JAKARTA - Wakil Presiden Iran untuk Urusan Strategis Mohammad Javad Zarif mengatakan, Pemerintah Iran telah memutuskan untuk tidak memberikan tekanan kepada perempuan yang tidak menutup rambut mereka di depan umum, menggambarkan keputusan tersebut sebagai langkah ke arah yang benar.
Komentar Wapres Zarif soal hijab tersebut disampaikan pada Hari Rabu dalam wawancara dengan CNN di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
"Jika Anda pergi ke jalan-jalan Teheran, Anda akan menemukan perempuan yang tidak menutup rambut mereka. Itu melanggar hukum, tetapi pemerintah telah memutuskan untuk tidak memberikan tekanan kepada perempuan," jelasnya, seperti melansir Mehr 23 Januari.
Keputusan tersebut merupakan janji kampanye yang dibuat oleh Presiden Masoud Pezeshkian, yang kini telah dipenuhi, kata Wapres Zarif.
Lebih lanjut Wapres Zarif menjelaskan, presiden memutuskan untuk tidak menerapkan undang-undang yang dimaksudkan untuk memberikan hukuman kepada perempuan yang menolak untuk menutupi rambut mereka di depan umum, sebuah keputusan yang menurutnya diambil dengan persetujuan dari para pemimpin Iran, termasuk kepala Parlemen, kepala Peradilan dan Dewan Keamanan Nasional.

Ia menambahkan, langkah untuk tidak menekan perempuan "tidaklah cukup", tetapi merupakan "langkah ke arah yang benar."
Dikutip dari France 24, Iran menyetujui "Rancangan Undang-Undang tentang Mendukung Keluarga melalui Promosi Budaya Kesucian dan Hijab" pada September 2023.
Undang-undang ini memberlakukan hukuman yang lebih keras bagi perempuan yang menolak untuk mengenakan hijab wajib, denda yang signifikan serta hukuman penjara bagi mereka yang dianggap mempromosikan "ketelanjangan" atau "ketidaksenonohan".
RUU tersebut awalnya akan diajukan pada Bulan Desember kepada Presiden Pezeshkian, yang telah menyatakan "keberatan" dengan aturan tersebut dengan pertimbangan banyak "ambiguitas".
Awal bulan ini, juru bicara Pemerintah Fatemeh Mohajerani mengatakan RUU tersebut "ditunda" karena beberapa ketentuannya, yang "dapat menimbulkan konsekuensi sosial yang serius".

Pada Bulan Desember, Wakil Presiden Iran Shahram Dabiri mengumumkan, "aturan tersebut (akan) ditinjau kembali oleh kepemimpinan politik dan Dewan Keamanan Nasional", badan keamanan tertinggi di negara tersebut.
"Berdasarkan diskusi-diskusi yang telah dilakukan, diputuskan bahwa undang-undang ini tidak akan dirujuk ke pemerintah oleh parlemen untuk saat ini," ujar Wapres Dabiri ketika itu, menambahkan "saat ini belum memungkinkan untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut," dilansir dari DW.
Kelompok garis keras di parlemen Iran telah meloloskan undang-undang kontroversial tersebut, yang mengusulkan hukuman yang lebih keras bagi perempuan yang menentang peraturan hijab.
Undang-undang ini juga menargetkan bisnis yang melayani mereka yang tidak mematuhi hukum. Undang-undang ini mengizinkan pihak berwenang untuk mengakses rekaman pengawasan pribadi dan mendorong warga untuk melaporkan ketidakpatuhan.
BACA JUGA:
Presiden Pezeshkian menentang undang-undang tersebut, memperingatkan hal itu dapat memicu lebih banyak protes seperti yang terjadi pada tahun 2022, usai tewasnya Mahsa Amini dalam tahanan polisi.
Pada Bulan September 2022, protes meletus di Iran usai tewasnya Mahsa Amini dalam tahanan polisi karena jilbabnya yang diduga longgar. Protes tersebut kemudian berubah menjadi kerusuhan yang dipicu oleh elemen-elemen yang didukung asing.
Masoud Pezeshkian mencalonkan diri sebagai presiden dengan platform reformasi sosial dan ekonomi di negara tersebut, serta keterlibatan yang lebih konstruktif dengan dunia.