Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKB, Hanif Dhakiri menyebut kenaikan PPN 12 persen sudah digariskan dalam undang-undang (UU). Menurutnya, tidak perlu ada persoalan yang harus diperdebatkan. 

"Seluruh inisiasi dari undang-undang tuh sebenarnya dialogable. Itu merupakan hasil dialog antara pemerintah dengan DPR, kadang kala karena alasan tertentu, misalnya, walaupun pemerintah yang berkepentingan tapi rebutannya bisa dilakukan begini. Sudah kalau gitu, ini yang munculin DPR saja ya, karena for any reasons gitu. Nah, ada kala juga, oh kalau gitu pemerintah saja, jadi artinya, menurut saya jangan mencari sumber awalnya itu dari mana, itu yang pertama. Karena prosesnya secara politik bisa begitu," ujar Hanif dalam acara diskusi 'PKB Insight Hub' di Cikini, Jakarta, Sabtu, 14 Desember. 

Kedua, Hanif menekankan, bahwa kenaikan PPN 12 persen yang akan diundangkan merupakan keputusan politik bersama. 

"Kita bawa keputusan politik bersama ini konteksnya berubah ketika dia akan diterapkan, nah itu perkara yang lain. Dulu ketika undang-undang HPP ini muncul kan, karena ada konteks COVID yang memang secara ekonomi sangat menyiksa bangsa kita, semua kelompok masyarakat terdampak, negara juga terdapat secara masif dari sisi keuangan. Oleh karenanya, inisiatif dari undang-undang HPP ini juga ditunjukkan untuk memastikan agar ke depan ini kita punya bantalan, untuk memastikan agar penerimaan pajak menjadi lebih baik, distribusi ekonomi dan kekayaan menjadi lebih baik, perlindungan konsumennya juga tetap ada," bebernya. 

Hanif mengakui situasi ekonomi nasional belum terlalu baik. Meskipun kondisi dunia sudah membaik namun akan ada tantangan terlebih terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. "Nah sehingga ketika kemudian PPN ini mau diterapkan, naik dari 12 persen sebagaimana ketentuan dalam undang-undang 1 Januari 2025, nah tentu saja banyak keberatan dari masyarakat," katanya. 

Sebagai anggota DPR dan pengurus DPP PKB, Hanif memastikan, akan banyak mendengarkan aspirasi dari publik. "Kenaikan PPN memang sudah digariskan di dalam undang-undang, tapi yang perlu dicatatkan bersama adalah di Republik ini semua hal itu bisa diselesaikan kalau ada political will," katanya. 

"Kalau ada political will itu barang nggak ada bisa ada, barang yang kurang baik bisa diperbaiki, bahkan bisa dibolak balik selama ada political will-nya. Nah catatannya adalah ketika ada political will dari semua aktor-aktor politik, bank, pemerintahan maupun di DPR. Jadi menurut saya ini tidak terlalu isu," pungkasnya. 

Kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.

Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku selektif hanya bagi barang mewah. Keputusan ini diambil setelah pengumuman Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif PPN menuai kritik meluas dari masyarakat, pengusaha, dan para ekonom.

Sri Mulyani lantas memastikan tarif PPN 12 persen tak akan berlaku bagi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kejelasan lebih lanjut tentang PPN 12 persen akan diumumkan oleh pemerintah pada Senin, 16 Desember 2024.

Adapun dari sisi perbankan, kredit masih mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 10,92 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) per Oktober 2024. Dian mencatat bahwa ketika PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada 2022, kredit perbankan masih bisa tumbuh 10,38 persen yoy dengan NPL yang berada di level 2,19 persen.