Bagikan:

JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) mendorong penerapan teknologi bahan bakar nabati untuk mendukung kesinambungan industri berbasis karet alam.

“Dalam industri karet, hasil utama yang diambil dari tanaman karet adalah lateks. Sementara biji karet masih belum dimanfaatkan dan dibuang sebagai limbah padahal dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati yang potensial untuk di kembangkan secara teknis maupun keekonomiannya,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Johnny Darmawan dalam keterangannya, Senin 20 Januari.

Diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia dengan total produksi pada tahun 2019 mencapai 3,55 juta ton per tahun, dan luas seluruh area perkebunan karet di Indonesia mencapai 3,4 juta hektare.

Upaya Pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar nabati untuk mengurangi konsumsi BBM yang berasal dari minyak bumi diawali dengan Peraturan Presiden RI Nomor 5 tahun 2006 yang mentargetkan pemanfaatan BBN hingga 5 persen dari total energi primer pada 2025.

Kemudian, ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya mandatori penggunaan bahan bakar nabati melalui Peraturan Menteri ESDM No.32 tahun 2008. Namun, pemanfaatan Bahan bakar nabati semenjak dikeluarkannya aturan tersebut dinilai belum pernah mencapai target.

Produksi karet nasional (lateks) dalam kurun waktu lima tahun terakhir cukup besar yakni di atas 3,3 juta ton, sedangkan untuk harga karet dalam 5 tahun terakhir terus mengalami tekanan pada level yang dinilai tidak remunerative bagi produsen. Selain itu, daya serap karet (lateks) untuk industri ban hanya menyerap 70 persen dari kosumsi karet alam nasional.

“Saat ini harus dicarikan solusi karena petani mengalami kesulitan penjualan dan kesulitan meningkatkan harga karet. Agar petani tidak tambah rugi maka harus ada upaya lain untuk meningkatkan ketahanan para petani melalui pemanfaatan karet dan biji karet sebagai bahan baku bahan bakar nabati selain kelapa sawit,” kata Johnny.

Dia memaparkan, untuk mewujudkan keberlangsungan industri berbasis karet, maka diperlukan dukungan dan kerjasama dari Pemerintah, yakni terkait konsistensi terhadap kebijakan hilirisasi hasil perkebunan (karet) menjadi produk yang bernilai tambah, diantaranya pengembangan bahan bakar nabati berbasis karet dan pemanfaatannya di dalam negeri sebagai bahan bauran energi yang berdaya saing.

Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane mengatakan, karet termasuk tanaman perkebunan non pangan yang saat ini produksinya sudah sudah surplus tetapi tidak semuanya terserap oleh pasar.

Karet juga termasuk dalam kategori tanaman bioenergi multiguna yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku bahan bakar nabati dengan dukungan kebijakan pemerintah yang telah mencukupi.

Menurut Aziz, potensi pemanfaatan karet di luar industri ban semakin terbuka lebar pasca terbitnya beberapa kebijakan terkait penggunaan energi alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak untuk jenis diesel/solar.

Biodiesel dapat diaplikasikan baik dalam bentuk 100 persen (B100) atau campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi tertentu seperti B20. Pemanfaatan biji karet sebagai biodiesel sangat terbuka lebar.

Kandungan minyak di dalam daging biji karet mencapai 45,63 persen. Tanaman karet dapat menghasilkan 800 biji karet untuk setiap pohonnya per tahun.

Pada lahan seluas 1 hektare, dapat ditanami sebanyak 400 pohon karet. Maka untuk lahan seluas 1 hektare diperkirakan dapat menghasilkan 5.050 kg biji karet per tahun. Rendemen minyak biji karet (kering) yaitu 40-50 persen, sehingga diperkirakan setiap hektar tanaman karet berpotensi menghasilkan 1000 liter minyak.

Selain banyak digunakan untuk industri ban, karet saat ini telah banyak digunakan untuk industri lain seperti bahan baku campuran aspal, bantalan jembatan serta berpotensi untuk pemanfaatan bahan bakar nabati.