Perlunya Mempertimbangkan Hukuman Mati untuk Koruptor
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Seorang siswa SMKN 57 Jakarta bertanya kepada Presiden Joko Widodo tentang kemungkinan adanya hukuman mati untuk koruptor. Siswa itu bertanya kepada Jokowi yang datang ke sekolahnya setelah menyaksikan pentas drama Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57, Jakarta, Senin, 9 Desember.

Jokowi menjawab, hukuman mati untuk koruptor sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun penerapannya tidak sembarangan.

"Kalau korupsi bencana alam, dimungkinkan. Kalau nggak, tidak. Misalnya ada gempa, tsunami, di Aceh, atau di NTB kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa (dihukum mati)," ujar Jokowi menjawab soal pidana mati bagi koruptor sambil menambahkan belum ada koruptor yang dihukum mati.

Usai acara ini, Jokowi ditanya wartawan soal kemungkinan hukuman mati itu diterapkan kepada semua koruptor. Jokowi mengatakan, hal itu bisa saja dilakukan asalkan ada dorongan dari masyarakat untuk mengubah UU tersebut.

"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor (hukuman mati) itu dimasukkan. Tapi sekali lagi juga termasuk [kehendak] yang ada di legislatif (DPR)," ujarnya menambahkan.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi masih dalam tataran wacana. Meski aturan itu ada, dia mengatakan penerapannya belum dilakukan.

"Yang dimungkinkan itu kan (hukuman mati) kepada orang yang melakukan korupsi terhadap bencana alam, tapi dalam praktik memang pernah ada (korupsi terkait bencana) di gempa Lombok, baru ada kasus seperti itu dan (hukuman mati) itu kan ancaman maksimal," tambah Yasonna.

Politikus PDI Perjuangan itu menambahkan, pelaku korupsi terkait bencana alam juga tidak serta merta langsung diancam hukuman mati. Sebab mesti ada pertimbangan yang jelas dalam memberikan hukuman mati itu.

"Kalau memang bencana alam, tapi dia korupsi Rp10 juta? Ada variabel-variabel yang harus dipertimbangkan, misalnya, ada dana bencana alam Rp100 miliar, dia telan Rp25 miliar, itu sepertiganya dihabisi sama dia, ya itu lain cerita," tutur Yasonna.

Pengamat Politik Universitas Airlangga Pribadi tak sepakat dengan hukuman mati, termasuk untuk pelaku korupsi. Karena menurut dia, hukuman mati berarti melemahkan prinsip hukum itu sendiri. Serta, dia mempertanyakan ketika hukuman mati itu dilaksanakan, tapi di kemudian hari ternyata ditemukan bukti bahwa terpidana itu tidak bersalah, atau bila bersalah tapi tak pantas diberi hukuman mati, bagaimana memperbaikinya?

"Daripada hukuman mati, karena itu korupsi, lebih baik mendorong efek jera. caranya dengan dimiskikan atau hukuman yang memiliki efek sosial selain hukum penjara yang jangka waktunya panjang," kata Airlangga dihubungi VOI, Selasa 10, Desember.

Untuk diketahui, Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan ayat (2) sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.