JAKARTA - Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengingatkan partai politik tidak memaksakan calon kepala daerah yang pernah terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba maju pada pemilihan kepala daerah.
"Ya, itu berbahaya sekali karena secara sistemik dia (narkoba, red) merusak generasi. Makanya, salah satu agenda penting pembangunan bangsa itu fokus pada SDM (sumber daya manusia). Kalau SDM-nya rusak akibat narkoba, republik ini rusak," kata Ubedilah Badrun di Jakarta dilansir Antara, Jumat, 7 Agustus.
Menurut dia, dampak mengonsumsi narkoba menyebabkan kerusakan di dalam tubuh dan pikirannya. Sehingga sangat berbahaya, apalagi sebagai pemegang jabatan kepala daerah.
"Itu berisiko besar buat daerahnya, bisa salah mengambil kebijakan, bisa juga dia ketagihan lagi, dan itu tidak efektif memimpin daerah orang-orang yang pernah menyalahgunakan narkoba," katanya menegaskan.
Parpol, kata dia, harus konsisten mendukung upaya pemerintah memerangi narkoba, salah satunya dengan tidak mengusung calon kepala daerah yang pernah terlibat dalam penyalagunaan narkoba.
Begitu juga, kata dia, penyelenggara pemilu, terutama KPU yang bisa membuat aturan larangan bagi pecandu narkoba dengan berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Lebih jauh, Ubedilah mendorong partai politik dan KPU bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk memverifikasi calon-calon kepala daerah yang bakal berlaga pada hajatan dan pesta demokrasi tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
"Partai dan KPU, saya kira perlu menggandeng BNN untuk menverifikasi apakah seseorang yang mau mencalonkan diri itu pernah terkait dengan kasus narkoba atau hal-hal lain yang melanggar ketentuan yang ada. Jadi, saya kira perlu kerja sama dengan kepolisian juga," kata Ubedilah menandaskan.
Sebagaimana diketahui, MK telah memutuskan mantan pengguna narkoba dilarang menjadi calon kepala daerah sejalan dengan penolakan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pilkada 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Pasal itu melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina.
Putusan MK itu berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviadi mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 Ayat (2) Huruf i UU No. 10/2016.
MK menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi.
Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan.
Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani rehabilitasi.
Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani rehabilitasi.