terjadi. Misalnya, mendatangi tokoh adat dan agama di Papua.
"Instruksi itu tepat tapi di luar intruksi harus ada upaya untuk merangkul. Kan orang Papua itu banyak wadah yang bisa dirangkul," jelasnya.
Apabila mengirim TNI untuk melawan KKB ataupun operasi militer, Sidra khawatir kelompok tersebut yang hanya beberapa ratus orang akan bertambah menjadi ratusan ribu orang lantaran dianggap perang.
"Kalau ketemu di lapangan, dalam perang TNI melawan Papua yang tadinya hanya sekian ratus orang itu menjadi ratusan ribu orang. Itu bahaya, jangan sampai orang-orang biasa yang mendukung NKRI karena begini-begini (serang menyerang, red). Solidaritas yang massif orang asli Papua ini kadang kala tidak terpikirkan secara menyeluruh," terangnya.
Lantas, apakah masyarakat Papua harus diundang ke Istana untuk berdialog dengan Presiden Jokowi?
Sidra menilai, semestinya Presiden Jokowi bisa turun langsung untuk duduk bersama dengan pemangku adat dan kepentingan di Papua.
"Forum nasional kalau bisa dilakukan di Papua, misalnya dengan adat istiadat berkaitan dengan konsolidasi antar umat beragama. Karena orang Papua ini kalau di hormati dia lebih menghormati lagi," kata Sidra.
"Contohnya, ketika menerima tamu, kan sangat mendalam dia menerima tamu dengan segala penghormatannya dan lain-lain. Bahkan ketika dia antar pulang pun maunya sampai ke tangga pesawat saking punya empati yang tinggi ketika menghadapi tamu. Menurut saya begitu cara pemerintah untuk melihat Papua ini, karena belum telat," imbuh dia.
Sidra mengungkapkan, persoalan terorisme atau kejahatan itu membentuk di kemudian hari. Satu aspek bisa ditumpas tapi di sisi lain akan menimbulkan berbagai masalah yang meningkat.
"Infrastruktur kan sudah dibangun di Papua, tapi hanya dua puluh sekian persen. Masyarakat Papua tidak mendapatkan akses pendidikan yang meningkat, jadi orang yang harusnya belajar tidak punya akses. Nah ini tugas para bupati dan ternyata orang Papua itu kalau dijelaskan kebenarannya malah senang. Artinya semakin objektif, semakin banyak kejujuran disebarkan disana akan semakin memberikan merasa senang," jelas Sidra.
BACA JUGA:
Karena itu, Sidra berharap Presiden Jokowi mau menjembatani persoalan di Papua saat ini dengan pendekatan yang humanis. Sebab, mereka memiliki latar trauma jika harus dihadapkan dengan operasi militer.
"Jadi menurut saya, sangat perlu dihadapi dengan pendekatan yang soft power, yang lunak karena trauma. Ketika ada militer mereka sangat trauma sebab di Indonesia ini banyak operasi militer, bahkan terus dilakukan rekonsiliasi nasional kasus dan menimbulkan masalah kemanusiaan yang belum selesai" katanya.
Terlebih, jika ada anggapan bahwa Papua adalah area konflik. Maka nantinya daerah Indonesia yang kurang diperhatikan pemerintah dikhawatirkan melakukan hal yang sama untuk melawan bahkan memisahkan diri dari NKRI.
"Ada wilayah Indonesia yang dikategorikan sebagai wilayah perang itu sangat berbahaya. Itu bisa ditiru oleh wilayah lain kalau ada yang kecewa. Nanti pada akhirnya ada kombatan yang memisahkan diri dan lain-lain kan operasi militer," ujar Sidra.