Ketika Abraham Lincoln Menghapus Perbudakan di Amerika
Abraham Lincoln (wikimedia.org)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah Amerika Serikat meratifikasi undang-undang baru pada amandmen ke-13 pada hari ini, 18 Desember 1865, secara resmi perbudakan di Negeri Paman Sam dihapuskan. Dalam konstitusi itu tertulis: Segala macam bentuk perbudakan baik yang disengaja atau tidak, tidak boleh ada di bumi Amerika Serikat, atau di mana pun yang tunduk kepada yurisdiksi AS.

Undang-undang emansipasi anti-perbudakan itu tentu saja bukan tanpa perjuangan. Sebelum dilembagakan, beleid tersebut menyulut perang sipil. Pada masa itu, dikutip history.com, para politisi anti-perbudakan dari Partai Republik yang digawangi Abraham Lincoln ditentang kelompok yang menginginkan adanya pengecualian aturan di beberapa negara bagian, khususnya Amerika Barat dan Selatan. Mereka yang menentang khawatir negara bebas akan mengubah struktur kekuasaan di AS. 

Bermula pada November 1860, ketika Pemilu AS memenangkan Lincoln sebagai presiden, muncul sinyal-sinyal perpecahan. Tujuh negara bagian di wilayah Selatan AS mengusulkan pemisahan diri dan membentuk negara konfederasi Amerika baru. Setelah itu, empat negara bagian Selatan bergabung dalam konfederasi baru, sementara negara-negara budak di bagian utara tetap bergabung dalam pemerintahan utama. Tak lama setelah pembentukan wilayah konfederasi baru pada 1861, perang sipil pun dimulai. 

Meskipun Lincoln sangat membenci perbudakan, ia tetap menanggapi mereka yang kontra terhadap gerakan tersebut setelah perang sipil pecah dengan cara hati-hati. Di saat perang sipil berlangsung, pemerintah utama menyadari bagaimana gerakan emansipasi ini sangat menguntungkan mereka, sementara 11 negara bagian yang tidak sepakat itu sebenarnya sedang menggali kuburannya mereka sendiri. Pasalnya, pembebasan budak akan melemahkan konfederasi baru tersebut dengan cara merampas sebagian besar tenaga kerjanya.

Dua tahun setelah beleid anti perbudakan diterapkan, Lincoln kemudian mempekerjakan budak yang telah dibebaskan dalam pasukan mereka. Menyusul kemenangan pemerintah utama pada pertempuran Antietam September 1962, Lincoln mengeluarkan peringatan dirinya akan mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi untuk semua negara yang masih dalam pemberontakan. 

Pada 1 Januari 1863, Presiden Lincoln secara resmi mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi anti-perbudakan, seraya mengerahkan para tentara untuk membebaskan semua budak di negara-negara yang masih dalam pemberontakan. Sejak saat itu, sekitar tiga juta budak dijamin kebebasannya oleh konstitusi. 

Proklamasi Emansipasi mengubah perang sipil dari yang tadinya perang melawan pihak yang hendak memisahkan diri dari federasi menjadi perang untuk "lahirnya kemerdekaan baru" seperti digaungkan Lincoln dalam pidatonya di Gettysburg pada 1863. Perubahan ideologis ini sekaligus menggagalkan campur tangan Prancis atau Inggris yang mendukung konfederasi yang tidak pro terhadap undang-undang anti-perbudakan. 

Lincoln menyadari, otoritas Proklamasi Emansipasi tersebut masih belum kuat meski perang sipil telah berakhir. Hal itu kemudian mendorong Partai Republik untuk mengajukan amandemen ke-13 kepada kongres. Lalu pada April 1864, dua pertiga senat dari Republik memuluskan jalan untuk memuluskan amandemen tersebut. Namun masih ada pertentangan dari dewan perwakilan Partai Demokrat pada Januari 1865. 

Negosiasi terus berlanjut. Sehingga pada 2 Desember 1865, Alabama, negara bagian yang sempat menolak Proklamasi Emansipasi, akhirnya menjadi negara ke-27 yang mendukung amandemen. Alabama terpaksa menyepakati amandemen agar bisa kembali ke dalam pemerintah utama AS. Namun, masih diperlukan tiga-perempat persetujuan negara-negara bagian untuk menjadikannya hukum negara.

Sampai akhirnya, setelah selama 246 tahun tawanan dari Afrika dibeli sebagai budak, pada 18 Desember 1865 amandemen ke-13 secara resmi diterima sebagai konstitusi yang sah. Setelah itu segala bentuk perbudakan musnah.