JAKARTA - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu menyatakan kasus kematian manusia akibat Virus Oz belum ditemukan di Indonesia hingga hari ini.
Meski demikian dirinya mengimbau semua pihak memahami bahwa Virus Oz adalah anggota baru dari genus Thogotovirus.
"Virus ini pertama kali diisolasi dari kumpulan tiga nimfa kutu Amblyomma testudinarium yang dikumpulkan di Prefektur Ehime, Jepang pada tahun 2018 lalu," kata Maxi dikutip ANTARA, Selasa 27 Juni.
Virus itu diketahui mempunyai sifat zoonosis atau ditularkan melalui hewan, yang biasanya berupa satwa liar seperti monyet, rusa dan tikus ke manusia.
“Sehingga ketika Thogotovirus mengenai tubuh manusia, ia dapat menimbulkan radang otak (ensefalitis), penyakit demam, pneumonia, hingga kematian. Namun cara penularan ke manusia belum diketahui dengan pasti, kemungkinan tertular dari gigitan kutu yang membawa virus tersebut,” kata Maxi.
Sementara, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengimbau Pemerintah Indonesia tidak menyepelekan laporan kematian yang diakibatkan oleh Virus Oz seperti yang terjadi di Jepang beberapa waktu lalu.
“Kita tidak boleh menyepelekan adanya laporan penyakit baru, tapi juga jangan khawatir berlebihan. Jangan pula terlalu cepat membuat kesimpulan, karena memang data ilmiah belumlah lengkap tersedia,” katanya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) itu menuturkan dari waktu ke waktu memang selalu ada saja laporan tentang jenis penyakit baru dari berbagai negara.
Ketika pertama kali kasus baru atau kematian ditemukan, tindakan yang segera dilakukan adalah mengkaji secara rinci dampak penularan baik dari sisi klinik maupun epidemiologinya bersama dengan para ahli.
Hanya saja memang pada awal mula pasti belum tersedia penjelasan ilmiah yang pasti.
“Makanya, hal yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengikuti secara mendalam perkembangan data ilmiah tentang kasus ini, tentu dari sumber yang dipercaya dalam setidaknya dua bentuknya yaitu keterangan resmi dari sebuah badan negara atau dunia,” katanya.
Sumber terpercaya lainnya yang bisa pemerintah maupun masyarakat ikuti, kata dia, adalah hasil penelitian yang dipublikasi resmi, bukan dalam pesan Whatsapp (WA) berantai tanpa sumber yang jelas.
BACA JUGA:
Di samping itu ada atau tidaknya penyakit baru, kata Prof Tjandra, secara umum pemerintah harus tetap menjaga dan menjamin surveilans selalu berjalan secara baik, setidaknya dalam tiga bentuk yakni surveilans berbasis gejala, surveilans berbasis laboratorium, bahkan sampai tahap genomik.
“Sementara untuk ruang lingkup surveilans yang perlu diperhatikan adalah surveilans klinis pada pasien, surveilans epidemiologik di komunitas, surveilan pada hewan yang mungkin berdampak pada kesehatan manusia dan surveilans keadaan lingkungan yang mungkin berdampak pada kesehatan manusia,” jelasnya.