Bagikan:

JAKARTA - Presiden AS Donald Trump mengesahkan sanksi ekonomi dan perjalanan yang menargetkan orang-orang yang bekerja dalam penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap warga negara AS atau sekutu AS seperti Israel.

ICC adalah pengadilan permanen yang dapat mengadili individu atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan agresi terhadap wilayah negara anggota atau yang dilakukan oleh warga negaranya.

Langkah Trump pada Kamis, 6 Februari, bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Washington, yang dicari oleh ICC karena perang di Gaza.

ICC mengutuk sanksi tersebut.

“Pengadilan berdiri teguh dengan personelnya dan berjanji untuk terus memberikan keadilan dan harapan bagi jutaan korban kekejaman yang tidak bersalah di seluruh dunia, dalam semua situasi sebelumnya,” katanya pada Jumat, 7 Februari dilansi Reuters.

ICC juga meminta 125 negara anggotanya untuk mendukung stafnya.

Banyak orang di Eropa yang melakukan hal serupa.

“Memberi sanksi kepada ICC mengancam independensi Pengadilan dan melemahkan sistem peradilan pidana internasional secara keseluruhan,” ujar Antonio Costa, presiden Dewan Eropa yang terdiri dari para pemimpin UE, menulis di platform media sosial Bluesky.

Belanda, negara tuan rumah pengadilan yang berbasis di Den Haag, juga menyesalkan sanksi tersebut, seperti yang dilakukan Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

“Pekerjaan pengadilan sangat penting dalam perjuangan melawan impunitas,” Menteri Luar Negeri Belanda Caspar Veldkamp mengatakan dalam sebuah postingan di X.

Namun Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban, sekutu setia Trump, mengatakan sanksi tersebut menunjukkan mungkin sudah waktunya untuk meninggalkan ICC.

“Sudah waktunya bagi Hongaria untuk meninjau kembali apa yang kami lakukan di organisasi internasional yang berada di bawah sanksi AS! Angin baru sedang bertiup dalam politik internasional. Kami menyebutnya Tornado Trump,” katanya di X.