Heboh Tautan Situs Porno di Buku Sosiologi SMA, Komisi X DPR Minta Nadiem Makarim Maksimalkan Sistem Pengawasan
Arsip Foto. Pedagang buku melayani pembeli buku pelajaran sekolah di kios buku di Taman Sriwedari, Solo, Jawa Tengah (Maulana Surya/Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Syaiful Huda mempertanyakan pengawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). 

Hal ini terkait ditemukannya tautan situs pornografi pada buku pelajaran sosiologi jenjang SMA. Menurut Syaiful Huda, Kemendikbud yang dipimpin Nadiem Makarim ini, memiliki Sistem Informasi Perbukuan Indonesia yang bisa mengawasi aktivitas penerbitan di lingkungan sekolah termasuk buku ajar.

"Harusnya hal itu dimaksimalkan sehingga buku-buku ajar yang beredar di sekolah tidak lagi memuat hal-hal kontroversial seperti masuknya tautan pornografi pada buku pelajaran yang bisa memberikan dampak negatif kepada peserta didik,” kritik Syaiful Huda lewat keterangan tertulis dilansir Antara, Jumat, 12 Februari. 

Kasus masuknya link porno ke buku Sosiologi SMA di Jawa Barat (Jabar) bukanlah kasus pertama. Pada 2014, muncul pemberitaan tentang Buku Pendidikan Jasmani untuk kelas XI yang mengajarkan tentang cara dan gaya berpacaran.

Tema bab tersebut adalah 'Memahami Dampak Seks Bebas'. Dijelaskan pula tentang gaya pacaran yang sehat yaitu sehat fisik, sehat emosional, sehat sosial dan sehat seksual.

“Selain itu pernah juga muncul hal kontroversial di buku ajar Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas XI SMA di mana ditemukan muatan yang membolehkan membunuh orang musyrik,” kata dia.

Selain tautan porno, hal berbau politis juga kerap ditemukan di buku ajar. Terbaru adalah nama Ganjar yang identik dengan nama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Sosok Ganjar dalam soal buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti terbitan PT Tiga Serangkai tahun 2020 disebutkan tidak pernah bersyuku, setiap Idul Adha tidak pernah berkurban dan tidak pernah shalat.

Belum lagi nama Megawati dan Anies dengan framing menyudutkan satu pihak dalam soal ujian bagi siswa di DKI Jakarta. 
Politikus PKB menilai fakta-fakta tersebut menunjukkan jika memang ada kelemahan pengawasan terkait penerbitan buku ajar maupun soal ujian bagi peserta didik di Indonesia.

“Tentu hal itu berat dilakukan, namun dengan digitalisasi pengawasan dan layanan hal itu akan bisa dilakukan ke depan. Selain itu peningkatan kapasitas tenaga kependidikan sebagai salah satu sumber penulisan harus juga dilakukan sehingga mereka bisa meletakkan cara pandang mereka sebagai pendidik bukan sebagai individu yang punya afiliasi politik atau ideologi,” demikian.