JAKARTA - Pengamat studi Eropa dari UGM, Muhadi Sugiono menilai proposal penyelesaian konflik antara Ukraina dengan Rusia yang disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam forum IISS Shangri-La Dialoge di Singapura tidak masuk akal dan tidak mempertimbangkan banyak aspek.
Salah satu usulan yang menjadi perhatian adalah mengenai referendum antara Ukraina dan Rusia. Menurut Muhadi, Ukraina tidak mungkin mau karena merasa sebagai pihak yang diserang oleh Rusia.
"Tidak masuk akal gitu. Jadi seperti misalkan, contohnya negara tetangga kita menyerang satu wilayah kita, kemudian usulan perdamaiannya, ya sudah Indonesia jangan menyerang, dan negara tetangga itu jangan menyerang. Kemudian wilayah yang diserang lakukan referendum. Kan gak masuk akal, padahal itu wilayah Indonesia,” ujar Muhadi, Rabu 7 Juni.
Kata Muhadi, Prabowo seharusnya mempertimbangkan situasi formal legal kemudian aspek kepentingan politik hingga sejarah kedua negara. Jadi kalau Indonesia ingin memainkan peran, bisa dengan mengajak pihak bersengketa duduk bersama.
“Persis seperti dulu Jakarta informal meeting, konflik Indochina, Indonesia memainkan peran di sana, mengajak orang-orang yang terlibat konflik ada di situ,” ujarnya.
Lebih lanjut, Muhadi berkata proposal Prabowo bisa dilihat dari dua hal, pertama keinginan untuk menghentikan perang hingga kekerasan yang berlangsung. Dari sisi itu, tidak ada persoalan karena semua pihak menginginkan hal tersebut, termasuk Ukraina dan Rusia.
BACA JUGA:
Namun, dia berkata yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara menghentikannya. Usulan seperti gencatan senjata, masing-masing negara mundur 15 km, menghadirkan pasukan PBB hingga referendum bukan hal yang tepat.
“Ini yang bermasalah, karena antara Ukraina dan Rusia tidak sedang memperebutkan sebuah wilayah yang tidak berada di wilayah salah satu dari kedua belah pihak. Tapi Rusia yang ingin mengambil wilayah Ukraina,” ujar Muhadi.
“Jadi itu adalah kedaulatan wilayah Ukraina. Jadi kalau ingin bicara menghentikan perang dengan situasi yang sekarang tidak menguntungkan pihak Ukraina,” ujarnya.
Terkait hal itu, Muhadi kembali mengatakan bahwa proposal yang ditawarkan oleh Prabowo tidak menguntungkan kedua pihak.
“Untuk membedakan proposal itu bagus atau tidak itu dilihat pada bagaimana ketika proposal kita itu kemudian memenuhi kepentingan atau hak dan kewajiban masing-masing negara itu. Dalam bentuknya sekarang proposal itu sepertinya tidak memperhitungkan hal itu. Nah ini jadi persoalan,” ujar Muhadi.
Lebih dari itu, Muhadi enggan menduga proposal itu sebagai bentuk keberpihakan Prabowo terhadap Rusia. Namun, dia menyebut proposal tersebut wajar ditolak oleh Ukraina karena merugikan mereka.
“Kita tidak bisa menyatakan kalau itu membela ke Rusia, tidak. Tapi bahwa proposal itu menguntungkan Rusia, iya. Jadi saya tidak membayangkan kita mengajukan proposal itu Prabowo ingin berpihak pada Rusia, tidak. Tapi konsekuensi dari isi proposal itu seolah-olah posisi Prabowo menguntungkan Rusia,” ujarnya