Sengkarut Lahan 75 Hektare di Gili Trawangan, Pemprov NTB Konsultasi ke KPK
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Zulkieflimansyah. (ANTARA/Nur Imansyah).

Bagikan:

MATARAM - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menemui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk berkonsultasi terkait sengkarut aset lahan seluas 75 hektare milik pemerintah provinsi di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

"Tim sudah berangkat ke KPK untuk berkonsultasi," kata Gubernur NTB, Zulkieflimansyah di Mataram, dilansir dari Antara, Selasa, 21 Maret. 

Selama ini KPK ikut mengawal proses aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB yang berada di Gili Trawangan.

"Bagaimanapun ini prestasi besar KPK bukan hanya menangkap-menangkap korupsi tetapi mencegah bocornya uang negara. Karena program keberhasilan KPK jadi semua tindakan kita dikonsultasikan ke KPK," ujarnya.

Bang Zul sapaan akrab Gubernur NTB membantah lahan milik Pemprov NTB tersebut sudah dimiliki Warga Negara Asing (WNA).

"Begini, memang ada WNA tapi yang kerjasama itu istrinya karena menikah sama orang luar negeri atau suaminya dari luar negeri. Itu kebetulan saja istrinya atau suaminya bule buka usaha," ucapnya.

Hanya saja, lanjutnya, ketika ini sudah tidak ada persoalan setelah lepas dari PT Gili Trawangan Indah (GTI), masyarakat yang tahu bahwa ternyata lahan tersebut milik pemerintah akhirnya beralih untuk bekerjasama dengan pemerintah bukan lagi kepada oknum.

Namun setelah dikerjasamakan, ternyata pemerintah provinsi dilarang bekerjasama kepada pihak yang sudah memanfaatkan lama lahan tersebut.

"Sudah lama mereka manfaatkan kenapa harus kerjasama sama mereka lagi," terang Gubernur NTB.

Namun demikian persoalan aset di Gili Trawangan ini kata gubernur bukan pada persoalan hukum semata tetapi juga sosial. Oleh karena itu, pihaknya juga tidak ingin mengedepankan hukum terlebih dahulu untuk menyelesaikan persoalan di kawasan wisata tersebut.

Meski begitu lanjutnya, kalau ada aspirasi pemerintah provinsi tentu siap menampung. Tetapi kalau sudah ingin meminta atau menerbitkan SHM itu di luar kemampuan pemerintah provinsi. Karena yang berhak memberikan atau menerbitkan adalah pemerintah pusat.

"Masalah-masalah ini lah yang dikonsultasikan ke KPK, jangan sampai kita konsultasi itu melawan hukum," katanya.