Berambisi Bangun Markas Teknologi, Bagaimana Rekam Jejak Indonesia di Dunia Riset dan Inovasi?
Silicon Valley. (Foto: Istimewa)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Kegaduhan Bukit Algoritma masih bergulir. Wacana itu bermuara pada pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang nantinya jadi pusat teknologi dan riset seperti Silicon Valley yang dipunyai Amerika Serikat (AS).

Markas Teknologi yang akan dibangun di Indonesia itu dikembangkan oleh perusahaan BUMN konstruksi, PT Amarta Karya (Persero). Pembangunannya diprediksi membutuhkan dana hingga 1 miliar Euro atau setara Rp18 triliun.

Bukit Algoritma rencananya dibangun di tanah seluas 888 hektar di Cikidang dan Cibadak, Sukabumi. Nantinya, bukit ini diharapkan jadi pusat penelitan dan pengembangan teknologi dan  pusat pengembangan sumber daya manusia di masa depan.

Menakar Ambisi Indonesia dan Dana Riset yang Dikeluarkan Pemerintah

Indonesia memang boleh bermimpi setinggi langit, namun impiannya harus diukur dengan apa yang selama ini telah dilakukan, khususnya di dunia riset dan teknologi. Kedua bidang tersebut setidaknya akan jadi pondasi dalam menjalankan Silicon Valley Sukabumi.

Dalam bidang riset, Menteri Riset dan Teknologi Indonesia/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa kesadaran Indonesia dalam mendukung riset dan inovasi sangat rendah.

Hal itu diketahui dari dana APBN untuk riset dan inovasi yang nominalnya sangat jauh jika dibanding dengan negara maju seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat dan China.

"Alokasi APBN riset Indonesia masih tergolong sangat kecil, berbeda dengan kondisi beberapa negara maju seperti Korsel, Jepang, AS dan China," kata Bambang dalam talkshow daring bertajuk "Success Story Produk Karya Anak Bangsa, Riset dan Inovasi Sebagai Penggerak Ekonomi di Masa Pandemi", dikutip dari Antara, Selasa.

Keikutsertaan pihak swasta dalam mendanai riset justru lebih besar dibanding negara sendiri, yakni 60 persen hingga 80 persen.

Tahun 2021 sendiri, kebijakan riset di Indonesia akan fokus pada upaya membantu menyelesaikan masalah ekonomi.

"Yakni dengan hilirisasi dengan mendorong teknologi tepat guna, penciptaan nilai tambah utama, produksi sumber daya alam dan upaya peran aktif dalam penanggulangan pandemi," ujarnya.

Kecilnya Dana Riset Indonesia dan Kebiasaan Peneliti Indonesia

Kecilnya dana riset yang digelontorkan Pemerintah dikeluhkan bahkan sejak tahun 2017. Saat itu Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengaku pihaknya terkendala dengan minimnya dana riset. Bahkan dalam APBD 2017, anggaran riset hanya berkisar 0,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Anggaran riset kita itu masih kecil sekali. Malaysia saja itu sudah di atas 1 persen, Korea yang saat ini leading di industri anggaran risetnya sudah 4,5 persen,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Muhammad Dimyati, dikutip dari situs risbang.ristekbrin.go.id.

Selain itu riset yang dilakukan oleh ilmuan Indonesia belum fokus dan masih melebar. Hal ini yang disebut jadi salah satu kelemahan Indonesia di bidang riset dan inovasi.

“Sekarang itu riset mulai dari A sampai Z, harusnya fokus saja. Ke depan kita akan fokus 8 sektor saja, tapi teraplikasikan,” katanya.

Selain terkait rekam jejak Indonesia di dunia riset dan inovasi, dapatkan informasi dan berita nasional maupun internasional lainnya melalui VOI.