Ketika Pelaku Korupsi Dicabut Gelar Kesarjanaanya
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA -  'Binus University tidak segan-segan mencabut ijazah alumni Binus yang terbukti melakukan korupsi'. Begitu keterangan yang menempel dalam sebuah foto dari kicauan dari akun Twitter @arifz_tempo.

Kicauan itu berisi foto proyektor dengan seseorang bertoga sedang di mimbar, dengan kolase foto baju bertuliskan tahanan KPK dengan keterangan 'Binus University tidak segan-segan mencabut ijazah alumni Binus yang terbukti melakukan korupsi' di bawahnya. Foto tersebut ditambahkan keterangan, 'Kampus ini akan mencabut gelar kesarjanaan jika lulusannya terbukti korupsi'.

Binus University sudah mengeluarkan kebijakan ini sejak lama, 2012. Informasi tersebut pernah disiarkan di Kompas.com dengan judul Korupsi, Ijazah Dicabut yang diterbitkan pada 27 Juli 2012. Rektor Binus University Harjanto Prabowo kala itu mengatakan, kebijakan ini adalah upaya dan komitmen universitas untuk memerangi korupsi. Kebijakan tersebut akan selalu diingatkan setiap wisuda sarjana.

Perguruan tinggi, buat dia, tidak sekadar mengajarkan ilmu. Tapi juga mendidik karakter mahasiswa. Karena itu, selain pendidikan ilmu pengetahuan, ditanamkan juga kedisiplinan, kejujuran, dan pendidikan antikorupsi selama perkuliahan yang harus diimplementasikan di masyarakat. 

"Karena itu, jika terbukti melakukan korupsi, berarti sarjana gagal mengimplementasikan nilai-nilai perguruan tinggi sehingga ijazah kesarjanannya pantas dicabut," kata Harjanto. 

Pada tahun ini, KPK dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah berkomitmen untuk membangun budaya antikorupsi pada semua jenjang pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah. Melansir dari kpk.go.id, hal tersebut diwujudkan dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) oleh ketua KPK Agus Rahardjo dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Kamis, 18 Juli, di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Yogyakarta.

Data PP Muhammadiyah pada Januari 2019 jumlah AUM yang tercatat sebanyak 14.346 di tingkat TK/TPQ ABA-PAUD, 2.604 SD/MI, 1.772 SMP/MTs, 1.143 SMA/SMK/MA, 174 Perguruan Tinggi, 102 Pondok Pesantren, 6.270 masjid dan 5.689 musala. 

Konsekuensi dari kesepahaman ini adalah dicabutnya ijazah alumnus lembaga pendidikan Muhammadiyah jika terbukti korupsi. Hal ini dilakukan Muhammadiyah sebagai sanksi dan agar menimbulkan efek jera. "Ini perlu sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Setidaknya bisa memberikan efek jera," kata Haedar seusai penandatanganan MoU itu, dilansir dari Tempo.

Wacana pencabutan gelar akademik bagi seorang narapidana tindak pidana korupsi pernah mencuat pada 2018 setelah usulan Majelis Dewan Guru Besar (MDGB) Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang meminta pencabutan gelar akademik bagi koruptor. Wacana ini menimbulkan polemik.

Melansir Media Indonesia dengan berita berjudul Kampus Berhak Cabut Gelar Akademik, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek-Dikti (saat itu), Intan Ahmad mengatakan, pencabutan gelar akademik bisa dilakukan oleh perguruan tinggi terkait.

"(Institusi) yang berhak mencabut gelar akademik ialah yang menerbitan ijazah yang bersangkutan," kata Intan, Rabu, 18 April 2018

Hukuman pencabutan gelar akademik ini bisa diberikan dari putusan hakim terkait perkara korupsi.  Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi menyatakan, hakim dalam putusannya dapat saja memasukkan klausul pencabut-an hak-hak tertentu terhadap narapidana korupsi, termasuk pencabutan gelar akademik.

"Hakim memiliki pertimbangan sendiri apakah yang bersangkutan layak untuk dicabut haknya (menyandang gelar akademik) atau tidak seperti halnya pencabutan hak politik. Hanya, pencabutan hak tertentu terdakwa tidak boleh dilakukan sembarangan, harus mempunyai korelasi dengan perkara yang menimpanya," ujar Suhadi.

Melansir dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun ini, dari 22 kasus korupsi yang dilakukan anggota DPR RI 2014-2019, beberapa di antaranya adalah lulusan universitas ternama, beberapa di antaranya adalah lulusan SMA/SMA. Dari data itu, paling banyak dari UI yakni 2 orang, sisanya tersebar di berbagai kampus, masing-masing satu orang.

Di antaranya, Universitas Trisakti, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Universitas Negeri Makassar, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Islam Sultan Agung, STIEM KALPATARU, STIAMI, STTNAS Yogyakarta, STIA YAPPAN (Jakarta), Universitas Hasanuddin, Universitas Tanjung Pura, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Bandung, Universitas Brawijaya,  Universitas Padjajaran, dan Universitas Lampung.