Sedang memuat podcast...

Ilustrasi (Hannah Morgan/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Baju baru tampaknya masih dianggap penting dalam menyambut Hari Raya Idulfitri meski COVID-19 masih menjadi pandemi. Beberapa hari ini, kita sering melihat di media sosial, sebagian orang nekat berkerumun demi mendapatkan baju Lebaran di pusat perbelanjaan yang sudah dibuka. Ini menunjukkan betapa kuatnya tradisi baju baru untuk Lebaran, sampai tak boleh terlewatkan.

Sejarah semua serba baru untuk Lebaran di Indonesia bermula sejak abad ke 15 tepatnya tahun 1596 di provinsi Banten. Dalam buku “Sejarah Nasional Indonesia”, Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menuliskan Banten sedang berada dalam naungan Kesultanan Banten saat itu. Karena kerajaan itu bercorak Islam, makanya budaya dan kehidupan beragama Islam kental di kalangan masyarakat.

Pada masa itu, hanya mereka yang berasal dari kalangan kerajaan saja yang membeli baju baru menjelang Lebaran, sedangkan masyarakat biasa lebih memilih untuk menjahitnya. Makanya waktu itu banyak petani yang tiba-tiba alih profesi menjadi penjahit saat Lebaran datang. Tradisi mempersiapkan baju baru ini juga diterapkan di Yogyakarta.

Seperti tradisi-tradisi lainnya, kebiasaan ini mengakar dan semakin kuat mengikat masyarakat layaknya sebuah kewajiban, padahal tidak juga. Sejak zaman Nabi pun, kebiasaan berhias diri untuk menyambut Hari Raya juga sudah dikenal, tapi tidak diharuskan memakai baju baru.

Makna Hari Kemenangan sesungguhnya adalah kembali bersihnya hati kita. Introspeksi diri, menghilangkan rasa iri dan dengki, serta saling memafkan satu sama lain adalah hal-hal yang seharusnya lebih menyita waktu dan perhatian kita, sebab keindahan yang sesungguhnya bukan hanya ditunjukkan dari apa yang kita kenakan, melainkan juga dari apa yang ada di dalam diri kita.

Silakan tekan tombol dengarkan dan kami akan bercerita dengan Anda tentang memaknai Idulfitri tanpa baju baru sebagai tradisi.