Sikap Ambigu Jokowi, Wacanakan Hukuman Mati Tapi Beri Grasi untuk Koruptor
Presiden Joko Widodo saat di acara peringatan Hari Antikorupsi sedunia (dok. Kemendikbud)

Bagikan:

JAKARTA - Pada Hari Antikorupsi Sedunia 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan hukuman mati bisa saja diberlakukan bagi pelaku tindak pidana korupsi atau tipikor. Namun, pernyataan Jokowi ini justru dianggap ambigu.

Sebab, saat Jokowi bilang hukuman mati bagi koruptor bisa diaplikasikan, beberapa waktu lalu dia justru memberikan grasi bagi pejabat korup seperti eks Gubernur Riau Annas Maamun yang jadi narapidana dalam kasus suap terkait alih fungsi hutan.

Penilaian soal ambigunya sikap Jokowi ini disampaikan oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Dia bilang, sikap Jokowi dengan apa yang disampaikannya soal hukuman bagi koruptor berbeda.

"Ya, ini sikap ambigu atau ambivalen. Tidak jelas arahnya," kata Fickar saat dihubungi VOI lewat pesan singkat, Selasa, 10 Desember.

Dia menilai, sikap ambigu ini juga tercermin dari keputusan yang diambil oleh Jokowi sebelumnya. Termasuk, soal komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. "Jangan-jangan, komitmen (Jokowi) terhadap pemberantasan korupsi pun begitu. Buktinya, Pak Jokowi setuju UU KPK direvisi dan KPK dilemahkan," ujarnya.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi memang sempat disorot akibat keputusannya memberikan grasi pada Annas Maamun yang merupakan terpidana penerima suap alih fungsi lahan di Riau.

Pemberian grasi ini dituangkan dalam Keputusan Presiden nomor 23/G tahun 2019 sejak 25 Oktober yang lalu. Setelah keputusan itu ditandatangani, Annas mendapat diskon selama setahun dari total masa hukuman 7 tahun.

Adapun alasan pemberian grasi dilakukan Jokowi karena alasan kemanusiaan yaitu kondisi kesehatan Annas dan usianya. Diketahui, saat menjalani hukuman pidana di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, mantan Gubernur ini menderita berbagai penyakit seperti POPK (COPD Akut), disepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak nafas sehingga perlu menggunakan oksigen tiap saat.

"Memang dari sisi kemanusiaan, memang umurnya juga sudah uzur dan sakit-sakitan terus. Sehingga dari kacamata kemanusiaan itu diberikan," kata Jokowi pada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu, 27 November.

Tak lama dari pemberian grasi tersebut, Jokowi justru mengatakan hukuman mati bisa saja diberlakukan. Asalkan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi direvisi oleh anggota DPR RI. Hanya saja, revisi ini tentunya harus dengan restu rakyat.

"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor (hukuman mati) itu dimasukkan," kata Jokowi di SMKN 57, Jakarta, Senin, 9 Desember sambil menambahkan kehendak itu juga harus dimiliki oleh anggota dewan sebagai pihak legislatif.

Benarkah hukuman mati efektif?

Wacana hukuman mati bagi koruptor ini sebenarnya sudah ada di dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan," demikian bunyi Pasal 2 ayat 2.

"Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter," demikian bunyi penjelasan dari Pasal 2 ayat 2 tersebut.

Meski begitu banyak kasus korupsi di Indonesia, sejauh ini belum ada kasus korupsi yang tersangkanya divonis hukuman mati. Yang ada hanyalah vonis seumur hidup yang diterima oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar pada tahun 2014. Saat itu, Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada.

Hanya saja, walaupun ada undang-undang hukuman mati bagi koruptor dalam keadaan tertentu, Fickar kembali bicara soal keefektifan hukuman itu. Baginya, hukuman mati tak akan langsung memberikan efek jera. Dia mengambil contoh hukuman mati bagi gembong narkoba.

"Hukuman mati tidak akan efektif bagi penjeraan. Buktinya, hukuman mati bagi (gembong) narkoba tidak menyurutkan para pelaku," tegasnya.

Pakar hukum pidana ini mengatakan, daripada hukuman mati, baiknya para koruptor ini dimiskinkan. Selain untuk asset recovery, ternyata memiskinkan koruptor juga lebih memberikan efek jera. Caranya adalah dengan menutup akses keuangan mereka, seperti tidak diperbolehkannya napi koruptor mempunyai perusahaan, tidak boleh jadi pimpinan perusahaan, dan pencabutan hak politik.

"Ini akan lebih memberikan efek jera bagi mereka ketimbang hukuman mati," ujar Fickar.

Tak hanya Fickar, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun juga menegaskan jika hukuman mati tak begitu efektif penerapannya. Dia menyebut, Tiongkok yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor kini angka Indeks Presepsi Korupsi (IPK)nya justru turun.

Menurut Tama, hasil survei Transparency International Indonesia (TII) tahun 2018 menyebut, IPK Tiongkok berada di posisi 87 dan merosot 10 peringkat di tahun sebelumnya.

"Artinya hukuman mati tidak seefektif yang kita bayangkan. Jadi dalam bayangan saya, bagaimana koruptor tidak dihukum mati tapi bagaimana sanksinya diperberat dan kita tidak lagi permisif," ungkap Tama di Jakarta, Senin, 9 Desember.

Aktivis antikorupsi ini mengatakan ada beberapa cara yang sebenarnya lebih efektif untuk memberikan efek jera bagi koruptor. Pertama, soal posisi KPK yang harusnya makin diperkuat. Kedua, pemberian sanksi diperberat dan upaya pengembalian aset makin maksimal untuk dilakukan.

"Pemiskinan yang kita bayangkan adalah orang-orang yang dihukum itu harus benar-benar memulihkan kerugian negara tadi. Bagaimana caranya? Ya, dirampas asetnya," tegas Tama.

"Dia kembalikan dan itu yang jadi berat, 'wah, berat banget nih akibatnya kalau korupsi'. Kan sekarang enggak gitu kan, ya sudah, masuk cuma lima tahun, dua tahun tiga bulan. Apa yang berat," tutupnya.