Bagikan:

JAKARTA - Wakil Menteri Luar Negeri RI Arrmanatha Christiawan Nasir mengatakan, negara-negara berpendapatan menengah merupakan mesin pertumbuhan hingga pusat inovasi, sehingga harus menjadi pilot masa depan global yang baru dan inklusif.

Itu dikatakannya saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Berpendapatan Menengah (MICs) yang digelar di Manila, Filipina, Selasa 29 April.

Diplomat yang akrab disapa Wamenlu Tata itu mengatakan pentingnya lingkungan global yang kondusif, di mana terdapat komitmen kuat terhadap multilateralisme, solidaritas dan kemitraan, serta kepatuhan terhadap tatanan internasional berbasis aturan dan lembaga multilateral yang kuat.

"Namun, lingkungan global berubah dengan cepat. Persaingan kekuatan besar yang semakin ketat, meningkatnya proteksionisme dengan perdagangan yang dijadikan senjata, defisit kepercayaan yang besar dan berkurangnya solidaritas, lembaga multilateral yang lemah dan upaya beberapa pihak untuk membubarkannya," ujar Wamenlu RI, dikutip dari Keterangan Kementerian Luar Negeri RI, Selasa 29 April.

"Jika kita gagal menghentikan kemerosotan ini, lebih dari 100 negara, yang mencakup 75 persen populasi global, akan terperangkap dalam perangkap pendapatan menengah dengan tingkat ketimpangan yang terus tinggi, kemiskinan yang terus-menerus, pertumbuhan yang rendah, dan utang luar negeri yang tidak berkelanjutan," urainya memperingatkan.

wamenlu ri arrmanatha nasir
Wamenlu RI Arrmanatha Ch. Nasir di pertemuan MICs. (Sumber: Kemlu RI)

Oleh karenanya, Wamenlu Tata mengajak MICs untuk bertindak bersama sebagai arsitek proaktif untuk masa depan yang lebih tangguh.

Lebih lanjut, dalam konteks tersebut Wamenlu Tata menyoroti tiga poin utama.

Pertama, MICs harus membangun platform kolaborasi konkret untuk mendorong kerja sama Selatan-Selatan, penyelarasan kebijakan, dan peningkatan akses ke pembiayaan global termasuk pembiayaan yang inovatif dan campuran.

Kedua, MIC ssebagai kelompok harus mempertahankan multilateralisme dan memajukan reformasi sistem multilateral yang mendesak. Cara berbisnis lembaga multilateral tidak lagi berkelanjutan. Lembaga multilateral juga harus lebih mencerminkan realitas dan aspirasi negara berkembang saat ini.

"Hanya dengan sistem multilateral yang kuat dan berbasis aturan, MICs dapat berkembang," tegasnya.

wamenlu ri
Wamenlu RI Arrmanatha Ch. Nasir di pertemuan MICs. (Sumber: Kemlu RI)

Ketiga, perlunya mendorong perdagangan intra yang lebih besar di antara negara-negara berpendapatan menengah — yang sekarang menyumbang lebih dari 57 persen PDB global, dan kekuatan kolektif ini harus dimanfaatkan.

Wamenlu Tata mengatakan, negara-negara berpendapatan menengah bukanlah "negara-negara yang sedang menunggu."

"Saya sependapat dengan para pembicara pagi ini, negara-negara berpendapatan menengah adalah mesin pertumbuhan, pusat inovasi, dan mitra dalam membangun masa depan global yang adil, berkelanjutan, dan tangguh," jelas Wamenlu RI.

"Di dunia yang semakin terfragmentasi, negara-negara berpendapatan menengah tidak boleh menjadi penumpang ketidakpastian — negara-negara berpendapatan menengah harus menjadi pilot masa depan global yang baru dan inklusif," serunya.

Pada kesempatan yang sama, Wamenlu Tata mengatakan Indonesia tetap teguh dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan (SDGs), meski terjadi gejolak global.

Hingga tahun 2024, Indonesia sebagai bagian dari MIC sukses mencapai pertumbuhan rata-rata sekitar 5 persen selama dekade terakhir, mengurangi kemiskinan menjadi 8,57 persen, memperbaiki distribusi pendapatan, mencakup lebih dari 90 persen populasi kita dengan program asuransi kesehatan nasional, serta mencapai ekonomi digital senilai 90 miliar dengan 10 perusahaan rintisan unicorn.

"Ini hasi dari reformasi yang mendalam, pengelolaan fiskal yang bijaksana dan komitmen politik yang kuat untuk mengintegrasikan SDGs ke dalam kebijakan pembangunan nasional kita," jelasnya.

Ia menambahkan, seperti yang disoroti oleh para pembicara lainnya, kebijakan industri nasional yang kuat dan kemitraan global juga merupakan kunci.